Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP masa punya pendakwahnya sendiri. Buya Hamka muncul ketika orang ke masjid untuk mendengarkan dan merenungkan isi ceramah dengan tenang. Buku kemudian menjadi media yang paling tepat untuk memanjangkan suaranya. Lalu muncul Zainuddin Mz., "dai sejuta umat", yang lucu dan menghibur. Lebih enteng, suaranya bisa didengarkan lewat radio di pos ronda, sambil tertawa. Yang datang ke tablig akbarnya—terutama yang digelar di stadion olahraga—bisa puluhan ribu. Yang dia butuhkan adalah loudspeaker ribuan watt, bukan baju yang modis.
Kemudian, di milenium baru, datanglah Jefri Al Buchori. Dia tidak hanya pandai berceramah agama, tapi juga merdu menyanyi dan berakting. Lagunya laku keras, dijual dalam bentuk ringback tone dan cakram padat (CD). Jefri, yang meninggal JumÂat pekan lalu dalam kecelakaan sepeda motor besar, pernah bermain dalam beberapa sinetron dan mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik dalam sinetron Sayap Patah di TVRI.
Uje—begitu Jefri dipanggil—adalah pendakwah di masa televisi dan Internet. Pria yang lahir pada 12 April 1973 ini aktif menggunakan Twitter, Facebook, dan Instagram untuk berdakwah. Video ceramahnya diunggah ke YouTube dan ditonton jutaan orang. Ia juga berbicara dengan bahasa anak muda, bahasa gaul. Dan dia pun menyandang gelar Ustad Gaul.
Jefri adalah mubalig yang sadar bahwa, untuk bisa menjadikan televisi dan peralatan multimedia sebagai sarana dakwah, ia harus berpenampilan menarik. Busana yang dipakainya menjadi tren—dan dibuat tiruannya di Tanah Abang. Kacamatanya keren. Saat berceramah, dia menenteng iPad. Saat santai, dia naik sepeda motor yang mengaum. Saat liburan, dia pergi snorkeling dan surfing ke Bali bersama anak dan istrinya, Pipik Dian Irawati, mantan model sampul.
Dia bisa melakukan itu karena memang memahami bahasa kedua dunia tersebut—agama dan pergaulan. Putra pasangan Haji Ismail Modal dan Hajah Tatu Mulyana ini telah mengenyam beraneka pendidikan agama. Selepas sekolah dasar, ia dikirim ke Pondok Pesantren Daar el-Qolam Gintung, Tangerang. Namun pergaulan membawanya ke jalan yang tak lempang. Semasa kuliah di Akademi Broadcasting di daerah Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat, Jefri muda lebih banyak nongkrong di tempat biliar di depan kampusnya. Kuliahnya pun telantar. Ia malah sempat menjadi penari di sebuah klub malam.
Pada awal 1990-an, Jefri sering nongkrong di Institut Kesenian Jakarta di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Dia pun diajak bermain film dan sinetron. Jefri bahkan sempat tersesat di jalan narkoba. "Saya tak mau menyalahkan siapa-siapa atau pergaulan yang mana, ini memang salah saya," katanya.
Dari semua yang dialaminya itulah terbentuk sosok pendakwah yang gaul. "Kalau ngomong dengan bahasa gue-elu, mereka lebih mengerti," ujar Uje. Ia tak hanya berbicara dengan bahasa mereka, tapi juga mengerti.
Pernah sekali waktu di Bandung, dia akan ke toilet. Di depannya ada tiga cowok dan satu cewek plus anjing nongkrong. Mereka kelihatan habis mabuk. Begitu melihat Jefri, mereka bilang, "Eh, ada Uje." Lalu salah satu dari mereka bertanya bagaimana caranya dapat hidayah. "Sorry ya, Uje, aku nanyanya abis minum," katanya. "Saya terharu. Ini anak habis minum tapi masih mikir hidayah," ucap Uje.
Tapi dia juga orang yang tahu tempat bermainnya di mana. "Sering banget ada yang nawarin masuk partai politik dan menjadi anggota DPR. Saya bilang itu bukan jatah saya," katanya kepada Tempo. Itulah salah satu yang menyebabkan pemakamannya di Karet Tengsin, Jakarta, dihadiri ribuan orang.
Qaris Tajudin, Andari Karina Anom, Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo