Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seniman menyerbu pasar

Perkembangan kehidupan seniman. impresario (tim atau perusahaan-perusahaan) berperan dalam memasarkan seni. pembacaan sajak rendra di senayan berhonor 12 juta. karya guruh bernilai rp ratusan juta. (sr)

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAI seekor kucing liar, Rendra melompat ke panggung tatkala tepuk tangan tiga ribu penonton pecah membahana. Dalam ruangan besar yang lampunya mendadak digelapkan, lampu sorot empat ribu watt berangsur menerangi pentas berukuran delapan kali 10 meter yang terletak di tengah gedung Istora Senayan itu. Bendera merah putih raksasa berada di belakang Rendra. Dan tepat pukul tujuh tiga puluh acara mulai, tanpa kata pendahuluan. Matahari Bertapa, bersila di ubun-ubunku Kali mengalir dari mataku Dan bermuara di lautan. Dari kejauhan, gedung yang biasanya dipakai untuk kegiatan olah raga itu selintas mirip UFO: semua lampu menyala terang. Di luar terparkir mobil-mobil mewah Volvo, BMW, Mercedes - di antara begitu banyak kendaraan pengunjung. Kendati demikian, penonton yang berduyun-duyun tetap saja sebuah porsi kecil bagi gedung yang punya sepuluh ribu tempat duduk itu. Kosongnya banyak kursi hampir saja membuat acara baca sajak hari Ahad lalu itu batal. Pihak impresario tampaknya mencoba membujuk Rendra agar berpura-pura sakit, supaya pertunjukan bisa ditunda dan ada tambahan waktu buat menjual karcis. Maklum, sampai hari terakhir karcis yang terjual baru 8%, sementara target impresario 40% - dan akhirnya pertunjukan berlangsung dengan karcis yang laku 20%, seperti yang dinyatakan. Tapi waktu itu Rendra menolak. "Ditonton beberapa orang pun saya akan tetap main," katanya. "Dulu saya sering baca sajak di depan sepuluh orang." Ditonton sepuluh orang? Rendra? Yah. Tapi itu dulu, nun di tahun-tahun lima puluhan sampai awal enam puluhan. Waktu itu pembacaan sajak masih dianggap kegiatan remaja, dan para penyair belum lagi lazim membawakan karyanya sendiri. Masa itu membaca sajak disebut deklamasi acara yang cuma muncul jika ada perlombaan. Keadaan mendadak berubah sepulang Rendra dari Amerika di pertengahan tahun enam puluhan. Di negeri sana para penyair biasa tampil memperagakan karya mereka. Dan di sini Rendra mencobanya. Berhasil. Lalu menjadi mode. Maka, di mana-mana penyair tampil membacakan sajaknya. Mula-mula cuma pakai mikrofon. Kemudian lahir bermacam alat perlengkapan, yang bibitnya terlihat pada Sutardji Calzoum Bachri - tidak hanya dengan gaya minum birnya yang terkenal itu, tapi juga, misalnya, kapak - yang menyebabkan sulit membedakan pembacaan sajak dari pertunjukan drama atau pergelaran musik. Yang terakhir itu terlihat misalnya pada Emha Ainun Najib, Yudhistira, atau Hamid Jabbar, para penyair yang lebih muda. Mendadak terjadi lagi revolusi: Rendra, yang tetap bertahan hanya dengan tubuh dan pengeras suara, memasang tarif mahal: tak kurang dari Rp 3 juta sekali naik. Dan laku - seperti terbukti di Yogya, Bandung, Semarang, dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lalu muncullah jenis pekerjaan baru: impresariat. Tidak terlalu baru sebenarnya, sebab dalam bidang kegiatan seni lain, jenis profesi ini sudah lama ada. Contoh: di tahun lima puluhan, sejumlah kegiatan musik serius dan pementasan tari serta teater di Jakarta dikelola oleh Indonesian Artist Management, meski baru berupa rintisan. Di pertengahan tahun enam puluhan, Hotel Indonesia menjadi impresariat tetap bagi Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Tapi menjual acara membaca sajak? Itu dulu tidak terpikirkan oleh para impresario apalagi oleh seniman sendiri. Bagi si seniman, ada dua pasal yang membuat mereka tidak pernah melihat komoditinya bisa dijadikan uang. Pertama, makhluk-makhluk itu biasanya kurang begitu suka terlibat urusan cari uang, meski bukan berarti mereka kurang senang duit. Kedua, memang belum bisa dibuktikan ada pasar untuk barang dagangan yang begituan. Di sini, dalam pertumbuhan pemasaran seni, figur Rendra amat menentukan. Tapi, sebenarnya, bukan Rendra sendiri. Harap dicatat: pada 10 November 1968 diresmikan Pusat Kesenian Jakarta, yang kemudian lebih dikenal sebagai Taman Ismail Marzuki, disingkat TIM. Nah, TIM sebenarnya impresario juga. Bedanya, pusat seni ini bukan lembaga yang cari untung, karena memang dananya datang dari pemerintah DKI. Maka, setelah para seniman Jakarta - juga yang luar Ibu Kota bertahun-tahun bermimpi akan segala macam ide kegiatan, waktu itulah saat mereka mulai ditantang hingga batas terakhir kreativitas mereka. Tidak pernah dalam sejarah Republik ini begitu banyak kegiatan seni, dengan begitu beragam eksperimen, muncul secara teratur dalam suatu pusat kehidupan yang dikelola dengan baik. Di kalangan konsumen juga terjadi hal yang sama. Mereka, yang dulu selalu bagai menerima undangan reuni jika sesekali ada acara kesenian - yang umumnya dibiayai dan diselenggarakan dengan susah payah makin lama makin menemukan diri mereka dalam kelompok yang membesar dan yang tentu saja tidak saling mengenal lagi. Pertunjukan drama, yang dulunya paling banter berlangsung tiga malam, dengan penonton sepertiga gedung, akhirnya bisa bertahan sampai sepuluh malam dengan para pengunjung - entah dari sudut mana saja di Jakarta - yang sering tidak kebagian karcis. Maka, lahirlah catut karcis drama. Dan cerita yang sama juga terjadi dalam hal pembacaan puisi. Berhasilkah TIM memasyarakatkan seni? Jelas, meski dengan sedikit catatan. TIM lahir pada saat yang tidak berbeda jauh dari saat lahirnya kegiatan pembangunan ekonomi yang pada gilirannya menciptakan strata baru dalam masyarakat. Bukan saja sanggup membeli karcis, anggota strata baru ini bahkan juga membutuhkan seni. Orang-orang yang lazim disebut kelas menengah inilah yang pada dasarnya diladeni pusat kesenian ini. Di tengah tak tersedianya hiburan bermutu dalam masyarakat, ketika film impor kebanyakan kelas rendahan, serta gagalnya film Indonesia memenuhi harapan kelas menengah yang bangkit, TIM pada akhirnya memang hampir satu-satunya pilihan. Tidak berarti para penonton itu sudah sepenuhnya siap lebih dulu, memang. Sebagian dari mereka itu ikut-ikut datang untuk "mencari-cari", lalu seakan-akan mengalami "pendidikan apresiasi", dan tiba-tiba mendapati diri mereka pas benar. Maka, makin ramailah pengunjung TIM. Dan makin banyaklah seniman bertampilan di panggung-panggungnya. Di antara mereka ada yang sudah punya nama seperti Teguh Karya dan kelompoknya, Rendra dan para anggotanya. Tapi ada juga yang sebelumnya cuma dikenal kalangan terbatas. Ke dalam yang terakhir ini bisa disebut Sutradara, Penulis Naskah dan Aktor Arifin C. Noer, Penari dan Penata Tari Sardono W. Kusumo, Penulis, Sutradara dan Aktor Putu Wijaya. Orang-orang ini jadi terkenal atau makin terkenal oleh pusat kesenian ini. Di TIM, lewat berbagai ciptaan baru yang lazim disebut eksperimentil, publik - yang tadinya cuma berkesempatan menonton jenis seni dari itu ke itu juga - diperkenalkan pula dengan pertunjukan yang "aneh-aneh". Rendra mementaskan Menunggu Godot, drama absurd yang tidak mudah "dimengerti" penonton yang hanya terbiasa menyaksikan pertunjukan yang "wajar". Sardono muncul dengan Dongeng dari Dirah lakon tanpa naskah yang juga dibawa ke Prancis - dan sukses di kedua-duanya. Dan, bersama Arifin dan Putu, merupakan satu dari yang tiga yang dikatakan menandai lahirnya teater mutakhir Indonesia dengan dramaturgi atau urat darah yang benar-benar pribumi. Tapi bisa dipahami, semua itu berlangsung dalam suatu semangat berkorban untuk seni. Para seniman tidak risau benar dengan uang: kepuasan diperoleh lewat kesempatan pementasan itu sendiri, dengan publik yang datang oleh suatu kampanye yang teratur rapi dari sebuah lembaga yang mapan. Rasa bahagia ini hanya bisa dimengerti jika diketahui bahwa, sebelumnya, para seniman yang punya keberanian mentas harus berani jual harta milik mereka dan siap bersusah payah merayu calon penonton untuk beli karcis. Bahkan pada saat pertunjukan mendesak, sementara karcis belum terjual, mereka harus lihai pula membujuk sebanyak mungkin orang untuk hanya ditraktir nonton dengan gratis. Berkorban untuk seni tentunya masih tetap ada di Indonesia. Tapi patriotisme begini bukan tidak punya alternatif lain di Jakarta. Sebab, selain TIM, sejumlah kemungkinan pembiayaan kini sudah terbuka. N. Riantiarno, misalnya. Meski tidak punya impresario seperti Rendra, dan tetap bekerja sama dengan TIM, grupnya yang bernama Teater Koma bisa mendapatkan sumber tambahan dari berbagai sponsor. Menurut ceritanya, perusahaan Teh Botol, misalnya, tidak sulit diajak menjadi sponsor. Riantiarnolah yang diingat sebagai yang pertama kali mentas dengan terang-terangan memasang spanduk-spanduk iklan sang cukong atau setengah cukong. Di luar Jakarta, tentu saja cerita berbeda - kecuali di Yogya, misalnya, dengan tokoh-tokoh seperti Penari Bagong Kussudiardjo dan Pelukis Amri Yahya. Sudah makmurkah para seniman Jakarta? Tidak juga, atau tidak seluruhnya, tentu saja. Tidak semua seniman "punya nama", bukan? Tapi contoh yang baik tentunya juga Rendra, siapa lagi. "Sudah waktunya saya bisa hidup dengan seni saya," katanya, tentang tarif yang dia pasang. Tarif itu bisa ditawar, tidak? Jawab Rendra dengan tangkas, "Apakah Anda menawar tarif dokter gigi?" Di mata Rendra, baik dokter gigi maupun penyair dibutuhkan masyarakat, rupanya. Di rumah yang ditempatinya di Depok, sedikit di luar Jakarta, yang menurut pengakuannya rumah pinjaman, dua buah mobil tersimpan dalam garasi: Chevrolet Luv keropos dan Toyota Corolla DX dengan kondisi 75%. "Yang satu punya mertua, satu lagi pemberian orang," menurut pengakuannya. Kehidupan ekonominya ditopang antara lain oleh penghasilan dari Karya Unipress - di sini dulu Rendra ikut mendirikan dan sempat bekerja dua tahun. Juga ada gaji dari kantornya di Tegal Parang, Jakarta, sebuah usaha gabungan berbagai kegiatan, dari cleaning service sampai kontraktor dan pemasok alat-alat tulis. Di samping itu, sebuah tambak ikan emas di Cibening, Bogor, menurut Rendra, hasilnya bukan untuk dimakan. "Tapi diputarkan lagi untuk pengembangan." Milik siapa tambak itu, Rendra tak mau menjelaskannya. Kegiatan kantor dan tambak ikan itu tentu tidak ada ketika ia masih di Yogya. Sementara di rumahnya kini, tempat ia hidup bersama istrinya yang terakhir, Ken Zuraida, dan putranya yang bungsu, Rendra tetap saja menampung belasan remaja anak buahnya atau anak buah istrinya, sama seperti di Yogya. Dan apakah, seperti halnya Rendra, Guruh Sukarno Putra juga makin membaik ekonominya? Guruh, yang sudah keempat kalinya - sejak 1979 - mementaskan pertunjukan musik kolosalnya, dan hari-hari ini dengan nomornya berjudul Gilang Indonesia Gemilang di Balai Sidang, Senayan, biasanya tidak teringat untuk diukur dari segi penghasilan karena ia tidak berasal dari kalangan "seniman pas-pasan" seperti mereka yang berangkat dari Taman Ismail Marzuki. Betapapun, pertunjukannya yang selalu dengan impresario itu, dan kali ini berlangsung sepekan dengan dua kali main setiap hari, dengan biaya mendekati setengah milyar rupiah, tidak urung menunjukkan pula naiknya harkat kesenian. Ya, meskipun tontonan Guruh yang gemerlapan tampak lebih tepat dihubungkan dengan bangkitnya kelas berduit yang sanggup membeli karcis yang Rp 35 ribu. Pertunjukan yang mengambil modal ringan dan meriah seperti jenis tontonan Radio City Hall di New York itu - dengan semua karcis habis, bahkan kurang - betapapun punya fungsi mendekatkan penonton, paling tidak, ke dunia hiburan panggung, dari jurusan yang berbeda dari jurusan berangkat Taman Ismail Marzuki. KEDUA-DUANYA bertemu pada titik yang sama: sebuah gejala yang menunjukkan makin dekatnya seni, atau yang berbau seni, ke pasar. Itu memang belum - atau tidak - menyangkut semua seniman. Penyair Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, yang pembacaan sajaknya di TIM tumpat-padat dengan penonton, belum berdekatan dengan impresario. Tapi bila kenyataan bahwa seni yang serius bisa dijual makin melembaga, persoalan selanjutnya bisa tumbuh. Misalnya yang menyangkut hubungan pemilik modal dengan seniman. Di dunia film, cabang seni yang mengharuskan kerja sama antara pemilik modal dan seniman, hingga kini pemilik modallah yang menentukan. Demikianlah di Indonesia. Akankah hal itu terjadi juga dengan para seniman pentas? "Saya tidak takut kepada para pedagang. Mereka lebih baik dari birokrat seni yang selama ini mengatur kesenian kita," jawab Rendra pula. Menurut Penari dan Penata Tari Bagong Kussudiardjo, soal itu tidak pernah muncul baginya: para pemilik modal lebih tahu pasar, katanya. Bagi Teguh Karya, seniman bisa saja bekerja sama dengan sponsor tanpa sama sekah kehilangan diri sendiri. Dan dalam hal Rendra, dengan pemilik modal ia tidak punya terlalu banyak pilihan di luar kompromi - paling tidak mengenai sajak-sajak yang boleh dibawakannya. Sebab, untuk kasus "penyair burung Merak" ini, para pemilik modal terlebih dahulu harus berkompromi dengan pihak keamanan. Dan barulah uang dicairkan dari loket bank. Salim Said. Laporan A. Luqman & M. Cholid (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus