Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Denny Mahieu, Penyintas di Teror Bom Sarinah 4 Tahun Lalu

Salah satu penyintas korban bom Sarinah, Inspektur Satu Denny Mahieu mengaku sudah berdamai dengan peristiwa teror itu.

14 Januari 2020 | 10.22 WIB

Inspektur Satu Denny Mahieu, salah satu penyintas bom Thamrin, saat ditemui di kantornya di Satpas SIM Daan Mogot, Jakarta Barat, Senin, 13 Januari 2020. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Perbesar
Inspektur Satu Denny Mahieu, salah satu penyintas bom Thamrin, saat ditemui di kantornya di Satpas SIM Daan Mogot, Jakarta Barat, Senin, 13 Januari 2020. TEMPO/M Julnis Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Teror bom Sarinah empat tahun lalu menyisakan bekas luka bakar di lengan kanan Inspektur Satu Denny Mahieu. Ia adalah salah satu aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya yang terkena ledakan bom di Jalan Thamrin tepat 4 tahun yang lalu, 14 Januari 2016 itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sekarang saya udah susah kalau mau berenang. Karena nanti orang lain jadi fokusnya ngeliatin (bekas luka) saya," ujar Denny yang kini bertugas di Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) SIM Daan Mogot, Jakarta Barat saat ditemui Tempo, Senin 13 Januari 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Empat tahun lalu, bom meledak di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Bom pertama meledak di depan gerai Starbucks. Beberapa saat kemudian bom juga meledak di sekitar pos polisi yang berada di seberang pusat perbelanjaan Sarinah.

Polisi menyatakan lima orang pelaku teroris serta dua warga sipil, salah satunya warga negara Kanada, tewas dalam kejadian itu. Puluhan warga dan beberapa orang polisi yang mengalami luka akibat ledakan dan baku tembak dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Denny adalah salah satu penyintas peristiwa teror itu. Pria berusia 52 tahun itu bercerita ledakan bom tak cuma meninggalkan luka di lengan, tetapi juga di sepanjang kaki kanannya. Ia mengatakan ada beberapa bagian daging di betis dan paha yang hancur akibat dihantam ratusan serpihan paku dari ledakan bom. Setelah 4 tahun berselang, hingga kini luka itu masih berbekas jelas.

"Kalau waktu itu saya enggak gemuk, mungkin serpihannya bakal ngehancurin tulang kaki saya," kata Denny dengan mata berkaca-kaca.

Meskipun dokter menyatakan seluruh luka akibat ledakan itu sudah sembuh, tapi Denny mengaku fisiknya yang sekarang menjadi jauh lebih lemah. Hal itu diakibatkan beberapa urat dan saraf di kaki serta tangan yang telah hancur tak dapat kembali normal.

Kondisi tersebut tentu berimbas pada kelincahannya saat beraktivitas. Denny mengaku saat ini tak bisa bekerja terlalu capek atau akan membuat seluruh luka itu kembali sakit.

Untuk mengurangi keluhan tersebut, Denny saat ini rutin menjalani terapi alternatif. Dia juga rajin mengonsumsi obat-obatan herbal seperti madu dan habbatussauda atau jinten hitam untuk mengembalikan staminanya.

"Saya terapi dua hari sekali, setiap malam sehabis pulang kerja. Sekali terapi, ya ada lah keluar uang Rp 100 - 200 ribu," kata Denny.

Soal bantuan dari pemerintah terhadap perawatan lukanya pasca-bom Thamrin, Denny mengatakan sudah cukup. Ia enggan menyebut nominal pasti bantuan itu

"Intinya pemerintah sudah cukup baik lah sama saya. Bahkan saya dinaikkan pangkat menjadi Iptu," ujar Denny.

Soal trauma atas kejadian teror bom di Thamrin tersebut, pria yang tinggal di Bukit Duri, Jakarta Timur, itu mengaku sudah mulai melupakannya. Ia mengatakan sudah berdamai atas peristiwa bom yang ditujukan para pelaku kepada aparat. Bahkan, Denny memberi izin kepada salah satu putranya untuk menjadi polisi.

Saat ditanya apakah tak khawatir peristiwa serupa akan menimpa putranya yang menjadi aparat, Denny hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Menurut dia, apa pun yang telah terjadi kepada dirinya dan yang akan terjadi kepada putranya, sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Ia mengatakan manusia hanya perlu menerima dan bersabar atas hal itu.

Kini, Denny mengatakan hanya ingin menghabiskan masa jabatannya di kepolisian yang tinggal 6 tahun lagi. Ia mengaku tak pernah merasa menyesal selama mengabdi sebagai aparatur negara, meskipun Denny beberapa kali hampir kehilangan nyawa saat menjalani pekerjaannya.

"Enggak pernah ada penyesalan, semuanya sudah saya terima," kata Denny.

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus