Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus makar, Anes Tabuni, mengaku sengaja mengenakan koteka saat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin 6 Januari 2020. Anes menuturkan koteka merupakan budaya orang Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sengaja pakai koteka dan kami mau menunjukkan bahwa inilah identitas dan budaya kami sehingga kami di sidang berikut pun akan tetap pakai koteka," kata Anes saat ditemui usai sidang di PN Jakpus, Senin, 6 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, dirinya memakai koteka di sidang karena keinginan pribadi. Anes menuturkan sejak sidang pertama, ia selalu hanya mengenakan koteka.
Warga Papua, dia menilai, bakal mengucilkan dirinya apabila tiba-tiba tak lagi memakai koteka sesuai keinginan majelis hakim. Lagipula, Anes menambahkan, orang tua Papua sudah menggunakan pakaian adat itu sejak dulu.
"Jadi saya lebih baik dalam persidangan ini terus-terusan saya pakai koteka," ucap dia.
Sebelumnya, majelis hakim perkara makar keenam aktivis Papua menegur terdakwa yang memakai koteka dalam sidang pembacaan eksepsi hari ini. Hakim meminta agar para terdakwa menggunakan celana di persidangan berikutnya. Terdakwa tetap diperbolehkan tidak memakai baju.
Dari pantauan Tempo, Anes sama sekali tak mengenakan baju dan celana. Dia hanya menutup kemaluannya dengan koteka berukuran panjang.
Anes tak sendiri. Terdakwa lain bernama Ambrosius Mulait juga tampak mengenakan pakaian khas adat Papua itu. Sementara empat terdakwa lain mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam.
Keenamnya menjalani sidang dengan tiga berkas perkara berbeda. Perkara empat terdakwa yang menjadi satu berkas adalah Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Isay Wenda. Selanjutnya, terdakwa Anes Tabuni dan Arina Elopere masing-masing satu berkas perkara terpisah. Arina dan Anes terlebih dulu menjalani sidang eksepsi hari ini.
Mereka didakwa melakukan perbuatan makar setelah mengibarkan bendera bintang kejora saat berdemonstrasi di depan Markas Besar TNI Angkatan Darat dan Istana Negara pada Agustus 2019. Demonstrasi itu sendiri merupakan buntut dari kerusuhan di asrama Papua di Surabaya.
Mereka didakwa dengan dua pasal alternatif. Pertama, Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang mengatur soal makar. Kedua, Pasal 110 ayat 1 KUHP ihwal permufakatan jahat.