Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Haram Rumah Bersejarah

Mahkamah Agung tiga kali mengeluarkan putusan peninjauan kembali terhadap perkara sengketa rumah. Dituding menyalahi aturan.

4 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah itu kental dengan bau sejarah. Tiga tokoh nasional negeri ini pernah menginap di salah satu kamarnya. Mereka adalah Presiden Sukarno, Bung Tomo, dan Roeslan Abdulgani. Pemilik rumah, Mochamad Asnoen Arsyad (almarhum), merupakan perintis Yayasan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Rumah di Jalan Embong Ploso Nomor 25, Surabaya, tersebut memang sudah "tua". "Rumah ini berdiri sejak 1920," kata Ryan Martino, cucu Asnoen, kepada Tempo, yang menyambangi rumah itu dua pekan lalu.

Nilai sejarah rumah itulah yang membuat puluhan mahasiswa ITS nyaris bentrok dengan juru sita Pengadilan Tinggi Jawa Timur pada Desember 2005. Mereka pasang badan karena pengadilan hendak menyita rumah dan mengusir belasan mahasiswa yang kos di sana. "Rektorat ITS dan mahasiswanya merasa turut memiliki rumah ini sejak dulu," kata Astuningsih alias Tutut, anak keempat Asnoen.

Pengadilan hendak menyita rumah itu karena majelis hakim memvonis rumah tersebut sudah berpindah tangan. Keluarga Asnoen pun diminta tak tinggal lagi di situ. Sengketa kepemilikan sudah masuk ke Mahkamah Agung. Tak tanggung-tanggung, sengketa ini sampai "membuahkan" tiga putusan peninjauan kembali. Sesuatu yang dinilai ganjil.

l l l

Kisah sengketa berawal ketika adik Tutut, Achmad Muljojianto, menggadaikan sertifikat rumah kepada temannya, Faiz Ramzy Rachbini, pada 1992. Dari Faiz, dia meminta uang gadai Rp 15 juta. Uang itu akan dia pakai berbisnis. Namun Faiz tak punya uang sebanyak itu. Dia lantas menghubungi rekannya, Harjono, yang kemudian membawa sertifikat rumah kepada Budi Said, salah satu pengusaha properti di Kota Pahlawan.

Nah, dari Budilah uang itu didapat. Setahun berjalan, Achmad tak kunjung membayar utangnya. Budi menawarkan solusi. Dia mengajak Achmad ke notaris untuk membuat akta seolah-olah terjadi jual-beli rumah. Saat itu, ibu Achmad dan Tutut, Djinoen, masih hidup. Usianya 70 tahun. "Ibu terpaksa menandatangani akta itu karena didesak," kata Tutut. Sebelum penandatanganan akta, menurut Tutut, mereka dijanjikan akan diberi Rp 500 juta. Kini harga rumah di atas lahan seluas 1.332 meter persegi itu mencapai Rp 15 miliar.

Bertahun-tahun kemudian, anak-anak Asnoen-Djinoen masih menempati rumah yang terletak di jantung Kota Surabaya itu. Adapun uang yang dijanjikan tak kunjung datang. Pada 1998, bagai petir di siang bolong, mereka menerima gugatan dari Ida Meilani. Penggugat mengklaim memiliki sertifikat dan meminta keluarga ­Asnoen mengosongkan rumah itu. "Sertifikat kami ternyata sudah berbalik nama," ujar Tutut.

Di Pengadilan Negeri Surabaya, pada 1999, keluarga Asnoen menarik napas lega karena gugatan Itu tak dikabulkan hakim. Majelis membatalkan akta jual-beli dan sewa-menyewa karena, menurut mereka, itu dibuat di bawah tekanan. Tapi, di pengadilan tinggi, giliran anak-anak Asnoen kecewa. Mereka kalah. Tak terima, Tutut pun mengajukan permohonan kasasi pada 2007. Tapi mereka kalah lagi.

Bersama pengacaranya, pada 2008, Tutut mengajukan upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali. Kali ini mereka menang. Dalam pertimbangannya, majelis hakim peninjauan kembali menyatakan transaksi dan akta yang dibuat di atas rumah itu tak sah. Djinoen dianggap tak layak menandatangani surat perjanjian karena sudah uzur dan tak didampingi anaknya yang lain. Djinoen meninggal pada 2003.

Semestinya putusan ini membuat anak-cucu Asnoen dan Djinoen hidup tenang. Tapi ternyata tidak. Pada 2009, Budi Said ternyata mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan PK yang menga­lahkannya itu. Kendati keluarga Asnoen sempat waswas, ternyata putusan hakim peninjauan kembali lagi-lagi membuat mereka tenang. PK atas PK yang diajukan Budi ditolak Mahkamah. Dalam putusan peninjauan kembali kedua itu, majelis hakim menegaskan PK atas PK yang pertama tidak dibenarkan. Hakim menyatakan permohonan peninjauan kembali hanya bisa diajukan satu kali.

Tapi Budi rupanya tak menyerah. Setahun kemudian, ia mengajukan permohonan PK yang ketiga. Kali ini ternyata berhasil. Situs kepaniteraan Mahkamah Agung menyebutkan peninjauan kembali bernomor 145PK/PDT/2010 itu dikabulkan majelis hakim. Vonis jatuh pada September tahun lalu. Tapi, karena belum menerima salinannya, Tutut dan keluarga belum mengetahui isi persis putusan peninjauan kembali ketiga itu. "Kami bingung, mengapa PK bisa berkali-kali diajukan," kata Tutut.

Lewat orang dekatnya, Johnny I. Budiman, Budi Said membenarkan telah mengajukan permohonan peninjauan kembali hingga tiga kali. Mereka menegaskan kemenangan mereka itu sesuai dengan proses hukum. "Silakan tanya sendiri ke Mahkamah," ujar Johnny.

Tapi keluarga Asnoen mencium aroma tak beres di balik putusan ini. Kepada Tempo, Tutut menuturkan, beberapa pekan sebelum vonis peninjauan kembali ketiga jatuh, ada yang mencoba memerasnya. Seseorang yang mengaku karyawan Mahkamah Agung, kata Tutut, meminta upeti Rp 2 miliar bila ia ingin kasusnya dimenangkan majelis hakim. Menurut Tutut, orang itu mengaku anggota staf hakim agung Imron Anwari, salah satu anggota majelis peninjauan kembali yang ketiga.

Menurut Tutut, saat itu ia menolak permintaan orang tersebut. "Saya tak mau bayar, dan akhirnya terbukti saya kalah," ujarnya. Pekan lalu, Tutut mengadukan upaya pemerasan dan putusan peninjauan kembali ketiga yang dinilainya ganjil itu ke Komisi Yudisial. Dia meminta Komisi juga memeriksa para majelis hakimnya.

Bulan lalu, nama Imron Anwari juga menjadi sorotan. Dia diadukan ke Komisi Yudisial karena menganulir hukuman mati bagi bandar narkotik. Mereka yang batal dieksekusi itu adalah Hanky Gunawan, pemilik pabrik ekstasi di Surabaya, dan Hillary K. Chimezie, warga Nigeria yang didakwa mengedarkan heroin seberat 5,8 kilogram.

Tempo berupaya meminta keterangan Imron perihal anggota stafnya yang meminta uang dan adanya peninjauan kembali hingga tiga kali itu. Rabu pekan lalu, Imron hadir dalam rapat kerja nasional Mahkamah Agung di Manado. Ketua Muda Peradilan Militer itu muncul di rapat yang digelar di sebuah hotel tersebut dengan memakai batik kuning. Tapi, sewaktu Tempo menghampiri, dia mengaku bukan Imron. "Itu Imron," ujarnya sambil berjalan cepat sembari menunjuk seseorang. Dia lalu memanggil petugas pengamanan Mahkamah Agung, yang lalu tergopoh-gopoh menghampirinya. Beberapa saat kemudian, petugas itu berkata kepada Tempo, "Pak Imron tak mau diwawancarai."

Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengatakan peninjauan kembali hanya bisa dilakukan satu kali. Itu diatur lewat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009. Tapi itu bukan harga mati. "Kalau ada dua putusan PK bertentangan, bisa diajukan PK lagi," kata Djoko, yang juga juru bicara MA.

Pengamat hukum acara Yoni I. Setiyono mengatakan, dalam kasus rumah Asnoen, langkah Mahkamah Agung tidak tepat. Merujuk pada Undang-Undang Kehakiman, dia menegaskan, hakim agung tak boleh memproses peninjauan kembali sampai tiga kali. Menurut pakar hukum dari Universitas Indonesia ini, jika "pintu" PK terus dibuka, akan muncul ketidakpastian hukum. "PK ketiga itu haram," ujar Yoni.

Mustafa Silalahi (Jakarta), David Priyasidharta (Surabaya), Isa Anshar Jusuf (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus