Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para karyawan kebun teh Gambung di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu bersimbah peluh. Mereka giat melakukan pemupukan mengejar musim hujan, yang diperkirakan masih berlangsung hingga Desember nanti. Rutinitas ini biasa diadakan tiga kali dalam setahun.
"Ada hara, ada air, itu yang paling efektif," kata Rohayati Suprihatini, Kepala Bidang Penelitian dari Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, kepada Tempo. Dia menekankan pentingnya pemupukan pada musim hujan.
Kebun teh Gambung seluas 400 hektare merupakan milik PT Riset Perkebunan Nusantara-perusahaan yang sahamnya dimiliki para direktur utama PT Perkebunan Nusantara alias PTPN. Saat ini, PT Riset Perkebunan Nusantara sedang dalam proses menjadi perusahaan pelat merah.
Perseroan itu memiliki 700-an area kebun teh. Selain Gambung, ada seratus hektare kebun teh dari biji peninggalan Belanda, pada 1880, di Bandung Selatan. Di kebun ini, tanaman teh berasal dari biji, bukan bibit seperti yang banyak dilakukan sekarang. Ada pula kebun seluas 75 hektare di Cipanas, Jawa Barat, dan 100 hektare di Simalungun, Sumatera Utara.
Kebun dengan tanaman tua hasil penyemaian biji merupakan persoalan yang dihadapi hampir semua pengelola perkebunan teh, baik pemerintah (PTPN) maupun swasta. Menurut Rohayati, dari total 127 ribu hektare kebun teh di Indonesia, 40 persennya disemaikan dari biji, 40 persen menggunakan bibit klon generasi pertama dari Sri Lanka. Sisanya, cuma 20 persen, kebun yang telah diremajakan dengan klon unggul.
Kondisi ini menjadi salah satu faktor penyebab penurunan produktivitas kebun teh nasional. Masalah itu mengemuka dalam rapat tahunan Dewan Teh Indonesia-Asosiasi Teh Indonesia di Bandung, 17 November lalu. Kebun dari biji cuma menghasilkan 1.500 kilogram teh kering per hektare per tahun. Sedangkan kebun klon generasi pertama memproduksi 2.000-2.500 kilogram teh kering. Bandingkan dengan klon unggul, yang hasilnya bisa tiga kali lipat, 5.000-6.000 kilogram teh kering.
Kemerosotan produksi terasa pula di kebun teh Gunung Gambir, Jember, Jawa Timur. Kamis pekan lalu, misalnya, seorang buruh petik, Siami, 50 tahun, hanya bisa mengumpulkan maksimal 35 kilogram pucuk daun. Tiga puluh tahun lalu, warga Desa Gelang, Kecamatan Sumber Baru, itu bisa memetik 50 kilogram saban hari. "Pucuk-pucuk daun di ketiak ranting tak banyak lagi sekarang," ujarnya.
Rofianto, mandor petik di kebun itu, menambahkan, lahan seluas 2.500 hektare cuma menghasilkan 5-10 ton pucuk daun teh per hari. Padahal pada 1990-an bisa mencapai 20 ton. Sejauh ini perseroan belum merencanakan program peremajaan. Mereka hanya "menyulam", yakni mengganti tanaman yang mati dengan bibit baru. Lalu dilakukan pemupukan intensif.
Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung sudah berusaha mati-matian mendongkrak produksi. Untuk jangka pendek, mereka melakukan intensifikasi, misalnya dengan pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Hasilnya lumayan, produksi teh meningkat 5 sampai 6 kali lipat dari kebun biji. Tahun depan, rencananya, perseroan memulai peremajaan tanaman seluas 40 hektare. Sisanya, mulai 2013, klon unggul akan ditanam di kebun biji secara bertahap 15 hektare per tahun.
Tak mudah meremajakan ratusan ribu hektare kebun teh di Indonesia. Rohayati memperkirakan perlu dana Rp 40-50 juta per hektare. "Siapa yang akan membiayai?" dia bertanya. Apalagi harga teh di pasar lokal cenderung stabil. Harga di balai lelang teh Jakarta sempat naik dari US$ 1 per kilogram teh kering pada 2006, menjadi US$ 1,5 pada 2008, dan sekarang US$ 1,7 per kilogram. Padahal ongkos produksi terus meningkat sekitar 13 persen per tahun.
Khusus teh hitam, menurut Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia Jawa Barat Endang Sopari, penjualannya lebih teratur. Dengan harga dasar Rp 1.400 per kilogram, petani bisa langsung membawa ke pabrik teh yang dikelola PTPN atau melalui bursa pelelangan komoditas di Jakarta. Sedangkan teh hijau produksi kebun rakyat di Jawa Barat disalurkan ke pabrik pengolahan teh kemasan di Jawa Tengah, seperti Sosro dan 2 Tang. Tapi tidak semua teh hijau rakyat bisa langsung dikirim ke pabrik. Sebagian ditampung pengepul karena petani tak punya akses ke pabrik.
Toh, dibanding teh Sri Lanka, harga teh lokal tetap lebih rendah. "Itu masalah mutu," kata Rohayati. Teh Indonesia, ia menjelaskan, rata-rata ditanam di ketinggian 800-1.200 meter di atas permukaan laut. Berbeda dengan di Sri Lanka, yang ditanam kurang dari 800 meter di atas permukaan laut. Teh yang ditanam di dataran yang lebih rendah, menurut Rohayati, "Rasanya lebih kuat." Teh jenis ini belakangan cenderung digemari pasar dunia.
Tak mengherankan bila teh impor bermutu ini belakangan membanjiri pasar lokal. Sejak kebijakan perdagangan bebas ASEAN-Cina diberlakukan, Dewan Teh Indonesia mencatat impor teh pada 2008 cuma 6.630 ton. Tahun berikutnya meningkat menjadi 7.170 ton, dan pada 2010 menjadi 10.870 ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, delapan bulan pertama tahun ini impor teh telah mencapai 9.559 ton, jauh di atas angka pada periode yang sama tahun lalu sebesar 6.522 ton. Nilainya tercatat meningkat dari US$ 11,77 juta menjadi US$ 15,15 juta.
Rohayati menunjuk rendahnya tarif bea masuk sebagai penyebab membanjirnya teh impor. Indonesia cuma memungut bea masuk teh dari luar negeri 5 persen. Produk dari Vietnam bahkan bisa masuk nol persen alias tanpa bea. Bandingkan dengan negara-negara produsen teh lain yang memproteksi habis-habisan produk teh mereka. Bahkan Turki menetapkan tarif bea masuk hingga 145 persen (lihat tabel).
Dapat dimaklumi bila rapat tahunan Dewan Teh Indonesia-Asosiasi Teh Indonesia dua pekan lalu merekomendasikan perlunya tata niaga impor teh. Rohayati mengatakan tarif impor teh mesti dikerek dan barang masuk harus disaring. Misalnya dengan memperketat Standar Nasional Indonesia, pelabelan halal, dan perizinan dari Dewan Teh Indonesia. "Aturan itu biasa berlaku di negara lain," kata dia.
Sejauh ini Kementerian Perdagangan belum banyak berbuat. Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Herry Soetanto, dalam sebuah diskusi pada awal November lalu, mengatakan akan mengkaji persoalan tersebut untuk memperkuat dan mengembangkan pasar domestik. Entah sampai kapan Siami harus bersabar agar produksi teh bisa meningkat dan harganya melambung.
Retno Sulistyowati, Mahbub Djunaidy (Jember), Ahmad Fikri (Bandung)
Produksi Teh Indonesia Teh kering (ton) | |
2011* | 71.000 |
2010 | 150.342 |
2009 | 156.901 |
2008 | 153.971 |
2007 | 150.223 |
2006 | 146.858 |
2005 | 166.091 |
Produktivitas (kg/ha) | |
2010 | 1.472 |
2009 | 1.571 |
2008 | 1.447 |
2007 | 1.363 |
2006 | 1.322 |
2005 | 1.465 |
Luas area (hektare) | |
2011* | 123.506 |
2010 | 124.573 |
2009 | 123.506 |
2008 | 127.712 |
2007 | 133.734 |
2006 | 135.590 |
2005 | 139.121 |
Sumber: Statistik Perkebunan Tahun 2009-2011, Direktorat Jenderal Perkebunan; ITC (International Tea Committee)
Tarif Bea Masuk Teh
Produsen Teh Dunia
Total produksi dunia: 3,9 juta ton teh kering
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo