Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=2>Merger bank</font><br />Opsi Kawin Dua Raksasa

Temasek dan Khazanah berencana mengawinkan bank milik mereka di Indonesia. Persoalan pajak bisa jadi ganjalan.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROPOSAL itu buru-buru dikirim ke Jakarta menjelang tutup tahun. Alamat asal dari Kuala Lumpur, Malaysia, ditujukan ke kantor Bank Indonesia di Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Khazanah Nasional Berhad, si pengirim, rupanya punya usul penting untuk menggabungkan dua bank besar miliknya: Bank Niaga dan Bank Lippo.

Khazanah memang sedang berkejaran dengan batas waktu menyangkut dua bank miliknya itu. Bank sentral telah mematok bahwa 31 Desember 2007 adalah tenggat akhir bagi pemilik lebih dari satu bank untuk mengajukan rencana aksinya. Berdasarkan Peraturan BI Nomor 8/16/PBI/2006, setiap pemegang saham nantinya tidak diperbolehkan lagi menjadi pengendali atau pemilik lebih dari 25 persen saham di lebih dari satu bank.

Khazanah, yang menjadi pengendali di Bank Lippo dan Bank Niaga, jelas terkena aturan ini. Begitu pula Temasek Holdings dari Singapura yang memiliki saham mayoritas di Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia (BII). Pemerintah Indonesia, sebagai pemilik Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN, pun tak luput dari kewajiban tersebut.

Nah, bagi mereka yang terkena aturan ini, wajib hukumnya untuk memilih satu dari tiga opsi sebelum akhir 2010: melego salah satu bank, merger, atau membentuk perusahaan induk. Ketentuan ini dipancangkan BI dalam cetak biru Arsitektur Perbankan Indonesia (API) demi mewujudkan bank yang mampu bersaing di level regional. BI pun giat memaksakan konsolidasi bank. Targetnya, jumlah bank bisa dipangkas dari 130 menjadi hanya 70-80 bank pada 2010.

Berbagai cara ditempuh bank sentral untuk mewujudkan cita-cita itu. Aturan kepemilikan tunggal bank menjadi salah satu motornya. Terhadap proposal merger yang diajukan oleh pemilik bank, pihak BI akan mengevaluasinya setiap tiga bulan mulai 1 Januari 2008. Jika sampai tenggat 2010 pemilik tak juga memutuskan nasib kepemilikannya, sanksinya cukup berat: denda Rp 500 juta plus larangan menjadi pengendali bank hingga 20 tahun.

Untuk menghindari sanksi itulah, Khazanah dan Temasek bolak-balik berkonsultasi dengan bank sentral. Hasilnya, kedua raksasa investasi dari negeri jiran itu menjatuhkan pilihan pada opsi merger. Adapun alternatif membentuk perusahaan induk tak dipilih karena dinilai lebih rumit dan bertele-tele.

Lewat opsi merger ini, Bank Lippo rencananya akan dikawinkan dengan Bank Niaga. Begitu pula BII yang akan digabung dengan Bank Danamon. Temasek melalui Fullerton Financial Holdings Pte. Ltd., selaku pemilik BII, malah sudah lebih awal mengajukan proposal merger ini ke bank sentral pada 13 Desember lalu.

Pelbagai persiapan telah digeber Khazanah. Mereka telah membentuk tim merger yang berasal dari kedua bank. Kini mereka pun tengah bersiap-siap mengevaluasi aspek legal, operasional, dan keuangannya, termasuk soal perpajakan. Temasek juga siap tancap gas. Perusahaan investasi milik pemerintah Singapura ini bahkan sudah mengakuisisi saham Sorak Financial Holdings milik Barclays Capital dan ICB Financial.

Sorak adalah pemilik 56,3 persen saham BII. Dengan akuisisi ini, Temasek bakal menguasai 75 persen saham Sorak. Dengan penguasaan saham sebesar itu, jalan bagi Temasek untuk menggabungkan Danamon dan BII bisa kian lempang.

Direktur Pengaturan Bank BI Halim Alamsyah mengatakan, lewat merger ini bank-bank di Indonesia akan lebih solid. Bukan hanya modalnya yang bakal melonjak, aset, jaringan, potensi pertumbuhan, dan pangsa pasarnya juga akan meningkat.

Ambil contoh Niaga dan Lippo. Penggabungan kedua bank ini akan menghasilkan bank baru dengan total aset Rp 85 triliun, 600 cabang, dan 1.100 ATM. Posisinya akan melesat ke peringkat keenam di Indonesia. Padahal, semula Bank Niaga yang beraset Rp 47,1 triliun dan Bank Lippo Rp 37,9 triliun menduduki peringkat ketujuh dan kesepuluh per September 2007.

Penggabungan kedua bank ini juga dinilai akan menciptakan kombinasi yang bagus. Bank Niaga punya kekuatan di segmen pasar menengah atas. Sedangkan Lippo unggul di segmen pengusaha dan pedagang Cina. ”Sinergi juga akan tercipta dengan CIMB Group, pengendali Bank Niaga,” ujar Kepala Eksekutif CIMB Group Datuk Nazir Razak. CIMB dikendalikan oleh Bumiputra Commerce, unit usaha Khazanah.

Dengan sederet keuntungan itulah, kabar rencana penggabungan kedua bank ini disambut hangat investor. Sehari setelah Khazanah mengumumkan rencana merger Niaga-Lippo, harga saham Bumiputra-Commerce Holdings Bhd. melonjak di bursa saham Malaysia. Harga saham bank terbesar di negeri jiran itu naik 9 persen menjadi 11 ringgit—tertinggi sejak 10 Desember.

Bagaimana arah merger kedua bank ini hingga kini masih belum jelas. Tapi, di kalangan pelaku pasar, beredar spekulasi bahwa entitas Bank Niaga yang akan dipertahankan. Ini lantaran Niaga punya aset lebih besar dan prospek bisnis bagus. Pula, Khazanah ingin menghapus pengaruh pemilik lama Lippo. ”Apalagi keluarga Mochtar Riady bukan lagi pemilik Bank Lippo,” kata sumber di bank ini. Namun kabar itu disanggah Direktur Bank Niaga Chaterine Hadiman dengan alasan masih menunggu hasil uji tuntas.

Bagaimana dengan rencana Temasek? Penggabungan Danamon dan BII, miliknya, juga akan menghasilkan bank baru dengan kekuatan luar biasa. Jumlah cabang bertambah jadi 730 kantor dan ATM naik dua kali lipat menjadi 1.490 unit. Total aset bakal melonjak jadi Rp 134 triliun. ”Ini memudahkan Danamon tumbuh pesat,” kata analis perbankan Djoko Retnadi.

Danamon yang tangguh di sektor usaha kecil menengah dan BII yang kuat di kredit konsumer berpotensi menjalin sinergi. Apalagi jika perusahaan pembiayaan WOM Finance milik BII dan Adira Finance yang dikendalikan Danamon bekerja sama, kemampuan mereka menguasai pasar pembiayaan kendaraan bermotor akan semakin dahsyat.

Meski begitu, proposal Khazanah dan Temasek ini belum final. Ini masih sangat bergantung pada hasil evaluasi berbagai aspek. Yang utama, kata seorang direktur bank yang akan dimerger, adalah soal perpajakan. Jika tidak ada insentif keringanan pajak, rencana merger bisa terganjal. Sebab, mereka bakal keberatan jika harus mengeluarkan dana besar untuk membayar pajak penghasilan (PPh) ketika melakukan aksi merger ini.

Ambil contoh seandainya BII diakuisisi Danamon. Berdasarkan nilai buku, modal BII saat ini Rp 5 triliun. Namun, jika mengacu harga pasar, nilainya 3,5 kali lipat lebih tinggi yakni Rp 17,5 triliun. Jika Danamon membeli 56,1 persen saham BII, nilai transaksi mencapai Rp 9,8 triliun. Dari jumlah itu, beban pajak yang harus mereka bayar 30 persen atau sekitar Rp 3 triliun. ”Itu kan besar sekali,” kata bankir itu, ”padahal pemiliknya sama.”

Halim tak sepakat dalam soal insentif pajak bakal menjadi kendala utama merger. Alasan dia, pengalaman di negara lain membuktikan tanpa ada insentif pajak pun, bank-bank tetap bergabung. ”Saya yakin, merger tetap berlanjut, ada atau tanpa insentif pajak,” ujarnya. Sebab, merger merupakan bagian dari strategi untuk menguasai pangsa pasar.

Heri Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus