Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sigit Terimpit, Gatot Masuk?

Nasib Direktur Utama BNI ditentukan dalam rapat pemegang saham bulan depan. Penggantinya disebut-sebut masih kerabat Presiden.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT Gatot Murdiantoro Suwondo ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, akhir Desember lalu, mengakhiri desas-desus rencana pergantian direksi Bank BNI. Dalam suratnya, Wakil Direktur Utama BNI itu jelas-jelas menyatakan bahwa rapat umum pemegang saham luar biasa akan digelar pada 6 Februari mendatang.

Salah satu agendanya, ya itu tadi, perubahan susunan direksi perusahaan. Dengan masuknya agenda ini, hampir dipastikan Sigit Pramono bakal segera tergusur dari kursi orang nomor satu di bank pelat merah itu, yang didudukinya sejak empat tahun lalu.

Surat pemberitahuan dilayangkan Gatot setelah pada pertengahan Desember lalu Menteri Negara BUMN, Sofyan Djalil, meminta BNI mengadakan RUPS. Pemerintah merupakan pemegang 76,36 persen saham BNI. "Perombakan ini untuk penyegaran dan membuat kinerja lebih optimal," Sofyan memberikan alasan.

Salah satu pangkal persoalan yang memicu pergantian tampuk pimpinan ini, menurut sumber Tempo, yaitu harga saham BNI yang adem-ayem di lantai bursa. Padahal pemerintah tadinya berharap, dengan adanya rencana penjualan 15 persen saham lewat penawaran saham perdana kedua (secondary offering) dan 15 persen penjualan saham baru lewat penawaran terbatas (rights issue) pada Agustus lalu, nilai saham BNI bisa terdongkrak.

Kenyataannya, valuasi saham BNI malah melorot. Kalaupun naik, nilainya masih di bawah harga pada saat divestasi, yang dipatok pada Rp 2.050. Dalam penutupan pada Jumat lalu, nilai saham BNI pun masih segitu-segitu saja: Rp 1.920 per saham.

Ekonom Dradjad Wibowo berpendapat, terpuruknya saham BNI pada saat divestasi, salah satunya, disebabkan efek psikologis krisis kredit hipotek dana perumahan di Amerika, yang membuat banyak harga saham terjun bebas. Setelah jatuh, investor terdorong menjual saham. "Sehingga tidak ada pemicu untuk menaikkan harga." Apalagi saham BNI sudah terlalu lama "tidur". Sebelum divestasi, jumlah saham yang diperdagangkan kurang dari satu persen.

Di luar soal nilai saham, menurut sumber tadi, pemerintah juga punya persoalan dengan kepemimpinan Sigit. Kementerian Negara BUMN melihat bekas Direktur Utama Bank Internasional Indonesia ini tidak punya kepemimpinan yang kuat untuk mengubah kultur lama BNI yang sudah berurat-berakar. Akibatnya, kinerja BNI tidak maksimal. Tidak semoncer dua bank BUMN lainnya: Bank Mandiri atau Bank Rakyat Indonesia.

Alhasil, menurut salah seorang bankir papan atas, investor asing yang merupakan salah satu penggerak pasar modal Indonesia tak kepincut mengoleksi saham bank yang dulunya berlogo kapal layar itu. Sigit pun dinilai tidak seberani Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo dalam mengumumkan debitor bandel. Padahal, cara Agus dianggap lebih tokcer dalam memangkas rasio kredit bermasalah Bank Mandiri.

Benar-tidaknya sederet alasan tadi, Sigit tidak tahu persis. "Alasan resmi untuk meminta RUPS itu tidak pernah disampaikan secara langsung," ujarnya pekan lalu. Yang sayup-sayup mampir ke telinganya memang soal harga saham BNI yang loyo. Tapi Sofyan menepis sinyalemen itu. "Ini mekanisme normal," katanya.

l l l

KABAR pencopotan Sigit sesungguhnya sudah berembus sejak awal Agustus tahun lalu. Seorang analis perbankan membisikkan kegagalan tim Sigit menggaet investor asing pada saat penjualan saham menjadi penyebab pencopotan dirinya oleh Menteri Sofyan.

Sigit bahkan disebut-sebut tidak bisa memberikan jawaban memuaskan ketika menggelar road show di New York, Amerika Serikat. Padahal jajak pasar di negeri adikuasa itu pada akhir Juli lalu dilakukan untuk menakar sekaligus membangkitkan minat investor asing atas saham BNI.

Sigit kembali menepis kabar itu. "Saya kan bukan satu-dua kali menggelar road show," katanya. "Jadi tahu persis bagaimana menghadapi tabiat investor asing." Persoalannya, kata Sigit, minat investor langsung lunglai karena jajak pasar hampir bersamaan dengan munculnya krisis kredit hipotek perumahan di Amerika.

Gara-gara krisis ini, banyak perusahaan raksasa, seperti Citigroup dan Merrill Lynch, rugi besar. Bursa saham di Wall Street, New York, pun ambruk. Dampaknya menjalar ke bursa dunia lainnya. Pasar tidak bergairah. Akibatnya, hasil penjajakan ke Amerika tak berbuah maksimal.

Seorang bankir sepakat untuk tidak menimpakan semua kesalahan pada Sigit. Ia malah menuding salah satu biang keladi kegagalan penjualan saham itu adalah keterlambatan BNI menerima persetujuan divestasi dari DPR. Lampu hijau sesungguhnya sudah keluar dari parlemen sejak Maret tahun lalu, tapi mengendap di Kementerian BUMN. "Gara-garanya, ada gonjang-ganjing pergantian menteri di kementerian itu," kata sumber tadi.

Akibatnya, persetujuan Dewan baru diterima BNI tiga bulan kemudian. "BNI saat itu lagi apes," kata bankir tadi. Situasinya pasti berbeda bila divestasi dilakukan lebih awal, ketika krisis kredit hipotek di Amerika belum meruyak. Tapi, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. "Itu semua sudah terjadi," kata Sigit. "Saya tidak mau menyalahkan keadaan atau pihak lain." Tapi ia juga meminta jangan manajemen BNI yang melulu disalahkan. Jangan gara-gara harga saham turun, semua diungkit-ungkit. "Itu tidak adil," ujarnya.

Toh, kata dia, tiga bulan sebelum dan sesudah penawaran saham perdana kedua, kinerja BNI mengalami peningkatan. Perkara perbaikan itu tidak direspons dalam bentuk kenaikan harga saham BNI, hal itu di luar kendali manajemen. "Tugas kami hanya menggenjot kinerja," kata bankir yang punya hobi fotografi itu. Ia pun keberatan kalau kinerja BNI serta-merta dibandingkan dengan bank milik negara yang lain. "Karena dana rekapitalisasi bank-bank pascakrisis ekonomi tidak sama jumlahnya," ujarnya.

Ambil contoh perbandingan dana rekapitalisasi BNI dan Bank Mandiri. Buat BNI, dana rekapitalisasi yang disuntikkan pemerintah hanya Rp 61,2 triliun. Sedangkan Bank Mandiri, yang merupakan hasil merger empat bank, mendapat Rp 178 triliun. Akibatnya, rasio kecukupan modal BNI saat itu pas-pasan, sekitar 16 persen. Sementara Bank Mandiri sudah di atas 20 persen. Kondisi awal yang berbeda itu, kata Sigit, berdampak pada kecepatan sebuah bank dalam menggenjot kinerja atau ekspansi.

l l l

SIGIT menjabat Direktur Utama BNI sejak 16 Desember 2003. Bekas Direktur Utama BII itu diberi tugas membenahi BNI setelah bank pemerintah itu kebobolan Rp 1,3 triliun akibat kasus surat kredit ekspor fiktif. "Saat itu direksi baru datang dengan misi membenahi sistem," kata sumber Tempo, "karena L/C fiktif dianggap kasus besar."

Masalahnya, kalangan internal BNI sendiri tak satu suara. Sebagian orang dalam BNI menilai yang "sakit" bukanlah sistem yang sudah berjalan puluhan tahun, melainkan perbuatan sejumlah oknum. Resistensi terhadap kepemimpinan Sigit belakangan juga menguat. Apalagi Sigit bukan orang dalam. Kalangan dalam ada juga yang menganggap Sigit tidak bisa membangkitkan loyalitas di kalangan anak buahnya. "Banyak yang merasa target yang selalu dikumandangkannya seperti bukan target bersama," ujar seorang pegawai BNI.

Karena itulah, kata Dradjad Wibowo, benturan antara gaya kepemimpinan Sigit dan kultur BNI tak terelakkan. Dradjad, yang pernah menjadi komisaris BNI, mengakui kultur BNI masih harus disempurnakan agar bank itu lebih kinclong. Tapi mengubah kultur yang sudah ajek puluhan tahun bukan perkara mudah. Apalagi posisi Sigit di BNI tidak sekukuh Agus Martowardojo di Bank Mandiri. Sigit, misalnya, tidak punya kesempatan menentukan jajaran direksi lainnya ketika ia diangkat. Semuanya sudah ditentukan dalam satu paket versi pemerintah.

Ini berbeda dengan Agus sebelum masuk Bank Mandiri. Ketika itu Agus diberi keleluasaan menentukan jajaran direksi, bahkan komisaris. Cara ini cukup ampuh untuk membuat direksi Mandiri solid serta tahan gempuran tatkala digoyang dari dalam dan luar. Dengan bekal itu pula Agus berani menggebrak dengan mengumumkan debitor kakap yang tidak kooperatif. "Cara ini efektif karena menimbulkan kesan para debitor itu musuh bersama," kata seorang eksekutif di BNI. Tak mengherankan bila kesan yang tertangkap publik, Agus lebih berani menghadapi debitor ketimbang Sigit.

Tapi Sigit punya alasan sendiri. "Kami tidak punya debitor kakap," katanya. "Lagi pula, mereka kooperatif." Debitor terbesar BNI adalah Bosowa Group milik Aksa Mahmud, dengan nilai Rp 548 miliar. Sisanya di bawah Rp 100 miliar. Situasi ini, kata Sigit, jelas berbeda dengan Mandiri, yang debitornya punya utang triliunan rupiah.

Meski tidak segarang Mandiri, Sigit meminta BNI jangan dilihat sebagai sebuah cerita yang tidak berhasil. "Karena kami juga berhasil menekan rasio kredit bermasalah dengan cara kami sendiri," katanya. Ini tercermin dari rasio kotor kredit bermasalah yang turun cepat. Kalaupun rasio bersih kredit bermasalahnya masih lebih besar dari Mandiri, itu lantaran mereka lebih leluasa membuat cadangan kredit bermasalah, karena memiliki dana rekapitalisasi lebih besar.

l l l

PASCA-divestasi, kabar pergantian manajemen BNI kembali menyeruak setelah Sofyan Djalil mulai buka suara kepada pers pada 14 November lalu. Keeesokan harinya, Sigit berinisiatif bertemu Sofyan untuk meminta klarifikasi, karena kabar itu belum disampaikan ke komisaris atau direksi. Akhirnya Sofyan mengirim surat resmi ke Komisaris BNI mengenai RUPS, Desember lalu. Sigit siap diganti. "Asalkan tidak dipolitisasi dan sesuai dengan asas pengelolaan korporasi yang baik," katanya.

Lantas siapa pengganti Sigit? Gatot M. Suwondo disebut-sebut sebagai calon kuat. Bekas Direktur Bank Danamon itu, kata sumber Tempo di pemerintahan, memang dipersiapkan menggantikan Sigit sejak ia bergabung ke BNI. Gatot juga kebetulan masih adik ipar Ani Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama lain yang beredar adalah I Wayan Mertayasa, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri. Namun keduanya mengaku tidak tahu kabar pencalonan itu dan belum pernah diberi tahu oleh Sofyan Djalil. "Tapi, kalau diminta, saya siap," kata Gatot. Ia menepis isu ada peran Istana di balik pencalonannya. "Tidak ada permintaan khusus dari SBY," ujarnya.

Yandhrie Arvian


Pertumbuhan Kredit (Rp triliun)
Des 05Des 06Sept 07
Mandiri
1,83%100,17109,38111,38
BRI
16,91%75,5390,28105,55
BNI
19,33%62,6766,6479,52

Rasio Kredit Bermasalah (%)
KOTOR:

Des 05Des 06Sept 07
Mandiri26,5817,0812,90
BRI4,684,814,99
BNI13,7010,478,31

BERSIH

Des 05Des 06Sept 07
Mandiri16,176,063,40
BRI1,921,291,39
BNI8,366,474,70

Rasio Kecukupan Modal (%)

Des 05Des 06Sept 07
Mandiri23,2124,6222,96
BRI15,2918,8218,19
BNI15,9915,3019,89

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus