Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=2>Wira Usaha</font><br />Muda Inovatif Menembus Asia

Dua pengusaha muda Indonesia menjadi finalis pengusaha muda Asia versi BusinessWeek. Modalnya penguasaan teknologi.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIADA papan nama di kantor itu. Begitu pintu dibuka, yang tampak hanya ruangan seukuran setengah lapangan badminton dengan meja kursi ditata seenaknya, saling berebut tempat dengan komputer, printer, kabel, dan kulkas. Bagi tamu hanya ada satu sofa dan meja, berhadapan langsung dengan para staf yang sibuk menekuni komputer.

Inilah kantor PT BrainCode Solution di Lantai 5 Gedung Prince Centre, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Tapi, jangan anggap enteng: dari kantor agak semrawut itu telah lahir sekitar 100 aplikasi untuk pengguna telepon seluler. Puluhan perusahaan pernah memakai aplikasinya, di antaranya Pertamina dan kelompok Gramedia. Kalau produk sekelas wallpaper, logo, atau nada dering, ”Sudah ribuan,” kata R. Ari Sudradjat, bos BrainCode sekaligus salah satu pendirinya.

Hampir semua operator seluler menjadi mitra BrainCode. ”Yang belum hanya Mobile-8 Telecom,” kata Ari. Bahkan dengan PT Natrindo Telepon Selular yang belum beroperasi pun, kerja sama telah diteken setahun lalu. Kendati menolak menyebut angka, pendapatannya sebulan sudah berskala miliaran rupiah. Hitung saja, sekali mengunduh game, misalnya, pulsa pemilik ponsel dipotong Rp 15 ribu.

Pekan lalu, jajak pendapat majalah BusinessWeek menempatkan Ari, 30 tahun, pada urutan ketiga pengusaha muda Asia. Di peringkat pertama adalah Nguyen Minh Tri, 25 tahun, asal Vietnam, pemilik perusahaan teknologi informasi My World dan Viet Tech. Urutan berikutnya Saloni Malhotra, 25 tahun. Perempuan muda India ini bos perusahaan teknologi informasi DesiCrew Solutions.

Menurut Pemimpin Redaksi BusinessWeek Indonesia, Andrianto Soekarnen, mereka menjaring 25 finalis pengusaha muda Asia lewat internet. Nama-nama itu merupakan hasil penyaringan tim redaksi BusinessWeek Asia di Hong Kong. Kriteria utamanya bukan soal besar atau kecilnya penghasilan, melainkan inovasi dan pengaruh. Dan tentu saja usianya masih muda.

”Kalau ukurannya pendapatan, bisa bias, karena bisa jadi dia anak orang kaya,” kata Andrianto. Profil ke-25 finalis itu kemudian dipajang di internet dan setiap orang bebas mendukung siapa yang dianggap pantas sebagai pengusaha muda Asia ”terbaik” dan layak menjadi sumber inspirasi.

Cerita kenekatan para pendiri BrainCode memang menggugah semangat siapa pun yang berniat merintis usaha. Perusahaan ini didirikan oleh ”kuartet” Ari, Herjuno Wahyu Aji, Agung Saptono, dan Anton Nasser. Ari dan Herjuno lulusan ITB, Agung kuliah di Prancis, dan Anton lulusan Universitas Indonesia. Mereka sebaya.

Mulanya mereka bekerja di perusahaan teknologi informasi PT Global Teknologi Enterprindo. Salah satu klien yang mereka tangani adalah PT Telkomsel, tempat mereka bertugas membangun aplikasi Customer Relation Management. Sering berinteraksi dengan Telkomsel memantik ide untuk memasok konten ke operator telekomunikasi terbesar di Indonesia itu.

Meski mereka belum pernah membuat aplikasi jenis ini, kendalanya taklah seberapa. ”Di teknologi informasi, kalau sudah bisa bikin satu aplikasi, bikin aplikasi jenis lain tidak jadi masalah, karena intinya sama saja,” kata Ari. Yang membuat mereka puyeng: Telkomsel hanya mau bekerja sama bila empat sekawan itu minimal punya 20 aplikasi. Padahal, bikin satu aplikasi saja bisa makan waktu satu hingga dua bulan.

Mau tak mau, mereka harus bekerja lembur memburu target, karena pada siang hari masih ngantor di Global Teknologi. Pada awal Maret 2004, ditandatanganilah kerja sama pertama dengan Telkomsel. Namun, mereka baru benar-benar keluar dari Global dan sepenuhnya bekerja di BrainCode pada awal 2005. ”Tidak bisa setengah-setengah lagi, karena bisnis sudah mulai jalan,” kata Ari.

Modal awal mereka Rp 40 juta, dipinjam dari seorang kawan, untuk membeli peralatan kerja dan biaya promosi. Dari semula hanya berempat, kini awak BrainCode sembilan orang. Dalam satu-dua tahun lagi mereka berniat menambahnya menjadi 22 orang, terutama merekrut tenaga grafis. Saat ini, untuk menggarap grafis aplikasi, BrainCode bekerja sama dengan studio grafis dari Yogyakarta.

Satu lagi mimpi mereka adalah ekspansi ke luar negeri. Soal kemampuan, Ari sangat percaya diri. ”Tidak ada lagi bedanya orang Indonesia dengan orang asing,” katanya. Jalan menuju ke sana sudah terbuka. Lewat salah seorang teman, kini BrainCode sedang menjajaki kerja sama dengan salah satu operator telekomunikasi di Qatar. Ari bercerita, BrainCode memang banyak mendapat proyek dari jalur teman ke teman seperti ini.

Prospek bisnis konten memang lagi moncer seiring dengan pertumbuhan industri telekomunikasi. Mantan Sekretaris Jenderal Asosiasi Konten Mobile dan Online Indonesia, Herwinto C. Sutantyo, memperkirakan nilai bisnis konten sudah melampaui Rp 1 triliun per tahun. Lima puluh perusahaan konten terbesar saja masing-masing bisa mendapat rata-rata Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar per bulan.

Tak mengherankan jika perusahaan penyedia konten terus bertambah. Saat ini ada sekitar 200 perusahaan pemasok konten. Setengahnya, selain menjual konten, juga membuat konten sendiri. ”Potensi untungnya besar, tapi persaingan juga semakin ketat,” kata Herwinto.

Ada satu lagi anak muda Indonesia yang masuk daftar finalis pengusaha muda Asia, yakni Herryanto Siatono, 30 tahun. Lulusan Teknologi Informasi Bisnis dari Coventry University, Inggris-INTI College, Malaysia, ini adalah pemilik situs internet Bookjetty.com. Menurut Herry, lewat Bookjetty, pengguna bisa membuat katalog buku pribadi dengan gampang dan gratis. Situs ini terhubung dengan toko buku internet terbesar di dunia, Amazon.com, juga dengan 300 perpustakaan di 10 negara.

Bagi pencinta buku, Bookjetty sangat membantu. Mereka bisa melacak semua buku yang pernah mereka baca atau pernah ingin mereka beli, sekaligus mengecek apakah buku itu ada di perpustakaan negerinya. Herry, yang kini tinggal di Singapura, mengatakan ide membuat Bookjetty berawal dari kecintaannya pada buku. Dia mulai menggarap Bookjetty pada awal 2006, sendirian. ”Tapi saat itu belum serius, karena saya sibuk mengerjakan proyek lain,” katanya. Baru setahun terakhir dia serius menggarap Bookjetty.

Sejauh ini, Bookjetty memang belum mendatangkan banyak uang. Pendapatan terbesar bersumber pada komisi dari Amazon, rata-rata 6,5 persen dari buku yang terjual. Pendapatan lain berasal dari iklan Google Adsense. ”Cukuplah untuk membayar hosting dan bandwith server,” katanya. Agar bisa bertahan hidup, dia bekerja secara freelance menggarap proyek-proyek teknologi informasi.

Sapto Pradityo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus