Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Krisis sudah lama berlalu dari Bursa Jakarta. Sejak jatuh akibat gonjang-ganjing subprime di Amerika Serikat pada Agustus lalu, indeks Bursa Jakarta terus-menerus mencetak rekor baru. Pada penutupan pasar Jumat pekan lalu, indeks Bursa Jakarta ditutup menguat pada level 2.707,667. Sepekan sebelumnya, Bursa Jakarta malah mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah, 2.710,617.
Padahal, ketika kredit hipotek perumahan (subprime) di Amerika Serikat banyak yang macet, indeks Bursa Jakarta sempat terjerembap sampai 1.908. Bursa Jakarta bangun ketika bank sentral Amerika Serikat menurunkan suku bunga Fed Fund 50 basis point menjadi 4,75 pada 18 September lalu. Esoknya, pelaku pasar langsung merespons. Indeks Jakarta pun melejit. Perlahan angka itu terus naik, terutama setelah The Fed kembali memangkas suku bunga menjadi 4,5 persen pada 31 Oktober lalu dan BI mempertahankan BI Rate 8,25 persen.
Sebaliknya, bursa global terguncang oleh jatuhnya dolar AS dan menguatnya harga minyak. Pekan lalu, bursa di Asia mengalami penurunan tajam, tertinggi dalam 12 pekan terakhir. Penurunan paling tinggi di Bursa Cina, yakni 271,76 poin (4,85 persen), dan terendah Singapura, 10,09 poin (0,27 persen).
Menurut ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, krisis subprime mortgage tak begitu berdampak di Indonesia. Dampak itu kecil karena bank-bank di Indonesia tidak memiliki exposure di pasar subprime. Kalaupun ada, dampaknya lewat pasar finansial. ”Misalnya, pasar Amerika anjlok, bursa saham di seluruh dunia turut jeblok,” ujarnya.
Penurunan tingkat suku bunga, ia menambahkan, justru menyebabkan beban utang korporasi berkurang, daya beli masyarakat naik, dan likuiditas global berlebih. Ini menyebabkan miliaran dolar AS uang panas—dari dana pensiun, asuransi, atau reksadana—gentayangan mencari return. Sebagian duit itu nyangkut di Indonesia.
Pengamat pasar Mirza Adityaswara sepakat suku bunga yang rendah dan perlambatan ekonomi AS telah menggiring investor asing masuk ke emerging market, termasuk Indonesia. Namun, ia mencatat, investor lokal masih merajai pasar modal Indonesia. Data per Oktober 2007 menunjukkan komposisi pelaku pasar lokal mencapai 77 persen dari total nilai perdagangan US$ 8,5 juta (lebih dari Rp 77 miliar).
Riset PT Danareksa Sekuritas mendukung itu. Dominasi investor lokal terjadi sejak krisis ekonomi 1998 dengan perbedaan yang tipis, yakni 58 persen. Tahun-tahun sebelumnya, investor asing memang menguasai Bursa Jakarta, rata-rata di atas 60 persen. Namun mereka ngeloyor begitu perekonomian jeblok.
Menurut Mirza, penguasaan pemain lokal ini bisa berdampak bagus. Bila suku bunga turun, pelaku asing pasti akan kabur. Nah, pelaku domestik inilah yang berfungsi sebagai buffer atawa penyangga agar bursa tak ambrol. ”Makanya, setiap kali bursa kita anjlok, cepet sekali naik, weng...,” kata dia.
Kencangnya laju pasar modal itu ternyata beriringan dengan pasar uang. Ini melemahkan dugaan adanya pelarian dana pihak ketiga di perbankan ke bursa akibat suku bunga yang rendah. Pada triwulan III 2007, dana ”murah” dalam bentuk tabungan dan giro yang disimpan di Bank Mandiri sebesar Rp 122,208 triliun, naik 33,2 persen dari periode yang sama tahun lalu, Rp 91,809 triliun.
Bank Niaga mencatat pertumbuhan dana pihak ketiga Rp 3,38 triliun menjadi Rp 38,22 triliun. Hal yang sama terjadi di Bank Permata: giro tumbuh dari Rp 5,9 triliun menjadi Rp 6,9 triliun, dan tabungan dari Rp 5,5 triliun menjadi Rp 6,8 triliun. Secara keseluruhan, dana pihak ketiga di perbankan naik, meski lajunya tak sekencang di bursa.
Toh, Mirza tetap yakin penurunan suku bunga memiliki pengaruh. Menurut dia, kenaikan giro dan tabungan itu ada kemungkinan diiringi dengan penurunan deposito. ”Logikanya, orang, kalau mau main saham, naruh duitnya bukan di deposito karena susah mengeluarkan dan memasukkan duit,” ujarnya.
Apa pun, ekonom Danareksa, Yudhi Sadewa, mengatakan fundamental ekonomi Indonesia masih bagus. Ancaman krisis global juga tak begitu terasa. ”Di sini adem-ayem saja,” katanya.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo