Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bergegas meluncur ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis pagi pekan lalu. Rupanya, laporan gencar media massa soal temuan impor tabung gas ilegal mendorong Ibu Menteri berkunjung secara mendadak ke Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, Tanjung Priok.
Dalam tempo setengah jam, ia pun menjejakkan kaki di pelabuhan terbesar di Indonesia itu. Temuan aparatnya sungguh mengejutkan. Di sana berjejer 30-an kontainer berisi tabung gas, kompor gas, hingga katup penutupnya. Meski berdatangan sejak awal Oktober, produk bernilai puluhan miliar tersebut ditahan karena pada awalnya memang haram diimpor.
Dari hasil penyelidikan instansi ini diketahui banyak kejanggalan pada produk impor tersebut. Lihat saja 14.688 tabung elpiji ukuran 3 kilogram yang diimpor dari Cina oleh PT Global Pacific Energy. Semula tabung itu diduga milik Pertamina sebab menggunakan cetakan logo BUMN tersebut, berwarna hijau muda dan bertulisan ”Diproduksi untuk Pertamina”.
Kejanggalan lainnya, salah satu pemesan barang itu, yakni 30 ribu unit katup penutup tabung, adalah Wijaya Karya Intrade. Ia adalah satu dari 12 pemenang tender tabung gas yang diadakan oleh Pertamina. Sesuai dengan program konversi energi, barang-barang tersebut semula akan dipasok dari dalam negeri. Tahun ini saja ditargetkan produksinya 10,2 juta tabung gas senilai Rp 900-an miliar. Sayangnya, dari dalam negeri cuma bisa dipasok 5,8 juta.
Berbagai kejanggalan tersebut, tentu saja, memunculkan tanda tanya. Jangan-jangan, Pertamina dan Wijaya Karya berada di balik importir tabung tersebut. Apalagi, Pertamina sudah ngebet impor sejak tahun lalu. Tak mengherankan jika Menteri Perindustrian Fahmi Idris sempat mencak-mencak. Ia menduga kuat ada permainan di belakangnya lantaran tabung gas datang sebelum izin impor dibuka. Artinya, tabung sudah dibuat sejak dua bulan sebelumnya.
Sejumlah pejabat pemerintah yang terkait program ini tak percaya Global Pacific berani berspekulasi memesan ribuan unit made in Cina jika tidak jelas siapa pemesannya. Apalagi, desainnya berukuran tiga kilogram. ”Ini jelas-jelas untuk pasar Indonesia,” kata pejabat itu. Bahkan, menurut temuan Bea dan Cukai, total tabung yang masuk ke Tanah Air mencapai 395 ribu unit.
Menurut Tjiptadi, Ketua Asosiasi Produsen Tabung Gas, bisa saja importir mengincar selisih harga. Ia sudah mengecek, sesungguhnya harga tabung di Cina rata-rata US$ 6 per unit dan bea masuk mestinya 15 persen. Jika ditambah biaya transportasi, harga per tabung jatuhnya sekitar Rp 70 ribuan per unit. Anehnya, tabung yang diimpor Global Pacific seharga US$ 4,9 per unit dan bea masuk 5 persen. ”Jika begitu, labanya memang berlipat,” katanya. Apalagi, jika yang diimpor nantinya jutaan unit.
Gara-gara impor gelap itu, keributan pun mencuat di media massa. Pertamina yang dituduh main mata pun sibuk membantah. Menurut Direktur Utama Pertamina, Ari Soemarno, tabung tersebut bukan miliknya. Merasa terpojok, perusahaan pelat merah ini pun berniat menggugat Global Pacific karena dianggap memalsukan logo. ”Kami tak ada perjanjian apa-apa, tahu-tahu pasang logo Pertamina,” katanya.
Bantahan juga bermunculan dari Wijaya Karya dan Global Pacific. Manajer Umum Wijaya Karya, Andi Nugraha, mengakui memesan katup penutup tabung dari Global Pacific. ”Tapi, kami tak tahu itu produk impor,” katanya kepada Yuliawati dari Tempo.
Begitu pun dengan Direktur Global Pacific, Hendrik Luntungan. Ia mengelak main mata dengan Pertamina atau Wijaya. Ia merasa tindakannya benar karena sudah membayar pajak dan bukan penyelundup. Impor dilakukan mengacu riset pasar perusahaan bahwa permintaan tabung gas bakal tinggi tetapi produsen domestik tak sanggup.
Karena itu, ia berkeyakinan Pertamina bakal membuka keran impor. Nah, sebelum impor diizinkan, ia mengaku sengaja mencuri start dengan menyambar peluang ini. Ia berkeyakinan bahwa Pertamina akan menyerapnya sehingga berani memasang logo BUMN tersebut. Sayang, naluri bisnisnya keliru. Kali ini, bukan untung yang didapat, tetapi malah buntung.
Heri Susanto, Grace S. Gandhi, Agus Supriyanto, Ariyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo