Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1><B>SPBU</B></font><br />Ekspansi di Pasar Sempit

Shell hadir di hampir setiap sudut Jakarta. Belum mencapai skala keekonomian.

12 November 2007 | 00.00 WIB

<font face=verdana size=1><B>SPBU</B></font><br />Ekspansi di Pasar Sempit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Frans baru Agustus lalu menggunakan bensin keluaran Shell dan langsung kepincut. Ia mengaku lebih irit. Sebelumnya, tiga atau empat hari sekali dia harus mengisi bahan bakar untuk sepeda motor bebeknya. Kini, untuk melewati jalur Palmerah-Tanah Abang, dia hanya perlu mengisi bensin sepekan sekali.

Dia pun merasa nyaman dengan pelayanan di stasiun pengisian bahan bakar milik perusahaan minyak asal Belanda itu. Ia cuma menyayangkan satu hal. Pompa bensin milik Shell belum banyak bertebaran, sehingga dia mesti memperhitungkan betul kapan harus segera mengisi, agar jangan sampai kehabisan bahan bakar di jalan.

Sudah dua tahun ini, konsumen bahan bakar minyak, terutama di Jakarta, memang punya banyak pilihan. Sekarang konsumen bisa memilih Shell atau Petronas (Malaysia) selain Pertamina. Pemain asing diizinkan masuk setelah pasar distribusi BBM dibuka mulai 31 Desember 2005. Selama puluhan tahun, Pertamina menguasai bisnis ini.

Shell langsung menyambar kesempatan tersebut dan menjadi perusahaan asing pertama yang terjun ke bisnis yang selama ini dikuasai Pertamina itu. Outlet pertama dipilih di Lippo Karawaci, Tangerang, yang diresmikan pada 1 November 2005. Dua tahun kemudian, Shell telah memiliki 18 unit dan sampai 2013 berencana membangun 400 stasiun bahan bakar lagi.

Ekspansi bisnis ini, kata Presiden Direktur PT Shell Indonesia Darwin Silalahi, merupakan strategi global perusahaan itu masuk ke pasar yang tumbuh cepat, seperti Cina, Rusia, India, dan Indonesia. Sebelumnya, Shell juga sudah masuk ke pasar minyak pelumas. ”Tak semua perusahaan punya strategi seperti kami. Kebanyakan mereka berfokus ke hulu (eksplorasi),” katanya.

Namun masuknya perusahaan asing ke bisnis distribusi BBM masih terbatas. Mereka baru boleh menjual BBM beroktan tinggi, yang pangsa pasarnya hanya lima persen. Sedangkan pasar BBM bersubsidi yang 95 persen masih dikuasai Pertamina. Sampai tahun depan, hanya perusahaan milik negara itu yang mendapatkan hak untuk menjual BBM jenis ini. Sebagai gambaran, tahun ini penjualan premium dan solar bersubsidi mencapai 28 juta kiloliter.

Itu sebabnya, kata Darwin, perusahaannya baru berani membuka stasiun pengisian bahan bakar di Jakarta dan sekitarnya. Sebab, dari pasar yang cuma lima persen itu, mayoritas konsumennya berada di wilayah ini. ”Mungkin kami baru buka di luar Jakarta, seperti Surabaya, sekitar dua tahun lagi,” katanya.

Tapi ia tak mau menyebut perusahaannya masih merugi. Menurut dia, Shell saat ini hanya belum mencapai nilai keekonomiannya karena baru bisa menjual bahan bakar yang tidak disubsidi. Perusahaannya juga melihat ini sebagai masa transisi karena pembangunan stasiun pengisian bahan bakar minyak merupakan investasi jangka panjang.

Berbeda dengan Shell, Petronas justru sudah membuka tiga stasiun BBM di Medan. ”Selain pasarnya potensial, suplainya mudah karena dekat dengan Malaysia,” kata sumber Tempo di perusahaan itu. Sejak membuka stasiun pertama di Cibubur, Jakarta Timur, pada 9 Maret 2006, hingga kini Petronas sudah memiliki 12 stasiun pengisian BBM. Untuk seluruh Indonesia, Petronas berencana membangun 200 unit hingga 2010.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Tubagus Haryono mengakui bahwa hal itu menjadi kendala mengapa investor perminyakan lamban masuk ke sektor hilir ini. Dengan pasar hanya lima persen, kata Tubagus, sulit bagi investor bisa bergerak cepat. Apalagi masa balik modal (break-even point) investasi ini termasuk lama.

Karena itu, BPH Migas kini tengah menggodok semacam aturan yang nantinya akan membolehkan perusahaan di luar Pertamina masuk ke pasar bahan bakar bersubsidi. Sejumlah perusahaan asing lagi-lagi menyatakan minatnya terjun ke sini. Perusahaan lokal, seperti Elnusa dan Aneka Kimia Raya, pun sudah menyatakan ketertarikannya.

Jika sudah keluar, aturan itu bisa jadi akan benar-benar mengubah pasar distribusi BBM yang sampai kini masih dikuasai Pertamina. Perusahaan pelat merah itu sudah memiliki lebih dari 3.500 stasiun di seluruh Indonesia. Setidaknya, aturan yang berlaku untuk semua operator itu bakal menggelembungkan jumlah stasiun pengisian bahan bakar.

Investasi untuk sebuah stasiun memang tidak terlalu mahal, apalagi untuk perusahaan sekelas Shell dan Petronas. Stasiun dengan 12 unit pompa dan areanya dilengkapi tempat peristirahatan dan restoran membutuhkan biaya Rp 10 miliar. Namun, jika hanya berisi 6-8 pompa, investasinya hanya Rp 5-6 miliar. Jumlah itu tentu tak seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan bersih mereka yang begitu besar. Petronas, misalnya, pada 2006 mencatat laba Rp 117 triliun.

Selain itu, kompetisi yang sehat akan membuat para operator bersaing meningkatkan pelayanan dan keakuratan pengisian BBM, yang dulu banyak dikeluhkan konsumen. Soal ini sudah terlihat di banyak stasiun milik Pertamina. Namun Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Achmad Faisal mengatakan itu dilakukan bukan karena takut tersaingi para pendatang baru.

Grace S. Gandhi, Arti Ekawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus