Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hilangnya Pasar Kami

Pasar Turi terbakar dua kali dalam dua bulan. Pedagang rugi Rp 1,8 triliun.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR dua bulan berlalu, nasib pedagang Pasar Turi masih gelap. Pemerintah Kota Surabaya tak kunjung membangun tempat penampungan sementara. Kini, sekitar 3000 pedagang yang kehilangan kios setelah Pasar Turi terbakar pada 26 Juli lalu tersebar di mana-mana. Yang berkantong cukup tebal bermigrasi ke Pusat Grosir Surabaya yang terletak persis di depan Pasar Turi. Yang cekak harus berebut membuat lapak di jalanan.

Tika, misalnya. Bermandikan peluh dan cahaya matahari, pedagang berusia 35 tahun itu, Rabu pekan lalu, rela berebut kapling dengan sesama pedagang. Dengan segala jerih payahnya, perempuan asal Kediri ini akhirnya bisa memasang tenda plastik warna kuning di jalan Dupak. Itulah pertanda dia telah memiliki kios sementara.

Tak mudah bagi Tika untuk mendapatkan kapling berukuran 2,5 x 2,5 meter tersebut. Bukan hanya itu. Untuk mempertahankan tempat itu, Tika meminta karyawannya, Mohamad, untuk menunggui lahan yang telah ”dikuasainya” setiap hari. Jika tidak dijaga, ”Saya khawatir akan diserobot pedagang lain” kata Tika, mantan pemilik kios ”Tika Jaya” di pasar Turi IV.

Sudah sepekan ini para pedagang eks pasar Turi berebut kapling di jalan Pasar Turi dan jalan Pasar Dupak. Mereka terpaksa mendirikan kios secara swadaya karena Pemerintah Kota Surabaya tak kunjung mendirikan tempat penampungan sementara (TPS). ”Kalau menunggu pemerintah, lantas kami makan apa?” kata Tika yang menjual barang konveksi ini.

Bahkan, ketika Pasar Turi III –yang sebelumnya tidak ikut terbakar— dilalap api pada hari Minggu lalu, Pemerintah juga tak tergerak untuk mempercepat penyediaan tempat penampungan sementara. ”Nggak tahu saya harus berbuat apa lagi,” kata Edy, pedagang buah yang kiosnya ikut terbakar.

Tak hanya Tika dan Edy yang meratapi terbakarnya pasar Turi. Pasar Turi yang sebelum kebakaran menghidupi 4.000 pedagang itu juga membuat banyak pedagang di daerah kehilangan kiblat. Pasar Turi, yang menurut sejarah sudah ada di sana sejak 1920-an memang telah menjadi simbol dan sekaligus urat nadi perekonomian warga kota Surabaya dan provinsi Jawa Timur.

Pasar Turi ”baru” dibangun pemerintah kota Surabaya pada tahun l970-an sebagai pasar grosir konveksi terbesar di Surabaya. Pasar yang terdiri empat blok dengan luas lantai 43 ribu meter persegi dan sudah empat kali terbakar ini bisa juga disebut miniatur Indonesia. Para pedagangnya berasal dari banyak etnis, mulai etnis Jawa, Madura, Banjar, Bugis, hingga etnis Tionghoa.

Karena itu, tidak salah jika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut Pasar Turi adalah pasar nasional untuk Indonesia Timur dan posisinya hampir sekelas dengan pasar Tanah Abang di Jakarta. Selain dari Jawa Timur, pembelinya juga datang pulau pulau di wilayah Indonesia Timur. ”Langganan saya itu ada yang dari Ambon hingga Kalimantan,” ujar Abdul Rozak, pemilik toko ”Karomah”.

Maka wajar, ketika Abdul Rozak mendengar tokonya yang berada di lantai 3 pasar Turi I ikut terbakar, pedagang asal Madura ini langsung lemas. Pasalnya, separoh barang dagangan berupa pakaian seragam TNI-Polri miliknya tak bisa diselamatkan. ”Saya rugi Rp 300 juta,” kata Rozak.

Kerugian yang ditanggung pedagang memang sangat besar. Menurut Arief Budiman, Sekertaris Tim Pemulihan Pasca Kebakaran Pasar Turi, selain modal yang ludes terbakar, dalam satu bulan pedagang pasar Turi kehilangan pendapatan sekitar Rp 1,8 triliun.

Kerugian tersebut belum termasuk yang harus ditanggung para buruh yang bekerja di Pasar Turi. Rata-rata seorang pemilik toko memperkerjakan 1-5 buruh. Mohamad, penjaga toko Tika Jaya misalnya, dalam satu hari mendapat bayaran Rp 25 ribu plus gaji bulanan Rp 200 ribu. ”Sekarang ini saya hanya dapat uang makan saja,” katanya.

Melihat besarnya dampak kebakaran pasar Turi itu, Kalla dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Pemerintah Kota Surabaya segera membangun pasar Turi yang baru. Syaratnya, pembangunannya tidak diserahkan ke investor, dan pedagang dilibatkan dalam pembuatan desain pembangunan pasar Turi yang baru. ”Pusat akan membantu Rp 50 miliar,” kata Jusuf Kalla .

Sayangnya, Pemerintah Kota Surabaya terkesan lamban dalam merespon keinginan pemerintah pusat itu. Setidaknya, hingga Kamis pekan lalu pemerintah Kota Surabaya belum mampu menyediakan TPS seperti yang dikehendaki pedagang. Karena tak sabar, pedagang akhirnya mengapling jalan Dupak dan jalan Pasar Turi sebagai TPS.

Walikota Surabaya Bambang DH membantah tudingan lamban. Menurut dia, masih belum ada kata sepakat dengan pedagang. Pedagang ingin TPS dibangun di area pasar Turi I dan II yang tidak terbakar, sedangkan pemerintah ingin membuat TPS di jalan Dupak dan jalan Indrapura. ”Bukan tak mau membangun, tapi kami minta pedagang bisa menahan diri,” kata Bambang.

Berbeda dengan pemerintah kota Surabaya yang ”jalan di tempat”, justru pengelola pasar modern yang cekatan menangkap peluang. Pusat Grosir Surabaya, misalnya, langsung membuat penawaran menarik kepada para pedagang Pasar Turi. ”Ada 13 persen eks pedagang pasar Turi yang membeli kios kami,” kata Priyo Setiabudi, Direktur Utama PT Lamicitra Nusantara, perusahaan induk PT Persada Alam Nusantara yang membangun PGS.

Pasar modern Darmo Trade Center (DTC) juga ketiban rejeki. Pusat perdagangan yang berdiri di lahan bekas pasar Wonokromo ini mendapat limpahan 30 pedagang eks pasar Turi. Spanduk ”Selamat Datang Pedagang Pasar Turi” dipasang di pintu masuk DTC. ”Pedagang boleh menunda angsuran kredit selama satu tahun,” kata Sigit Pramuja, General Affair PT Arwinto Intan Wijaya, perusahaan yang mengelola DTC.

Namun, hanya pedagang berkantong cukup tebal saja yang bisa mendapatkan kios dengan pendingin AC seperti yang ada di PGS dan DTC. Jumlah mereka pun tidak banyak. ”Sebagian besar pedagang pasar Turi adalah kelas menengah dan kecil,” kata Arief Budiman.

Umumnya, pedagang kelas menengah dan kecil ini modalnya juga pas-pasan. Abdul Rozak, misalnya, semula ingin berjualan di PGS. Tapi, setelah tahu harga angsuran kiosnya Rp 5 juta per bulan, dia mundur dan memilih membuat kios darurat di jalan Pasar Turi. ”Dulu di Pasar Turi saya hanya mengangsur Rp 38 ribu tiap bulan,” kata Abdul Rozak.

Di tengah Ramadhan, kegetiran itu terasa semakin dalam. Jika tidak bergegas, mereka bisa kehilangan peluang menangguk rezeki menjelang lebaran. Seperti juga Tanah Abang, lebaran biasanya menjadi puncak raihan rezeki pedagang Pasar Turi.

Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus