Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HINGGA akhir bulan lalu, Archie Clark satu-satunya karyawan HomeBanc Corporation yang tersisa di kantor cabang Carolina Utara, Amerika Serikat. Tugas terakhir pria 33 tahun itu adalah mengepak semua komputer dan properti lainnya untuk diangkut ke kantor pusat di Atlanta. Setelah kantornya ditutup, Clark pun resmi menjadi penganggur.
Bekas kepala teknologi informasi di tiga kantor HomeBanc wilayah Raleigh itu kini menjadi bagian dari puluhan ribu pekerja lainnya dari seantero Amerika yang lebih dulu kehilangan pekerjaan. ”Badai PHK ini akibat remuknya pasar perumahan di Amerika,” katanya.
Yang dimaksud Clark tak lain macetnya kredit hipotek perumahan (subprime mortgage). Total kredit hipotek di pasar perumahan Amerika ini menembus US$ 800 miliar (Rp 752 triliun dengan kurs Rp 9.400). HomeBanc adalah salah satu perusahaan pemberi kredit rumah di sana.
Pasar properti Amerika memang jor-joran sejak lima tahun lalu. Mereka menawarkan harga rumah, beserta kreditnya, dengan harga supermiring. Ini dipicu oleh rendahnya tingkat suku bunga. Dua tahun lalu, suku bunga negara adikuasa itu bahkan pernah bertengger di angka 1 persen, terendah dalam 45 tahun terakhir.
Tak mengherankan bila pada saat bersamaan, lembaga pengelola dana yang berinvestasi di pasar properti bak cendawan di musim hujan. Lowongan pekerjaan di sektor ini pun bertaburan. Namun masa-masa emas itu surut setelah Juni 2004. Bank Sentral Amerika (The Federal Reserve) secara bertahap menaikkan suku bunga 25 basis poin. Kini suku bunga The Fed sudah nangkring di posisi 5,25 persen.
Dampaknya, bunga kredit sektor perumahan jadi terkerek. Pasar pun lesu. Puncaknya, akhir Juli lalu investor berbondong-bondong menyetop pembelian properti yang dikemas lewat kredit. ”Pinjaman yang tak laku membuat Anda berada pada situasi yang buruk,” kata Andy Roach, bekas manajer Capital One di wilayah Chicago.
Situasi kian amburadul gara-gara melonjaknya bunga kredit mendorong tingginya tingkat gagal bayar oleh debitor. Gonjang-ganjing kredit macet itu, selain membuat pasar finansial global kelojotan, juga menyuguhkan PHK massal. ”Saya bahkan sudah punya firasat tak enak sejak awal Agustus,” ucap Clark.
Clark tak berlebihan. Sepanjang bulan lalu, pemutusan hubungan kerja (PHK) diumumkan hampir setiap hari. Lehman Brothers Holding Incoporated, misalnya, menutup bisnis pemberian kredit hipoteknya. Lembaga keuangan internasional itu memberhentikan 1.200 karyawan di 23 kantor cabang. Keputusan yang sama diambil oleh First National Bank Holding Co., HSBC, Home Lenders Holding Co., Scottsdale, dan IndyMac Bancorp Inc.
Yang paling anyar, Countrywide Financial Corporation, pemberi kredit hipotek terbesar di Amerika, pekan lalu mengumumkan akan merumahkan 12 ribu pekerjanya. Menurut Angelo Mozilo, CEO Countrywide, niat memangkas 20 persen karyawan itu dilakukan karena kredit hipotek tahun depan akan turun 25 persen dibandingkan tahun ini. ”Situasi pasar yang dihadapi saat ini paling berat dalam sejarah industri perumahan,” katanya.
Pemberhentian karyawan ini menambah panjang daftar pengangguran yang terjadi akibat krisis kredit perumahan. Untuk bulan Agustus saja, kredit macet itu menyumbangkan 4.000 penganggur. Pengurangan jumlah tenaga kerja sebesar itu merupakan yang pertama sejak Agustus 2003.
Bila dihitung dari awal 2006, lebih dari 40 ribu karyawan telah kehilangan pekerjaan di industri kredit perumahan. Bahkan, PHK di Countrywide diperkirakan bukanlah yang terakhir. ”Anda masih akan mendengar adanya PHK hingga 30 hari ke depan,” kata Sean Egan, Direktur Pelaksana Egan-Jones Rating Co., perusahaan pemeringkat internasional.
Krisis kredit perumahan yang terburuk sejak 16 tahun terakhir itu diprediksi bisa membuat 100 ribu pekerja di Amerika menganggur. Tingkat pengangguran di negeri Abang Sam bakal mencapai 5 persen pada akhir tahun. Pada Maret lalu, tingkat pengangguran di AS hanya sekitar 4,4 persen (6,7 juta orang). ”Krisis ini masih belum akan berakhir,” kata Bart Narter, analis senior di Celent, perusahaan konsultasi dan riset keuangan di Boston.
Kolapsnya kredit hipotek perumahan, kata Narter, masih akan menciptakan riak di sektor keuangan. Soalnya, volume transaksi kredit hipotek perumahan tahun depan ditaksir anjlok ke angka US$ 1,8 triliun. Bandingkan dengan empat tahun lalu yang mencapai titik puncak hingga US$ 4 triliun. Dengan proyeksi tadi, Moshe Orenbuch, analis Credit Suisse Group, menilai pasar perumahan Amerika masih akan terpuruk hingga 2009.
Situasi kejepit ini membuat banyak kalangan menunggu langkah yang akan diambil The Fed pada Selasa ini. Banyak ekonom yakin, buruknya iklim ketenagaankerjaan akan mendorong bank sentral Amerika itu memangkas suku bunga. Apalagi pemangkasan jumlah karyawan juga berlangsung di sektor manufaktur (46 ribu posisi) dan konstruksi (22 ribu karyawan).
Sederet indikasi itu membuat Goldman Sachs Group Inc. mengganti proyeksi mereka. Sebelumnya, institusi keuangan internasional itu menaksir The Fed hanya menurunkan suku bunga 25 basis poin. Kini mereka yakin, The Fed akan mengurangi suku bunga hingga 50 basis poin.
Dengan asumsi itu, Anton Gunawan, ekonom Citigroup Indonesia, mengatakan bahwa penurunan laju pertumbuhan Amerika tidak akan besar. Hanya turun 0,2-0,3 persen dari posisi per triwulan kedua 2007 sebesar 4 persen. ”Resesi yang dikhawatirkan tidak akan terjadi,” katanya. Dia memperkirakan efeknya ke Indonesia tidak akan besar.
Kalaupun kemarin terjadi imbas, itu karena para investor global harus menutup kerugian yang mereka alami. ”Mereka butuh duit tunai untuk menambah likuiditas, sehingga banyak menjual instrumen keuangannya di Indonesia,” kata Anton. Hasilnya, terjadi gejolak di pasar modal tanah air pada awal Agustus lalu. Tapi masa itu sudah lewat.
Bagaimana dengan neraca perdagangan Indonesia-Amerika? Bisa terpengaruh, bisa tidak, tergantung berapa lama krisis kredit perumahan ini berlangsung. Menurut Anton, ekspor nonmigas Indonesia akan terganggu bila krisis ketenagakerjaan di sana menyerempet pekerja di sektor riil. Akibatnya, tingkat konsumsi dan daya beli rakyat Amerika turun. Jika itu terjadi, kebutuhan impor barang-barang Indonesia kemungkinan ikut turun. ”Tapi, untuk memastikannya kita masih harus menunggu 3-6 bulan,” katanya.
Pendapat berbeda dikemukakan Pande Radja Silalahi, pengamat ekonomi Centre for Strategic and International Studies. Ia mengatakan, kalaupun terjadi penurunan konsumsi akibat maraknya PHK, bukan produk Indonesia yang pertama kali dikorbankan. ”Melainkan produk tersier seperti hiburan,” katanya. Adapun komoditas yang diimpor Amerika dari Indonesia merupakan kebutuhan primer seperti makanan atau tekstil untuk pakaian.
Selama ini, ekspor nonmigas ke Amerika merupakan salah satu tumpuan Indonesia. Dalam empat tahun terakhir, angka ekspor nonmigas selalu naik. Tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat rata-rata mencapai US$ 10,6 miliar, naik dari US$ 9,2 miliar pada tahun sebelumnya. Enam bulan pertama tahun ini, ekspor nonmigas Indonesia ke AS sudah mencapai US$ 5,4 miliar. Jika memang turun, imbasnya bisa menurunkan laju pertumbuhan Indonesia.
Tidak hanya itu. Macetnya kredit hipotek perumahan yang menyebabkan krisis finansial di seantero dunia ini telah membuat lembaga-lembaga pengelola dana menderita kerugian yang sangat besar, mencapai US$ 2,4 triliun (Rp 22.560 triliun). ”Pembiayaan dari hedge fund di masa-masa depan akan lebih sulit, tidak semudah dulu,” kata Tom Lembong, eksekutif Quvat Management, salah satu lembaga pengelola dana yang berpusat di Singapura.
Namun masih ada sisi yang bakal menggembirakan. Rencana penurunan suku bunga oleh The Fed, kata Anton, juga memberi ruang buat Bank Indonesia untuk menurunkan kembali suku bunganya. Suku bunga yang rendah diharapkan bisa menggerakkan sektor riil. Menggeliatnya sektor riil akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan bisa memangkas potensi penurunan akibat krisis Amerika, jika pengaruhnya memang ada.
Yandhrie Arvian (AP, Bloomberg, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo