Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>EKSPOR KOPI</font><br />Susah-susah Si Kecil

Beleid baru menyulitkan eksportir kopi kecil. Dampak positif baru terasa dalam jangka panjang.

2 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEMARI Mimin Hartiningsih bergerak cepat menyortir ribuan biji kopi di hadapannya. Hidung tertutup rapat dengan masker tak menghalanginya memilah biji kopi robusta yang berlubang atau cacat dari yang sehat. Perempuan 22 tahun ini mengaku tiap bulan bisa membawa pulang Rp 500 ribu dari pekerjaannya itu. ”Lumayan,” katanya, Kamis dua pekan lalu, di area perkebunan Malangsari, Kalibaru, Banyuwangi, Jawa Timur.

Selain Mimin, masih ada 200-an buruh perempuan di Malangsari. Bulan ini, kebun ini harus mengirim 700 ton kopi ke Eropa. Per hari perkebunan seluas 2.000 hektare ini mampu memproduksi 10 ton biji kopi robusta atau sekitar 2.000 ton setahun. Lebih dari 90 persen kopi Kebun Malangsari milik PT Perkebunan Nasional XII ini memang diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Sisanya dijual ke dalam negeri dengan merek Kopi Lanang Malangsari.

Manajer Perkebunan Malangsari Yudi Kristanto memprediksi tahun ini bisa meraup laba sekitar Rp 10 miliar. Angka ini melonjak dibanding tahun lalu. Saat itu, dengan produksi 1.700 ton, labanya hanya Rp 5,3 miliar. Kenaikan ini didorong stabilnya harga kopi robusta dunia yang berkisar US$ 1,7 per kilogram. Saat ini bisa dibilang Malangsari merupakan penghasil kopi robusta terbesar di Asia Tenggara.

Pemandangan berbeda terlihat di PT Perkebunan Lijen, Kecamatan Licin, yang berjarak 120 kilometer dari Malangsari. Tahun ini produksi Lijen hanya separuh dari tahun lalu yang mencapai 200 ton karena cuaca tidak bersahabat. Beruntung, dari luas 1.540 hektare itu, hanya 350 hektare yang ditanami kopi, sisanya cengkeh. Biji kopi dijual ke tengkulak lalu diekspor. ”Diversifikasi ini untuk menghindari kerugian akibat harga kopi yang fluktuatif,” kata Administrator Perkebunan Lijen, Syafik Udin.

Dengan kinerjanya yang moncer itu, Malangsari bakal lebih gampang memenuhi aturan terbaru yang dirilis Menteri Perdagangan Mari Pangestu tentang ekspor kopi. Dalam aturan yang berlaku sejak pertengahan bulan lalu disebutkan, hanya eksportir yang merealisasi minimal 200 ton ekspor kopi yang bisa naik kelas menjadi eksportir terdaftar kopi. Jika kurang dari itu—seperti Lijen—mereka hanya bisa menjadi eksportir kopi sementara.

Lijen tidak sendirian. Didiet Arry Suparno, pemilik kopi luwak dengan merek Paris van Java Speciality Coffee, juga bakal sulit naik kelas karena volume ekspornya paling banter hanya 240-360 kilogram per tahun. Repotnya, status itu bisa terkait dengan urusan kredit perbankan. ”Kita pasti akan lebih susah mendapatkan pinjaman dibanding eksportir terdaftar.” Selain itu, masih ada fasilitas keringanan pajak. Produsen kopi spesial lain, seperti kopi Gayo, kopi Sidikalang, dan kopi Toraja, juga bakal terpukul oleh aturan ini.

Pengamat pertanian Bustanul Arifin menilai seharusnya aturan ekspor kopi tidak mempersoalkan batas minimal volume ekspor agar eksportir bisa naik kelas. Jauh lebih penting, kata dia, pemerintah tegas dalam menerapkan standar kualitas kopi ekspor. Nah, di sini baru terlihat pentingnya peran pedagang dan eksportir untuk memberdayakan para petani, mulai proses pemetikan biji kopi agar kelak hasil jual produknya bagus. ”Tapi jangan sampai petani ditekan harga belinya,” kata Bustanul.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kontan membantah pendapat Bustanul. Ia menyatakan eksportir kopi sementara tidak dihalangi untuk mengekspor kopi. Sebab, aturan ini intinya bukan untuk membatasi ekspor, melainkan mendata ulang eksportir agar bisa menjadi basis data peningkatan standar kualitas, harga, dan promosi ekspor kopi.

Susahnya, ada masalah lain dalam beleid ini. Pada pasal 6 tercantum bahwa pengusaha bisa mendapat surat persetujuan ekspor kopi jika melampirkan bukti pembayaran iuran ke Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI). Iurannya Rp 30 per kilogram ekspor. Tahun lalu asosiasi memungut Rp 14 miliar. Selain untuk membayar keanggotaan International Coffee Organization 72 ribu pound sterling (Rp 1,13 miliar) per tahun, iuran ini untuk pelatihan anggota asosiasi dan promosi ekspor.

Menurut Bustanul, soal iuran ini kesannya dipaksakan dalam aturan itu. ”Semestinya ini masalah rumah tangga asosiasi dan sifatnya sukarela.” Sebab, kata dia, legalisasi iuran berkonsekuensi pada governance. ”Penggunaan iuran harus dipertanggungjawabkan asosiasi, dan sudahkah eksportir kopi mengadopsi syarat yang ditentukan oleh ICO selama ini?”

Sekretaris AEKI Rachim Kartabrata mengatakan pungutan itu sangat bermanfaat bagi anggota. Selain untuk meng-update standar kualitas kopi internasional, untuk merintis pasar ekspor baru. Meski begitu, perluasan pasar ekspor memang tidak melulu bergantung pada Asosiasi. ”Biasanya eksportir sudah punya channel masing-masing,” katanya. Jadi semestinya pengusaha kopi tak perlu direpotkan oleh urusan ini.

R. R. Ariyani, Ika Ningtyas (Banyuwangi)

Kinerja Ekspor-Impor Kopi

TahunVolume (ribu ton)Nilai (juta US$)
EksporImporEkspor Impor
20043445,72946,9
20054463,25046,2
20064146,658911,8
20073215,063678,3
20084697,699118,4
2009*  52825

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus