Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang tak biasa dilakukan anggota direksi Japan Airlines di tengah acara konferensi pers, Selasa pekan lalu. Di depan puluhan kuli tinta, Presiden Japan Airlines Haruka Nishimatsu dan pelaksana chief operation officer Masato Uehara bangkit dari kursinya lalu melakukan ojigi lebih dari lima detik. Tradisi membungkukkan badan dalam-dalam itu kali ini bukan untuk menyampaikan rasa hormat, melainkan ungkapan permohonan maaf atas timbunan utang yang membelit maskapai terbesar di Asia itu.
Haruka Nishimatsu melakukan itu setelah mengundurkan diri dan meminta maaf atas situasi memalukan yang dialami perusahaan tersebut. ”Ini kesempatan terakhir kami,” katanya. ”Saya percaya, kami dapat bangkit kembali sebagai sebuah maskapai yang dapat mewakili Jepang.” Ia menjamin Japan Airlines tetap menjalankan bisnis seperti biasa.
Ojigi dilakukan keduanya tak lama setelah Japan Airlines (JAL) mengajukan perlindungan bangkrut di bawah payung Hukum Rehabilitasi Korporasi ke pengadilan distrik Tokyo akibat utang US$ 25,6 miliar (Rp 240 triliun). Di bawah ketentuan ini, kreditor tidak bisa mengutak-atik aset Japan Airlines. Langkah ini ditempuh agar Japan Airlines bisa merestrukturisasi keuangan dan bangkit dari keterpurukan.
Kebangkrutan ini salah satu yang terburuk dalam sejarah korporasi di negeri itu, dan tentu saja sangat memalukan bagi maskapai sekelas Japan Airlines. Apalagi perusahaan penerbangan yang didirikan enam dekade lalu ini bertahun-tahun menjadi simbol kedigdayaan pertumbuhan ekonomi Jepang.
Keputusan itu mengakhiri spekulasi berbulan-bulan atas masa depan maskapai tersebut. Sejak empat tahun lalu, Japan Airlines memang dibekap persoalan serius. Sudah empat tahun terakhir perusahaan ini rugi. Sementara pendapatan terus anjlok, biaya pensiun dan gaji meningkat.
Setelah keputusan bangkrut itu, Japan Airlines harus memangkas 15.700 karyawan sebelum Maret 2013. Mereka juga mesti memotong 30 persen dana pensiun buat staf, memangkas 17 rute penerbangan domestik dan 14 rute internasional yang tidak menguntungkan, serta mengistirahatkan 53 unit pesawat Boeing 747, sebagai bagian dari kesepakatan pembiayaan dengan Enterprise Turnaround Initiative Corp. of Japan (ETIC), lalu menggantinya dengan pesawat kecil yang cocok untuk penerbangan domestik dan regional.
Untuk menjaga nasib Japan Airlines, lembaga yang disokong pemerintah Jepang itu akan menyuntikkan dana tunai US$ 11 miliar. Para kreditor (antara lain Mitsubishi UFJ Financial Group Inc., Sumitomo Mitsui Financial Group, Mizuho Financial Group Inc., dan Development Bank of Japan) akan didorong menghapusbukukan utang sekitar US$ 8 miliar.
Namun investor di pasar modal akan kehilangan fulusnya karena saham JAL akan dihapus (delisted) dari bursa Tokyo pada 20 Februari mendatang. Perusahaan ini kehilangan lebih dari 97 persen kapitalisasi pasarnya sejak awal bulan ini. Tahun lalu nilai sahamnya 200 yen per lembar, pekan lalu cuma 2 yen per lembar (Rp 204). Dengan harga pasar sekitar US$ 130 juta, JAL saat ini lebih kecil daripada maskapai kecil Croatia Airlines dan Jazeera Airways. Nilai itu bahkan lebih kecil daripada harga satu pesawat Boeing 747. ”JAL tidak punya tata kelola yang baik dan tidak mampu mengikuti perubahan zaman,” kata Akitoshi Nakamura, Direktur Eksekutif ETIC.
Apa yang terjadi pada JAL, kata dia, merupakan cermin dari persoalan yang khas dihadapi Jepang secara keseluruhan. Akitoshi bukan asal bicara. Maskapai ini pernah memperoleh dana talangan dari pemerintah Jepang hingga tiga kali dalam sepuluh tahun terakhir. Tapi manajemen buruk selama bertahun-tahun, biaya tinggi, serta tekanan pemerintah untuk melayani rute tidak menguntungkan di bandara kecil menyebabkan perusahaan ini ngos-ngosan. JAL kian terpuruk akibat krisis ekonomi global.
Itu sebabnya tidak sedikit yang pesimistis JAL mampu bangkit seperti era 1980. ”Saya tidak khawatir mengenai masa depan maskapai penerbangan ini. Saya percaya pemerintah akan mendukung JAL. Tapi apakah JAL bisa berkembang sebagai sebuah entitas bisnis, masih belum jelas juga,” ujar Yasuhiro Matsumoto, analis kredit Shinsei Securities. Yasuhiro belum melihat bagaimana JAL akan membangun jaringan, baik domestik maupun internasional.
Kebangkrutan ini terjadi di tengah pertarungan keras antara Delta Airlines dan American Airlines, yang berikhtiar menguasai Japan Airlines. Maskapai Jepang ini telah melakukan pembicaraan dengan American Airlines dan Delta tentang kemungkinan aliansi. Keputusan mengenai hal itu akan diambil setelah manajemen baru ditetapkan, awal Februari besok. Pemerintah Jepang baru menetapkan Kazuo Inamori, pengusaha berusia 77 tahun yang mengaku pemula di industri penerbangan, memimpin jal selama periode restrukturisasi, menggantikan Haruka Nishimatsu. Kazuo tak lain pendiri Kyocera Corp., perusahaan teknologi terkemuka Jepang.
American Airlines siap mencurahkan investasi us$ 1,4 miliar agar Japan Airlines tetap menjadi bagian dari jaringan Oneworld. Ini adalah satu dari tiga aliansi perusahaan penerbangan terbesar di dunia yang didirikan American Airlines, British Airways, Cathay Pacific, Canadian Airlines, dan Qantas Airways. ”Kami berharap dapat terus bekerja sama dengan jal saat mereka menjalankan rencana restrukturisasinya,” kata Craig Kreeger, Senior Vice President International American Airlines.
Kreeger yakin kerja sama di antara mereka memberikan sedikit risiko buat jal, mendapatkan peluang persetujuan lebih besar dari Departemen Transportasi Amerika, dan lebih memberikan keuntungan finansial jangka panjang. Usaha patungan jalur Pasifik ini, kata Kreeger, akan lebih menguntungkan konsumen dan menjaga keseimbangan kompetisi yang melayani pasar Amerika-Jepang. ”Keseimbangan ini tidak akan mungkin terjadi bila jal menjalin aliansi dengan Skyteam,” ujarnya.
Tapi banyak kalangan memprediksi jal justru akan menerima us$ 1 miliar yang disodorkan Delta, dan bergabung dengan Skyteam, aliansi perusahaan penerbangan nomor dua di dunia. Harian Yomiuri bahkan melaporkan bahwa Japan Airlines dan Delta mencapai kesepakatan awal pada 15 Januari lalu. Kantor berita Kyodo melansir kabar bahwa Japan Airlines diprediksi akan mendaftar ke Departemen Transportasi Amerika Serikat untuk meminta persetujuan atas kesepakatan tersebut.
Bila mendapat lampu hijau, Delta dan Japan Airlines akan menguasai 43 persen pasar penerbangan Amerika Utara-Jepang. Dalam pernyataannya, Delta Airlines dan Skyteam mendukung Japan Airlines dan siap memberikan bantuan dengan cara apa pun. Menurut kalkulasi Delta, pendapatan JAL bisa melonjak menjadi US$ 400 miliar per tahun bila menerima tawaran tersebut.
Sebenarnya bukan JAL semata yang diincar oleh dua maskapai itu. Mereka membidik rute-rute gemuk di Asia dan penumpang premium yang selama ini terbang via Jepang. Pemenang dari pertarungan ini akan memperoleh pundi-pundi lebih besar, kekuatan lebih besar, dan pilihan rute penerbangan yang lebih bervariasi. Keduanya juga berharap bisa menerbangkan pesawat mereka ke rute-rute tradisional yang dilayani JAL.
Itulah sebabnya Delta dan American berjuang keras mendapatkan Japan Airlines, yang sudah menyatakan diri bangkrut. Perjalanan dari Amerika Utara ke kawasan Pasifik—termasuk Jepang dan Korea Selatan—cuma 5,8 persen dari total perjalanan udara premium. Tapi porsi pendapatannya 12 persen dari semua pendapatan premium dunia. Apalagi volume penumpang dari Amerika Utara dan kawasan Asia Pasifik diperkirakan naik 3,8 persen pada 2010 dan 5,6 persen pada 2011.
Posisi tawar itu membuat Seiji Maehara, Menteri Transportasi Jepang, yakin akan masa depan Japan Airlines. ”Ini bukanlah sebuah akhir,” kata dia, usai maskapai ini menyatakan bangkrut. ”Hari ini adalah awal dari sebuah proses untuk menjaga agar JAL tetap hidup.”
Yandhrie Arvian (AP, Bloomberg, Guardian, WSJ, Businessweek, Graphicnews)
JEJAK SI BURUNG BESI
1951 1953 1987 1992 2001 2003 2005 2006 2009 2010 Pendapatan operasi: US$ 21,5 miliar
Didirikan sebagai perusahaan swasta dengan meminjam satu pesawat Dc-3 dari Filipina Airlines untuk penerbangan pertama.
JAL dinasionalisasi.
Kembali menjadi perusahaan swasta setelah Jepang mengatur ulang regulasi pasar transportasi udara. All Nippon Airways dan Japan Air System—keduanya kompetitor—diizinkan bersaing dengan jal untuk rute dalam dan luar negeri.
Menderita kerugian pertama sejak privatisasi, akibat melambatnya perekonomian Jepang karena ledakan gelembung saham dan properti. Nilai aset jatuh. Maskapai ini mulai merampingkan tenaga kerja dan menjual aset. Baru mencetak untung pada 1999.
Jumlah penumpang anjlok setelah tragedi 11 September di Amerika Serikat. Development Bank of Japan (DBJ) memberikan pinjaman darurat US$ 2,6 miliar selama 18 bulan. JAL setuju melebur dengan Japan Air System.
JAL menerima pinjaman darurat 70 miliar yen, untuk mengantisipasi dampak wabah SARS dan Perang Irak.
Serangkaian insiden kecil yang mengancam keselamatan merusak citra JAL. Akibatnya, pelanggan beralih ke ANA, dan melampaui jumlah penumpang JAL untuk rute domestik. Isao Kaneko mengundurkan diri sebagai chief executive.
Toshiyuki Shinmachi dipaksa mundur dari posisi chief executive akibat kinerja keuangan yang buruk. Penggantinya Haruka Nishimatsu.
JAL menerima 100 miliar yen dari DBJ dan sektor swasta. Perdana Menteri Hatoyama Yukio memerintahkan Turnaround Enterprise Initiative Corporation, lembaga penyelamatan, mengambil alih JAL.
JAL pailit dengan utang 2.322 miliar yen.
Jumlah pesawat: 274
Karyawan: 47.625
Penumpang internasional: 11,7 juta
Penumpang domestik: 41,1 juta
Negara tujuan: 35
Bandara: 220
Rute internasional: 282
Rute domestik: 143
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo