Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Medan demokrasi dipraktekkan dengan cara primitif dan salah kaprah. Sekitar seribu orang berdemonstrasi menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli. Mereka merangsek gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyerbu ruang sidang, mengejar dan memukuli Ketua Dewan Abdul Aziz Angkat, yang mereka anggap lamban menyetujui pembentukan provinsi itu.
Aziz tewas dalam insiden itu. Menurut polisi, ia meninggal karena serangan jantung. Saksi mata menyatakan ia menerima bogem mentah bertubi-tubi. Apa pun penyebab kematian Aziz, kita prihatin: demonstrasi yang brutal telah mengakibatkan nyawa melayang.
Polisi harus mengusut tuntas kasus ini. Demonstran brutal mesti segera ditangkap. Sikap tanggap Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengganti Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Kepala Kepolisian Kota Besar Medan layak dipuji. Tapi itu belum cukup. Kalau benar desas-desus yang menyebutkan polisi membiarkan kekerasan terjadi, pelakunya mesti dihukum.
Kita tentu tak bisa menyalahkan gelombang permintaan pembentukan daerah otonomi baru sebagai biang keladi insiden ini. Pemecahan wilayah merupakan wujud keinginan rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik dan koreksi atas sistem lama yang mengekang.
Di era Orde Baru, jumlah provinsi dan kabupaten dibatasi agar pusat mudah mengontrol. Pembagian daerah diatur dengan sederhana berdasarkan arah mata angin, dan akibatnya, dalam banyak kasus, mengeliminasi entitas budaya lokal. Sentralisasi di tingkat provinsi, misalnya, membuat banyak kabupaten tidak terurus. Provinsi Gorontalo, sebagai contoh, yang dulu menjadi bagian dari Sulawesi Utara, terbukti lebih maju setelah berdiri sendiri.
Tapi tak semua ide pembentukan daerah otonomi baru didasari niat luhur menyejahterakan orang banyak. Tak sedikit kasus menunjukkan rencana itu didasari keinginan pemrakarsanya menjadi kepala daerah atau sekadar akal-akalan mencari proyek.
Daerah yang dibentuk dengan motif pertama umumnya diprakarsai oleh orang yang pernah kecewa secara politik, misalnya kalah dalam pemilihan kepala daerah. Motif kedua sangat mungkin terjadi karena proses pembentukan daerah otonomi baru membutuhkan fulus yang tak sedikit. Ada biaya sidang anggota Dewan di pusat dan daerah. Ada pula ongkos mengundang pejabat departemen ke lapangan. Untuk semua proses ini, selalu ada broker yang ambil keuntungan.
Para penggagas Provinsi Tapanuli menyatakan ingin menyejahterakan warga. Tapi sulit juga mengatakan bahwa sebagian penggagas tak punya hasrat untuk memimpin daerah itu. Problem lain, secara kultural Tapanuli bukan kawasan yang homogen. Dengan kata lain, rencana pembentukan Provinsi Tapanuli harus ditelisik dengan saksama: apakah betul rencana itu akan membuat orang ramai lebih sejahtera.
Tekad pemerintah untuk menunda rencana pembentukan daerah otonomi baru, termasuk Tapanuli, setidaknya hingga Pemilu 2009 usai, sudah tepat. Lebih dari sekadar soal prioritas, pemerintah dan dewan perwakilan harus pandai-pandai betul ”memisahkan padi dari gabah”. Pembentukan daerah otonomi baru harus dibersihkan dari penumpang gelap yang mengambil manfaat secara curang. Tanpa itu, yang untung hanya para elite dan pialang politik, bukan rakyat jelata.
Studi yang dilakukan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan pembentukan daerah otonomi baru memang tidak maksimal. Secara umum, indeks pembangunan manusia—metode untuk mengukur kesejahteraan penduduk suatu kawasan—di daerah baru masih di bawah kawasan induknya. Dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, pembentukan daerah baru masih besar pasak daripada tiang.
Artinya, perlu bersikap hati-hati sebelum sebuah daerah otonomi disetujui berdiri sendiri. Pemerintah dan dewan legislatif mesti membuat syarat berat. Pengujian lapangan atas syarat-syarat pembentukan daerah harus dikawal dengan ketat agar tak terjadi kongkalikong. Daerah yang diprediksi tak bisa sejahtera setelah berdiri sendiri harus dipertahankan hidup bersama induknya. Sebaliknya, daerah berpotensi besar tapi rakyatnya miskin karena induknya tak becus mengurus bisa dipertimbangkan lepas dari sang induk.
Insiden Medan adalah ekses demokrasi yang menyesakkan dada. Seandainya pengamanan dilakukan maksimum, barangkali korban tewas bisa dihindarkan. Kita pun tak perlu menyesali demokrasi yang sudah kita pilih. Seperti kata orang bijak, cara paling tepat untuk mengatasi kelemahan demokrasi adalah menambah dosis demokrasi. Dalam kasus Medan, penegakan hukum dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan dosis tingkat tinggi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo