Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Anarki Pemisahan Wilayah

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Medan demokrasi dipraktekkan dengan cara primitif dan salah ka­prah. Sekitar seribu orang berdemonstrasi menuntut pembentuk­an Provinsi Tapanuli. Mereka merangsek gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyerbu ruang sidang, mengejar dan memukuli Ketua Dewan Abdul Aziz Angkat, yang mereka anggap lamban menyetujui pembentukan provinsi itu.

Aziz tewas dalam insiden itu. Menurut polisi, ia meninggal karena serangan jantung. Saksi mata menyatakan ia menerima­ bogem mentah bertubi-tubi. Apa pun penyebab kematian Aziz, kita prihatin: de­monstrasi yang brutal telah mengakibatkan nyawa melayang.

Polisi harus mengusut tuntas kasus ini. Demonstran bru­tal mesti segera ditangkap. Sikap tanggap Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengganti Kepala Kepolisian Sumatera Utara dan Kepala Kepolisian Kota Besar Medan layak dipuji. Tapi itu belum cukup. Ka­lau benar desas-desus yang menyebutkan polisi membiarkan kekerasan terjadi, pelakunya mesti dihukum.

Kita tentu tak bisa menyalahkan gelombang permin­taan pembentukan daerah otonomi baru sebagai biang­ kela­di insiden ini. Pemecahan wilayah merupakan wu­jud­ ke­inginan rakyat untuk mendapatkan pelayanan pu­blik­ yang lebih baik dan koreksi atas sistem lama yang mengekang.

Di era Orde Baru, jumlah provinsi dan kabupaten dibatasi agar pusat mudah mengontrol. Pembagian daerah diatur dengan sederhana berdasarkan arah mata angin, dan akibatnya, dalam banyak kasus, mengeliminasi entitas budaya lokal. Sentralisasi di tingkat provinsi, misalnya, membuat banyak kabupaten tidak terurus. Provinsi Gorontalo, sebagai contoh, yang dulu menjadi bagian dari Su­lawesi Utara, terbukti lebih maju setelah berdiri ­sen­diri.

Tapi tak semua ide pembentukan daerah otonomi baru didasari niat luhur menyejahterakan orang banyak. Tak sedikit kasus menunjukkan rencana itu didasari keingin­an pemrakarsanya menjadi kepala daerah atau sekadar akal-akalan mencari proyek.

Daerah yang dibentuk dengan motif pertama umumnya diprakarsai oleh orang yang pernah kecewa secara politik, misalnya kalah dalam pemilihan kepala daerah. Motif kedua sangat mungkin terjadi karena proses pembentukan daerah otonomi baru membutuhkan fulus yang tak sedikit. Ada biaya sidang anggota Dewan di pusat dan daerah. Ada pula ongkos mengundang pejabat departemen ke lapangan. Untuk semua proses ini, selalu ada broker yang ambil keuntungan.

Para penggagas Provinsi Tapanuli menyatakan ingin menyejahterakan warga.­ Tapi sulit juga mengatakan bahwa seba­gi­­an penggagas tak punya hasrat untuk­ memimpin daerah itu. Problem lain, seca­ra kultural Tapanuli bukan kawasan yang homogen. Dengan kata lain, renca­na pembentukan Provinsi Tapanuli harus­ ditelisik dengan saksama: apakah betul ren­cana itu akan membuat orang ramai lebih sejahtera.

Tekad pemerintah untuk menunda rencana pembentukan daerah otonomi baru, termasuk Tapanuli, setidaknya hingga Pe­milu 2009 usai, sudah tepat. Lebih dari se­kadar soal prioritas, pemerintah dan dewan perwakilan harus pandai-pandai betul ”memisahkan padi dari ga­bah”.­ Pembentukan daerah otonomi baru harus dibersih­kan dari penumpang gelap yang mengambil manfaat secara curang. Tanpa itu, yang untung hanya para elite dan pialang politik, bukan rakyat jelata.

Studi yang dilakukan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan pembentukan daerah otonomi baru memang tidak maksimal. Secara umum, indeks pembangunan manusia—metode untuk mengukur kesejahteraan penduduk suatu kawasan—di daerah baru masih di bawah kawasan induknya. Dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, pembentukan daerah baru masih besar pasak daripada tiang.

Artinya, perlu bersikap hati-hati sebelum sebuah daerah otonomi disetujui berdiri sendiri. Pemerintah dan de­wan legislatif mesti membuat syarat berat. Pengujian lapangan atas syarat-syarat pembentukan daerah ha­rus dikawal dengan ketat agar tak terjadi kongkalikong. Daerah yang diprediksi tak bisa sejahtera setelah berdiri sendiri harus dipertahankan hidup bersama induknya. Sebaliknya, daerah berpotensi besar tapi rakyatnya mis­kin karena induknya tak becus mengurus bisa dipertimbangkan lepas dari sang induk.

Insiden Medan adalah ekses demokrasi yang menye­sakkan dada. Seandainya pengamanan dilakukan mak­simum,­ barangkali korban tewas bisa dihindarkan. Kita pun tak perlu menyesali demokrasi yang sudah kita pi­lih.­ Seperti kata orang bijak, cara paling tepat untuk meng­atasi kelemahan demokrasi adalah menambah dosis­ demokrasi. Dalam kasus Medan, penegakan hukum dan pe­ningkatan kesejahteraan rakyat merupakan dosis tingkat tinggi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus