Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang galeri di lantai 1 gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat siang pekan lalu penuh sesak. Lima puluhan kursi penuh ditempati investor dan analis yang menghadiri paparan manajemen PT Matahari Putra Prima Tbk. tentang rencana pelepasan mayoritas saham PT Matahari Department Store Tbk. kepada CVC Capital Partners. Suasana sempat memanas karena beberapa investor memprotes manajemen Matahari yang berniat mengakhiri acara sebelum salat Jumat. ”Kami minta waktunya ditambah lagi,” kata Hendra, seorang investor.
Matahari Putra menggelar paparan publik untuk memenuhi permintaan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Fuad Rahmany. Empat hari sebelumnya, Fuad mendadak menggelar jumpa pers. Dia prihatin lantaran hingga tiga hari menjelang rapat umum pemegang saham luar biasa Matahari Putra—semula akan dilakukan Kamis pekan lalu—tak ada satu investor publik pun yang mempertanyakan rencana penjualan unit department store. Para analis saham juga tak mempersoalkan rencana perusahaan retail milik kelompok Lippo itu.
Menurut Fuad, skema transaksi penjualan Matahari Department Store cukup rumit sehingga bisa membuat investor publik tak memahaminya secara utuh. Matahari Putra telah menjelaskan rencana itu di media massa. Tapi Badan Pengawas Pasar Modal merasa informasinya tak lengkap. Rencana bisnis Matahari Putra setelah menjual anak perusahaan juga kurang jelas. Walhasil, kata dia, paparan publik menjadi keharusan. Fuad juga meminta Matahari Putra menunda rapat pemegang saham yang agendanya persetujuan pelepasan saham Matahari Department Store. ”Agar investor independen punya waktu tambahan mempelajari rencana Matahari,” katanya di Jakarta pekan lalu.
l l l
Transaksi pembelian Matahari Department Store diawali langkah Matahari Putra dan CVC Capital membentuk perusahaan patungan bernama Meadow Asia Company Limited. Perusahaan investasi asal Luksemburg itu menguasai 80 persen saham Meadow, dan Matahari Putra memiliki 20 persen. Lalu Meadow Asia dan Matahari Putra menandatangani perjanjian jual-beli pada 23 Januari lalu. Meadow Asia akan membeli 90,76 persen saham Matahari Department Store milik Matahari Putra. Nilai transaksinya US$ 770 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun.
Meadow Asia melalui Meadow Indonesia akan menguasai 80 persen saham Matahari Department Store, sedangkan Matahari Putra 20 persen saja—dari semula 90,76 persen. Meadow Indonesia dulu bernama PT Asri Agungpermai. Perusahaan ini tak punya aset dan kegiatan. Modal disetornya hanya Rp 12,5 juta.
Jual-beli saham Matahari Department Store menjadi rumit lantaran skema pembayarannya tidak melulu tunai, tapi ada pinjaman dan pembayaran dengan saham. CVC Capital—Meadow Indonesia—hanya membayar tunai Rp 5,3 triliun kepada Matahari Putra. Meadow Indonesia mengutang pembayaran saham senilai Rp 1 triliun kepada Matahari Putra dengan bunga 13-15 persen. Untuk menutupi kekurangan pembayaran Rp 900 miliar, Meadow Indonesia memberikan 20 persen saham Meadow Asia Company plus 7,5 persen waran.
Di saat bersamaan, Matahari Department Store akan meminjam duit Rp 3,25 triliun dari CIMB Niaga dan Standard Chartered Bank di Jakarta. Pemiliknya (Meadow Indonesia) menjaminkan 98 persen sahamnya di Matahari Department Store kepada dua bank itu. Lalu uang senilai Rp 2,85 triliun dari Niaga dan StanChart dipinjamkan lagi kepada Meadow Indonesia. Uniknya, Meadow Indonesia akan menggunakan dana pinjaman itu untuk melunasi pembelian saham Matahari Department Store kepada Matahari Putra.
Perihal pinjaman Niaga dan StanChart, kepada wartawan, Fuad mengatakan Badan Pengawas Pasar Modal akan berkoordinasi dengan Bank Indonesia. ”Kami dan BI akan membahasnya bersama.” Sumber Tempo yang dekat dengan bank sentral membisikkan, Selasa pekan lalu, Fuad bertemu dengan Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad di gedung Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta. Direktur Pengawasan Bank III Erwin Riyanto ikut mendampingi Muliaman. ”Mereka bertukar informasi atas rencana Meadow meminjam dari Niaga,” ungkapnya. Muliaman belum bisa dimintai konfirmasi. Pertanyaan Tempo lewat pesan pendek belum direspons hingga artikel ini naik cetak.
Menurut sumber Tempo lainnya, transaksi pelepasan Matahari Department Store merupakan rekayasa keuangan (financial engineering) yang rumit, tapi sah secara hukum. Tujuannya agar investor publik tak bisa memahaminya dengan mudah dan akhirnya menyetujuinya dalam rapat pemegang saham. Dia juga heran Niaga mau memberikan pinjaman besar. Boleh jadi bank milik CIMB Malaysia itu melihat agunan saham seharga Rp 2.705 per lembar sesuai dengan transaksinya senilai Rp 7,2 triliun. Padahal nilai buku Matahari Department Store sebelum transaksi dengan CVC Capital hanya Rp 60-an dengan harga pasar Rp 200-an per lembar.
Dengan asumsi harga investasi naik lima kali lipat—kenaikan yang luar biasa—harga wajar saham Matahari Department Store sebenarnya hanya Rp 1.000 per lembar. Kini harga saham perusahaan ini sekitar Rp 2.650 per lembar. Tapi harga itu pun diduga tak normal. Biro Transaksi Lembaga Efek Badan Pengawas Pasar Modal sedang memeriksa dugaan manipulasi harga saham Matahari Department Store itu. ”Kalau harga sahamnya gembos lagi, investor dan bank bisa menangis,” ujar sang sumber.
Kucuran uang CVC Capital senilai US$ 770 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun ke Matahari agak rancu. Seolah-olah, kata dia, ada uang jumbo mengalir dari luar negeri. Tapi, bila menghitung pinjaman Meadow Indonesia dari Niaga dan StanChart senilai Rp 2,85 triliun, pembayaran dengan cara mengutang Rp 1 triliun, dan pembayaran dengan saham Rp 900 miliar, duit tunai yang digelontorkan CVC Capital sebenarnya hanya Rp 2,4 triliun. ”US$ 770 juta apaan? Hanya US$ 250 juta (Rp 2,4 triliun),” ungkapnya. ”Selebihnya dari bank nasional.”
Lebih jauh sumber ini mengungkapkan, total saham Matahari Department Store adalah 3 miliar lembar. CVC Capital menguasai 80 persennya atau 2,4 miliar lembar. Dengan mengucurkan dana Rp 2,4 triliun, CVC Capital sesungguhnya hanya membeli saham Matahari Department Store dengan harga Rp 1.000 per lembar, bukan Rp 2.705 per lembar. ”Makanya CVC mau membeli. Cocok dengan harga wajarnya,” katanya.
Dalam paparan publik, Direktur Utama Matahari Putra Benyamin Mailool menjelaskan, transaksi pelepasan Matahari Department Store kepada CVC Capital sebenarnya sederhana dan tak rumit. ”Kuncinya joint venture,” ujarnya. Dalam perusahaan patungan, kata dia, CVC Capital membutuhkan Matahari, yang punya rekam jejak bagus menjalankan usaha retail.
Segendang sepenarian, Yosua Makes, konsultan hukum transaksi tersebut, menilai tak ada yang luar biasa dalam transaksi Matahari dengan CVC Capital. Yang membuatnya tampak rumit adalah Matahari Putra dan unit usahanya sama-sama perusahaan publik. Skema pembayarannya tak hanya tunai, tapi juga dalam bentuk piutang dan penyertaan dalam induk perusahaan pembeli Matahari Department Store. ”Skema pendanaan juga melibatkan bank di samping ekuitas dari pembeli,” katanya.
Direktur Matahari Putra Hendra Sidin juga yakin pelepasan department store tak akan merugikan Matahari Putra, malah sebaliknya menguntungkan perseroan dan semua pemegang saham, termasuk investor publik. Sebab, sebagian besar dana hasil pelepasan saham sebesar Rp 3,4 triliun akan dipakai buat melunasi utang. ”Perusahaan bisa menghemat pembayaran bunga Rp 400-500 miliar.”
Sekitar Rp 900 miliar akan digunakan Matahari Putra untuk pengembangan 10-15 hypermart. Kehilangan kendali atas department store, katanya juga, tak akan membuat perusahaan rugi. Dalam 2-3 tahun ke depan, keuntungan malah akan melonjak menjadi Rp 420 miliar-Rp 1 triliun.
Pengamat pasar modal Goei Siaw Hong mengatakan penjualan Matahari Department Store yang cukup rumit dan mengandung benturan kepentingan biasanya lebih menguntungkan Matahari Putra ketimbang investor publik. ”Investor publik bisa saja mendapatkan manfaat. Tapi investor tetap harus waspada,” katanya.
Menurut Sekretaris Umum Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia Sanusi, investor publik PT Multipolar—pemegang saham utama Matahari Putra—termasuk yang berpotensi rugi akibat aset utama perusahaan itu berpindah tangan. ”Bukan saja investor publik Matahari Putra yang bisa rugi,” katanya. Di Multipolar paling banyak investor publiknya. Jika Matahari Putra gembos, kata dia, Multipolar juga rugi. Buntutnya, investor merana.
Toh, sehebat apa pun reaksi investor, menurut Fuad, Badan Pengawas Pasar Modal tak bisa melarang Matahari Putra melakukan transaksi dengan CVC Capital. Investor publik minoritaslah penentu nasib penjualan Matahari Department Store dalam rapat pemegang saham nanti. ”Kami hanya bisa mengimbau. Sebelum memutuskan, investor publik membaca dulu dengan teliti rencana transaksinya.”
Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo