Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN depan ekonomi Indonesia akan berlari lebih kencang,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Kalimat itu juga kerap didengungkan para pejabat dalam beberapa minggu terakhir ini. Menteri Hatta berkali-kali menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2011 akan melampaui tahun ini sekitar enam persen.
Hatta tidak sendirian. Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A. Sarwono sama optimistisnya. Ia mengungkapkan bahwa BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan pada kisaran 6,0-6,5 persen. ”Akan lebih baik dibanding tahun ini,” katanya.
Optimisme ini sudah mengemuka saat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011, Juni lalu. Awalnya pemerintah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan 6,3 persen. Tapi, setelah mempertimbangkan perekonomian global yang berpotensi membaik, pertumbuhan ekonomi direvisi menjadi 6,4 persen. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding target dalam APBN 2010 sebesar 5,8 persen.
Ada sejumlah indikator yang bisa menunjang perekonomian tahun depan lari lebih cepat. Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan menyebutkan konsumsi nonmakanan akan lebih cepat dibanding konsumsi makanan. Investasi lumayan dominan. Ekspor juga masih bertumbuh meski dibayang-bayangi kenaikan barang-barang impor.
Tapi, kata Anton, di tengah cepatnya laju perekonomian, ada beberapa hal yang mesti diwaspadai. Pertama, inflasi alias melonjaknya harga barang dan jasa. Melonjaknya inflasi sudah terasa sejak tahun ini. Dalam APBN 2010, inflasi dipatok hanya 5,5 persen. Target itu akan meleset tajam. Inflasi tahun ini bisa melonjak menjadi 6,1 persen.
Lonjakan harga barang dan jasa itu masih akan berlanjut tahun depan. Menurut Anton, pemicunya masih didorong oleh inflasi harga makanan. Secara global tren harga bahan paÂngan memang terus meningkat dipengaruhi kebakaran ladang gandum di Rusia. Mau tak mau Indonesia ikut terkena dampaknya. Harga pangan di dalam negeri ikut melambung. Pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi atau larangan mobil pribadi menggunakan Premium juga akan ikut mendorong inflasi, meski tak terlalu besar.
Harga pangan bisa terus naik bila tahun depan bencana kembali mendera Tanah Air. Panen bahan pangan terganggu dan distribusinya terhambat. Buntutnya, tingkat inflasi melambung. Anton memperkirakan laju inflasi 2011 akan melonjak hingga 6,5 persen.
Faktor kedua yang harus diperhatikan pemerintah adalah kualitas pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor manufaktur. Pertumbuhan sektor ini ditopang oleh industri elektronik dan otomotif yang rata-rata masih bertumbuh sekitar 10 persen. Sekalipun sektor manufaktur tumbuh, secara keseluruhan belum bisa diandalkan menyerap banyak tenaga kerja, baik yang tetap maupun yang paruh waktu.
Sektor manufaktur ini perlu dicermati. Apalagi kini ada gejala deindustrialisasi alias menurunnya peran sektor industri dalam perekonomian. Gejala ditandai dengan, antara lain, tren ekspor bahan mentah semakin meningkat dibanding ekspor produk olahan. Dalam 10 tahun terakhir, sektor industri hanya bertumbuh sekitar 3,5 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi rata-rata enam persen. Padahal pada masa jaya-jayanya pada 1987-1996, industri manufaktur bisa tumbuh dua digit (rata-rata 12 persen) atau hampir dua kali lipat pertumbuhan ekonomi 6,9 persen.
Banyak kalangan sudah mengingatkan pemerintah akan ancaman deindustrialisasi ini. Gubernur BI Darmin Nasution salah satunya. Menurut Darmin, deindustrialisasi bisa menurunkan nilai tambah industri nasional dan tergerusnya produktivitas ekonomi. Ini jelas sangat tidak menguntungkan di tengah masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Pendek kata, ujar dia, deindustrialisasi tantangan Indonesia ke depan di tengah berbagai pencapaian positif perekonomian nasional.
Industri manufaktur nasional juga masih kental dengan muatan barang impor. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi malah dibarengi dengan naiknya impor secara signifikan. Ujung-ujungnya, surplus perdagangan menurun dan berpengaruh pada transaksi neraca berjalan.
Salah satu penyebab deindustrialisasi adalah lambatnya pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur di Indonesia berjalan bak siput. Sebenarnya pembangunan infrastruktur sudah menjadi prioritas utama pemerintah. Dalam masa kepemimpinan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono digagas Infrastructure Summit I dan II pada 2005 dan 2006. Lewat forum ini diharapkan investor swasta tertarik bekerja sama dengan pemerintah mengembangkan sejumlah proyek infrastruktur raksasa.
Sayangnya, sampai berakhirnya masa jabatan pertama Yudhoyono, pengembangan infrastruktur masih sebatas konsep. Memang ada keberhasilan, seperti pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt. Tapi itu pun masih jauh dari harapan. Kini pemerintah menawarkan sejumlah proyek infrastruktur dalam format private project partnership alias kemitraan swasta dan pemerintah. Tahap awal ada empat proyek ditawarkan, tapi sampai sekarang rencana itu masih jadi perdebatan di Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional serta Badan Koordinasi PenaÂnaman Modal.
Mandeknya pembangunan infrastruktur tentu sangat memprihatinkan. Padahal, kata Anton, itu bisa menopang pertumbuhan ekonomi. Lambatnya pembangunan infrastruktur juga menjadi salah satu pemicu ekonomi biaya tinggi. Inilah penyakit kronis bertahun-tahun yang tak pernah sembuh. Ekonomi biaya tinggi memang bukan semata-mata disebabkan oleh minimnya infrastruktur, melainkan juga masalah birokrasi—termasuk peraturan daerah bermasalah atau menghambat investasi dan pungutan liar yang begitu merata di sejumlah daerah (lihat ”Salam Tempel Sepanjang Jalan”).
Menurut Direktur Lembaga Penyidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Arianto Patunru, minimnya infrastruktur serta marakÂnya pungutan liar membuat biaya logistik meningkat menjadi sekitar 14 persen dari biaya produksi. Biaya logistik di Indonesia lebih mahal dibanding di negara lain rata-rata 4-5 persen. ”Biaya ini terpaksa dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga produk yang lebih mahal,” kata Patunru. Tingginya biaya ekonomi itu pula yang membuat pertumbuhan ekonomi nasional tak seimpresif Cina atau India yang bisa tumbuh di atas sembilan persen.
Walhasil, tak ada pilihan lain, pemerintah harus berbenah. Pemerintah wajib menyembuhkan pelbagai penyakit kronis bila perekonomian tahun depan dan di masa-masa mendatang bertumbuh dengan kualitas yang tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo