Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

"Harta Keluarga Sudah Habis"

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Necis dan tetap bersemangat. Tak ada tanda-tanda capai di wajah Aburizal Bakrie. Padahal dialah orang yang terus "didor" dua pekan terakhir. Ical, begitu ia dipanggil, merupakan sasaran tembak nomor satu, orang yang dituding berada di balik penundaan pengumuman rekapitalisasi perbankan. Program penting ini harus diulur, salah satunya, konon karena Ical ingin Bank Nusa Nasional (BNN), yang sahamnya dikuasai Bakrie, tidak ditutup. Dengan penundaan itu, Ical diberi kesempatan melobi kanan-kiri. Sulit dibantah, posisi Ical dalam peta politik dan perekonomian sekarang memang sentral. Ia bukan cuma anggota Dewan Ketahanan Ekonomi dan Moneter. Ia juga Ketua Kamar Dagang dan Industri, yang dekat dengan sejumlah menteri yang punya posisi kunci di kabinet. Bersama beberapa pengusaha lain, Ical masuk dalam jajaran The Ginandjar Boys, sebutan media asing bagi sekelompok pengusaha pribumi yang "dikarbit" Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita. Tak juga bisa dilupakan, Tanri Abeng, orang gajian Ical belasan tahun terakhir, kini menduduki pos penting sebagai Menteri Pendayagunaan BUMN. Selain itu, di masa ketika semangat membangkitkan perekonomian rakyat lagi menggebu-gebu, Ical memang mudah mendapat angin. Ical bukan cuma pelopor dan pendukung program ini. Ia juga seperti bendera bagi pengusaha pribumi. Dengan posisi se-ciamik itu, memang gampang membayangkan bahkan menarik kesimpulan bahwa Ketua Kelompok Usaha Bakrie ini mudah bermain-main dengan pengambil keputusan. Apalagi penyelamatan BNN memang seperti impossible mission. Soalnya, menurut hasil uji tuntas (due dilligent) auditor internasional BNN tenggelam dengan CAR 210 persen. Untuk mengentasnya, BNN harus disuntik modal sampai Rp 5,2 triliun. Serbuan ke arah Ical makin kencang setelah muncul selentingan bahwa ia mengusulkan, setelah direkapitalisasi dengan dana pemerintah, bank-bank dipribumikan saja. Untuk mengetahui bagaimana seluk-beluk soal ini, TEMPO menemui Aburizal Bakrie dalam dua kesempatan terpisah. Berikut ini petikannya.

Anda dituduh memanfaatkan koneksi politik untuk menyelamatkan bank.Bagaimana duduk soalnya?

Kalau soal lobi, saya kira itu harus. Pengusaha, kalau tak melobi, bodoh namanya. Tapi, kalau lobi itu bisa mengubah keputusan pemerintah, hebat betul. Saya kira pemerintah sudah proper. Hanya saja, banyak yang merasa apa pun yang dikerjakan Habibie pasti salah. Sudah tumbuh sikap, di dalam dan di luar negeri, yang tak menghendaki Habibie jalan terus. Ini biasa. Soal rekapitalisasi, saya setuju saja jika diumumkan kemarin. Tapi, karena evaluasinya belum tuntas, lebih baik ditunda, agar kita tak menghukum bank yang tak salah.

Ada kabar, sampai Habibie sendiri harus turun tangan memberi memo agar bank Anda selamat.

Habibie siapa? Presiden? Ya, tidak ada.

Tapi publik terkejut, BNN tiba-tiba naik peringkat. Anda menyuntikkan modal begitu besar?

Untuk menutup kredit yang dihapusbukukan, kita memang tak mampu menyetor tunai. Kita suntik aset. Hampir semua perusahaan keluarga dipakai menyuntik BNN. Yang paling besar dan bernilai adalah perusahaan minyak, di dalam atau luar negeri. Sumur minyak yang baru kita temukan di Yaman juga kita serahkan.

Tapi, jangan salah, Bank Nusa Nasional tak pernah masuk kelompok C, tidak sekali pun. Setelah persoalan aset Bank Perniagaan dan penghapusan kredit macet selesai , BNN masuk peringkat B dan siap mengikuti program rekapitalisasi.

Anda harus menyuntikkan Rp 3,8 triliun lagi kalau mau BNN selamat. Ada kantong rezeki yang lain?

Masih ada. Kalau disetujui ikut rekapitalisasi, kita cuma perlu setor Rp 770 miliar. Sisanya pemerintah. Sampai sekarang, sudah kita suntikkan Rp 200 miliar. Sisanya segera dibayar dari penjualan Bakrie Nirwana Resort. Sebuah jaringan hotel internasional siap membeli. Saham keluarga di perusahaan minyak Bakrie Minarak yang terdaftar di bursa Alberta juga akan kita lepas. Kita ambil dari sana-sini. Insya Allah, jumlahnya lebih dari cukup.

Anda juga memakai dana jaring pengaman sosial (JPS) untuk itu?

Saya tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Apa yang mesti saya jelaskan? Uangnya memang tak ada. Saya tegaskan, wallahi, demi Tuhan, tak ada dana JPS di BNN. Kalau ada, saya akan senang sekali bisa mendapatkannya. Jangan cuma Rp 1,5 triliun. Kalau perlu, Rp 100 triliun.

BNN memang pernah menyalurkan kredit murah untuk pengusaha kecil. Tapi jumlahnya cuma Rp 86 miliar. Ini juga bukan suntikan, tapi kredit dari Bank Indonesia yang harus disalurkan. Waktu itu kita berikan untuk petani sawit di Sulawesi Selatan dan Jambi.

Anda bertaruh begitu besar untuk BNN. Mengapa?

Ini soal integritas. Utang harus dibayar. Karyawan harus diselamatkan. Banyak pengusaha menyuruh saya membiarkan BNN, juga Bakrie & Brothers, bangkrut. Biarin saja, katanya, toh saya masih bisa hidup nyaman dengan aset-aset lain, toh bankir-bankir juga akan segera lupa kalau saya tak membayar utang. Mungkin mereka benar dan saya salah. Pada awalnya, saya juga ingin membiarkannya bangkrut. Tapi saya pikir ini soal integritas.

Mestinya ada hitungan biaya-pendapatan. Jika biaya lebih besar dari hasil, untuk apa pengusaha rasional seperti Anda mempertahankannya?

Saya belajar dari pengalaman ayah berbisnis karet mentah. Waktu itu, tak satu bank pun mau memberikan pinjaman. Bahkan pemerintah merencanakan membuat pemutihan bagi kredit karet mentah. Ayah mendengar. Tapi ayah justru membayar utangnya. Sebab, bagi dia, tak ada salahnya membayar utang. Sikap ini masih berlaku pada saya.

Bukankah Anda memperjuangkan BNN karena kreditnya mengalir ke grup Bakrie sendiri? Anda khawatir, jika BNN ditutup, Anda tak sanggup membayar pinjaman, sehingga semua perusahaan Bakrie akan diseret.

Coba buktikan. Kami sudah diaudit. Auditornya lembaga internasional yang ditunjuk pemerintah. Tidak dibayar Bakrie. Menurut audit itu, kita tak melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Memang ada pinjaman untuk grup. Mana ada bank yang tak punya pinjaman ke kelompoknya? Tapi tak melanggar BMPK. Itu poinnya.

Bukankah ada pinjaman yang besar untuk Bakrie Nirwana Resort dan beberapa anak perusahaan Bakrie Finance....

Tapi tak ada yang melanggar BMPK.

Sekarang Anda yakin BNN tak akan ditutup?

Sampai sekarang, belum ada jawaban yang pasti. Tapi kami sudah membuat rencana usaha yang rasional. Begitu rekapitalisasi selesai dilakukan Mei, BNN tak lagi menderita negative spread (pendapatan bunga negatif). Secara operasional, BNN akan untung, likuiditas kita encer. BNN tak butuh rekapitalisasi kedua seperti dikhawatirkan industri perbankan.

Caranya? Saya mengubah total orientasi usaha BNN. Kami akan menjalin aliansi strategis dengan Bank Pos. Saya tawarkan kepada mereka golden share, tak perlu bayar, 10 persen dari saham Bakrie di BNN. Kalau kami mendapat 20 persen, mereka 2 persen. Gratis. Mereka setuju. Kelak, semua aktivitas keuangan Pos akan melalui BNN. Pengiriman wesel, semua akan melalui BNN. Kami akan berganti wajah dari corporate bank (melayani perusahaan besar) menjadi retail bank (dengan nasabah kecil).

Anda melepaskan banyak perusahaan untuk menomboki utang Bakrie & Brothers dan BNN. Setelah ini, Anda harus membenahi utang Bakrie Finance dan perusahaan keluarga Bakrie Investindo. Kelak, bagaimana rupa bisnis keluarga Bakrie?

Kalau yang ditanyakan kepemilikan, sudah habis. Tinggal yang kecil-kecil. Tak ada nilainya. Yang bagus-bagus, semua sudah saya serahkan. Perusahaan telekomunikasi internasional Iridium dijual. Begitu juga Bakrie Electronic, Bakrie Kasei, tambang batu bara Arutmin. Bahkan perkebunan sawit Bakrie Sumatra Plantation juga sudah dilepas....

Sebagian merupakan perusahaan warisan keluarga....

Bagi saya, dan keluarga, ini memang pahit. Tapi, demi integritas, apa boleh buat. Rata-rata di semua perusahaan Bakrie, kami tinggal memiliki 15 persen. Kalau dulu kita punya jutaan dolar, kini cuma puluhan ribu.

Anda berniat membeli kembali aset-aset itu, kelak?

Tidak. Tak ada duit. Kepemilikan buat saya tak penting. Punya 15 bahkan 10 persen sudah cukup, asal usahanya baik. Kalau pemerintah nanti menjual sahamnya di BNN, saya serahkan opsi kepada PT Pos untuk membelinya. Jika mereka tak mau, baru saya ambil. Itu pun kalau punya duit.

Anda begitu bersemangat soal ekonomi pribumi....

Saya melihat, kini tumbuh cara pandang baru yang jungkir balik. Ada kesan, membela pribumi itu salah. Seorang pejabat moneter mengaku ketakutan menyuntikkan modal untuk bank pribumi?takut dianggap ada apa-apa. Padahal bank itu memenuhi syarat disuntik modal. Ini sudah aneh, terbalik-balik.

Katanya, Anda mengusulkan ke Habibie agar bank-bank dipribumikan saja?

Kalau bisa, mengapa tidak? Ini usul bagus. Saya malah tak punya ide seperti itu. Untuk meredam gejolak sosial, untuk menjembatani jurang kaya-miskin, usul saya sudah jelas: kita harus melakukan redistribusi aset. Perusahaan tak dimiliki segelintir orang, tapi publik.

Anda tahu mengapa orang Bugis dimusuhi di Ambon? Orang Cina dicemburui di Jakarta? Mengapa ada orang Korea di LA dibakar kelompok Negro? Itu karena mereka menguasai jaringan bisnis. Ini di Los Angeles, Bung, Ngamerika, bukan Lenteng Agung. Di mana-mana, juga di negara maju, kecemburuan sosial punya potensi konflik. Solusinya jelas: jurang harus diperkecil.

Caranya? Ada alokasi khusus bagi pengusaha kecil ketika pemerintah menjual aset. Ini beli, bukan gratis. Harganya juga sama. Yang penting, ada alokasi, agar tak semuanya dicaplok pengusaha kaya. Ini bisa diterapkan pada penjualan saham BUMN atau aset swasta yang kini dikuasai negara. Dalam hal rekapitalisasi bank, alokasi aset untuk pengusaha kecil juga bisa dilakukan ketika mereka melakukan merger.

Tapi apa bank-bank swasta itu harus dipaksa? Bagaimana caranya?

Gampang. Kalau mereka ikut rekapitalisasi yang memakai uang pemerintah, diharuskan saja. Kalau tak mau, ya sudah, tak perlu mendapat suntikan dana. Sederhana saja. Itu hak pemerintah.

Kalaupun bisa, apa itu saja cukup untuk membangkitan perekonomian rakyat?

Kalau perlu, dengan kredit berbunga rendah. Dulu ada kredit program ratusan triliun untuk pengusaha besar, yang kini tak bisa mengembalikan utang. Kenapa sekarang tidak? Hanya ada dana jaring pengaman sosial, yang cuma Rp 10,6 triliun. Itu pun sudah membuat orang ribut. Padahal ini tak ada artinya dibandingkan dengan ratusan triliun waktu itu. Kenapa sekarang tidak diberikan ratusan triliun juga?.

Orang meributkan dana JPS lantaran penyalurannya tak beres.?

Dulu juga tak becus. Buktinya, sekarang banyak yang tidak bisa bayar. Ada yang bilang, pengusaha kecil tak punya manejemen usaha. Tai kebo. Dulu, 20 tahun lalu, ketika kredit program diberikan, apakah Salim, apakah Bakrie, apa Eka Tjipta punya manajemen? Tidak. Kenapa sekarang syaratnya macam-macam? Waktu itu, kami seperti orang berantem yang tak tahu bagaimana caranya berkelahi. Ngawur saja. Setelah terus-terusan kena pukul, baru kita tahu selahnya. Kami bisa karena diberi kesempatan dan dana. Kenapa sekarang tidak?

Tapi nanti kreditnya jatuh ke tangan Bakrie lagi....

Jangan, jangan berikan kepada Bakrie. Berikan kepada yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus