Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketika Harga Bensin Dibebaskan

Swasta mulai bersiap menjual bensin langsung kepada masyarakat. Harga lebih murah?

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Monopoli, barangkali, akan tinggal tersisa sebagai suatu bentuk permainan saja. Baguslah. Di negeri ini, semangat menggusur praktek penguasaan pasar agaknya memang sedang menggebu-gebu. Yang paling baru, monopoli penjualan bahan bakar minyak (BBM), yang kini dikuasai Pertamina, sebentar lagi bakal dibabat habis. Selain itu, harga yang selama ini ditentukan pemerintah juga akan diserahkan kepada pasar. Landasan hukum untuk pembabatan itu namanya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Rancangannya telah diserahkan ke DPR pekan lalu. Di bawah UU ini, distribusi dan pemasaran bensin bisa dilakukan siapa saja. Swasta penghasil minyak, seperti Shell, British Petroleum, atau Caltex, bisa langsung menjualnya ke pasar. Jadi, kelak, ada bensin Shell, bensin Caltex, dan bensin BP dengan harga berbeda?persis seperti di luar negeri. Pertamina? Perusahaan yang kini banyak diistimewakan itu, kelak, akan diperlakukan sama seperti perusahaan minyak lain. Mereka akan berusaha mencari minyak, menambang, dan memproses, persis dengan kesempatan yang diberikan kepada perusahaan swasta lain. Pertamina juga akan memasarkan bensinnya langsung kepada publik, bersaing dengan pabrik yang lain. Tapi, untuk sampai ke situ, perusahaan minyak negara ini diberi tempo dua tahun untuk menyesuaikan diri dengan alam kompetisi yang bebas. Perubahan-perubahan ini tentu merupakan terobosan besar, bukan hanya bagi Pertamina, tapi juga bagi perusahaan minyak yang lain, dan juga bagi masyarakat. Maklumlah, sudah hampir empat dasawarsa ini para pengusaha bisnis minyak menuntut dibukanya pasar BBM. Dengan monopoli dan harga ditentukan pemerintah, distribusi dan pemasaran BBM tak mungkin efisien. Monopoli jelas memberikan kesempatan kepada satu perusahaan untuk menentukan harga sendiri, sedangkan subsidi menyebabkan harga yang berlaku bukan bentukan pasar. Kedua-duanya jelas tak menguntungkan karena menciptakan perekonomian yang boros. Menurut Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto, monopoli pada Pertamina tak menciptakan persaingan yang sehat. Padahal cuma melalui kompetisi yang sehatlah biaya bisa ditekan serendah mungkin. "Ini akan mengurangi beban APBN melalui subsidi," kata Menteri Kuntoro. Sulit dibantah, kalaupun harga BBM di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan di negara lain, itu tak lebih karena subsidi. Besarnya subsidi akan tampak dari selisih harga minyak di Indonesia dengan di luar negeri. Premium, misalnya, di sini cuma Rp 1.000 per liter, padahal di pasar internasional harganya tiga kali lipat. Begitu pula harga minyak solar. Di sini seliternya cuma Rp 550, sedangkan di Malaysia bisa Rp 2.000. Di Thailand dan Singapura, harganya malah sampai lima-enam kali lipat harga di Indonesia. Karena itu, mudah dibayangkan, kelak jika RUU ini disetujui, harga minyak bakar akan langsung naik menyesuaikan diri dengan harga pasar internasional. Untunglah, menurut RUU Migas, masih ada waktu empat tahun sampai pemerintah membebaskan penentuan harga BBM sepenuhnya kepada pasar. Selama masa transisi itu, pemerintah bisa menaikkan harga minyak bakar setahap demi setahap, sehingga ketika harganya dilepas kelak, masyarakat diharapkan tidak kaget. Namun, pertanyaannya: apakah masyarakat akan gampang menyetel diri sesuai dengan pola harga BBM yang baru ini? Selama ini, kenaikan harga minyak bakar punya rentetan akibat yang panjang. Ongkos transpor pasti naik, biaya produksi barang pabrik meningkat, dan pada akhirnya harga barang pada melambung. Kenaikan tarif angkutan selama ini terbukti punya gema politik yang dahsyat. Tampaknya, mau tak mau, suka atau tidak, publik sudah saatnya menelan pil pahit ini. Masyarakat di sejumlah negara tetangga melakukan hal yang sama. Filipina, misalnya, semula memberikan subsidi minyak pada masa-masa awal pemerintahan Corazon Aquino. Namun, secara perlahan-lahan harga BBM terus dinaikkan hingga sama dengan harga internasional. Di Malaysia lain lagi. Di sana ada mekanisme harga otomatis: pemerintah mengubah-ubah besaran bea cukai dalam komponen harga minyak untuk menjaga stabilitas harga BBM. Jika minyak mentah dan biaya eksplorasi naik, tarif cukai diturunkan. Begitu pula sebaliknya. "Tapi patokannya tetap harga internasional," kata Yusuf Hashim, Konsultan Shell Indonesia. Menurut Asisten Perwakilan Caltex Service Indonesia, Djoemamoerad Djoemhana, gejolak harga BBM setelah penghapusan monopoli mestinya justru tidak terjadi, asalkan kompetisi benar-benar dibuka lebar-lebar dan para pelaku pasar boleh menjual semua jenis bahan bakar. Selain itu, pemerintah menentukan batasan berupa harga patokan setempat (HPS) dan harga eceran tertinggi (HET), mirip dengan yang berlaku di pasar semen. Kalau cara itu yang ditempuh, investor tentu tak akan keberatan membangun pompa bensin alias stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Tapi, kalau dibatasi seperti Premix, kata Djoemhana kepada Andari Karina Anom dari TEMPO, "Jelas tak ekonomis." Yusuf menambahkan, untuk mencegah persaingan tak sehat dan meningkatkan efisiensi, para pemain sebaiknya berkongsi, misalnya, untuk menggunakan refinery (kilang) dan depo minyak bersama-sama. Persaingan dilakukan setelah minyak keluar dari depo, yakni dalam biaya jasa pelayanan. Pelaku pasar seharusnya juga dibebaskan mendatangkan minyak dari kilang mana pun, termasuk luar negeri. "Tergantung mana yang lebih murah," kata Yusuf kepada Agus Hidayat dari TEMPO. Dengan cara itu, harga BBM ke konsumen bisa bersaing dan makin efisien. Dibukanya monopoli distribusi dan pemasaran minyak tampaknya disambut hati-hati para kontraktor asing. Namun, semuanya sepakat, kebijakan ini menyehatkan perekonomian Indonesia. "Ini jalan yang benar. Tinggal kita menunggu sejauh mana kemajuannya," kata John P. Raeside, perwakilan Caltex di Indonesia. Yang jelas, hampir semua produsen minyak asing menyatakan siap menanamkan investasi di bidang distribusi dan pemasaran. Shell mengaku sudah siap masuk ke bisnis itu sejak 10 tahun silam, sementara Caltex sejak 1997. Dalam kalkulasi Caltex, pembangunan satu pompa bensin di Indonesia tak membutuhkan dana yang besar, cuma US$ 200-250, di luar biaya tanah. Kalau mau lebih murah, sistem waralaba bisa dipakai untuk menggaet para pemilik lahan, sehingga biaya pembelian tanah bisa ditekan. Kalau mau lebih praktis, mereka tinggal mengakuisisi kios penjualan bensin yang sudah ada dan habis masa kontraknya dengan Pertamina. Sejauh ini, Pertamina bermain lebih praktis dalam pembangunan pompa bensin, yang kini sudah mencapai 2.162. Lahannya disediakan dan dibangun pemilik, sementara Pertamina hanya memasok minyaknya. Dengan sistem ini, pengusaha pompa bensin mendapatkan margin 4 persen untuk premium dan 5 persen untuk solar. Pertamina sendiri hanya punya 235 pompa bensin. "Kami tak takut para pemilik ini akan lari ke perusahaan lain. Kami juga siap bersaing," kata Direktur Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri Pertamina, Hadi Nugroho. Baguslah. Tapi pertanyaan ini belum juga terjawab: bagaimana caranya agar persaingan ini bisa membuat harga minyak lebih murah dan stabil? M. Taufiqurohman, Iwan Setiawan, dan Purwani Diyah prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus