Tak ada lagi monopoli. Yang ada hanya persaingan sehat. Begitulah kira-kira semangat pengajuan RUU Minyak dan Gas Bumi ke DPR pekan lalu. Tampaknya, ada banyak soal yang bakal menghangatkan perdebatan RUU ini. Misalnya peran Departemen Pertambangan dan Energi yang terlalu dominan, sistem kontrak production sharing (KPS) yang akan dihapus, pemangkasan monopoli pemasaran bahan bakar, dan pembonsaian Pertamina yang selama ini selalu diistimewakan.
Dengan UU ini, posisi Pertamina boleh dibilang babak belur. Selain kehilangan hak sebagai penguasa tunggal pemasaran bensin, Pertamina tak lagi menjadi pemegang kuasa pertambangan. Hak ajaib ini kelak akan diambil alih pemerintah. Dengan demikian, setoran KPS akan masuk ke kas negara tanpa lewat Pertamina. Bagi perusahaan negara ini, hilangnya hak sebagai pemegang kuasa pertambangan tentu merupakan pukulan telak. Kontrak bagi hasil ini merupakan pendapatan utama, sampai 30 persen dari pendapatan operasional Pertamina.
Tapi bukan cuma Pertamina yang bakal kelabakan. Masyarakat awam pun bisa kena tonjok UU Migas yang baru ini. Ambil contoh saja soal penghapusan monopoli pemasaran dan pelepasan penetapan harga kepada pasar. Soal ini bukan cuma menyisakan kekhawatiran tentang harga BBM yang melonjak-lonjak, tapi juga soal keajekan pasokan minyak.
Dikhawatirkan, dengan pembebasan ini, pasokan minyak akan byarpet, terutama jika harga jual di luar negeri lebih menggiurkan. Memang betul, untuk setiap produsen minyak, ada kewajiban menjual 25 persen ke pasar lokal. Tapi itu tak menjamin ajeknya pengadaan BBM. Minyak goreng, yang terus merembes ke luar negeri, bisa menjadi contoh bagaimana beleid ini punya buntut yang tak mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini