Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bank Disita, Bank Dipribumikan

Inilah perkembangan baru program rekapitalisasi. Ada "bank Cina" yang dipribumikan, ada pula bank besar yang diambil oper pemerintah. Data terakhir, 36-50 bank akan ditutup.

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah surat elektronik nyleneh tiba-tiba nongol di komputer. Isinya tajam, provokatif, dan mengejutkan: bank-bank milik Cina akan dipribumikan. Sensasional, sulit dipercaya. Tapi, beberapa menit kemudian, sebuah telepon dari pengelola dana investasi asing mengabarkan cerita yang sama. "Saya dengar dari seorang bankir," katanya, "ia diminta mengawinkan banknya dengan bank milik pengusaha pribumi." Lo, bagaimana duduk soalnya? Tak ada konfirmasi yang tuntas. Tapi, menurut seorang bankir, sepekan sebelum rekapitalisasi perbankan diumumkan, sejumlah perkembangan muncul dan mengejutkan. Ada yang faktual, sebagian yang lain hanya gosip. Salah satunya adalah rencana mempribumikan bank-bank milik pengusaha keturunan itu. Ada beberapa skenario yang bisa dipakai untuk itu. Skenario pertama berawal dari pertanyaan: bagaimana jika para pemilik bank tak mampu menebus kembali (buy back) saham yang diambil alih pemerintah? Perlu diingat, dalam program rekapitalisasi bank, pemerintah menyuntikkan maksimal 80 persen dari total kebutuhan tambahan modal. Akibatnya, semua bank yang ikut rekapitalisasi akan menjadi bank milik pemerintah. Memang betul, pemilik lama diberi kesempatan menebus kembali saham yang dikuasai pemerintah dalam tempo tiga tahun. Sebagai sumber dananya, pemerintah juga sudah memberi insentif: pemilik bank bisa memakai dana dari aset-aset macet bank yang telah dapat dicairkan. Tapi sumber dana ini pasti tak cukup besar untuk menebus saham yang dikuasai pemerintah. Para analis saham perbankan memastikan, dalam tempo tiga tahun ke depan, tak satu pun pemilik bank yang berhasil mendapatkan kembali semua sahamnya yang dikuasai pemerintah. Dari sinilah tampaknya muncul ide "pribuminisasi" itu. Ada pemikiran, bagaimana jika rekapitalisasi bank dipakai sebagai salah satu instrumen pemerataan aset. Caranya, sebagian dari 80 persen saham pemerintah itu bakal dialokasikan untuk dijual?entah dengan harga pasar atau diskon?kepada kelompok mayoritas, misalnya pegawai negeri (ABRI atau sipil), karyawan BUMN, karyawan bank, dan pengusaha kecil serta menengah. Nah, karena kebanyakan bank yang ikut rekapitalisasi milik pengusaha keturunan, muncul istilah yang kedengarannya serem itu. Ini yang pertama. Skenario kedua, melalui sistem merger. Ini yang agak serem. Ceritanya berawal dari bank-bank papan atas yang tak semua pemiliknya sanggup membayar setoran modal. Menurut ketentuan, minimal 20 persen dari tambahan kapital yang dibutuhkan harus disuntik para pemilik bank lama. Tapi bagaimana jika bank-bank ini dimiliki oleh banyak kelompok yang tak semuanya setuju menyetor modal? Apakah bank-bank besar seperti ini akan ditutup begitu saja? Contoh yang cukup gamblang untuk ini adalah Bank Niaga. Menurut hasil uji tuntas (due diligent) auditor internasional akhir tahun lalu, Bank Niaga masuk kelompok B dengan rasio kecukupan modal alias CAR minus 17,36 persen. Untuk mencapai persyaratan modal CAR minimal 4 persen, Bank Niaga harus menambah modal Rp 3 triliun. Dari jumlah ini, pemilik lama punya kewajiban menyetor sekitar Rp 600 miliar, sisanya akan diinjeksi pemerintah. Betul, dalam rapat pemegang saham pekan lalu, para pemilik Bank Niaga memutuskan ikut rekapitalisasi. Mereka akan menambah modal dengan menerbitkan saham baru terbatas kepada pemegang saham lama (rights issue). Tapi tak semua pemegang saham pasti bersedia mengambil "jatah"-nya. Rashid Hussain, pemegang saham terbesar di Bank Niaga, misalnya, tampak ogah-ogahan. Sebagai pemegang 20 persen saham, Rashid mestinya sudah menyiapkan dana sekitar Rp 120 miliar untuk menyuntik Bank Niaga bulan depan. Tapi, dalam setahun belakangan ini, perusahaan efek Malaysia ini sudah santer diberitakan menawarkan saham miliknya ke sejumlah investor lain. "Tapi harganya belum ada yang cocok," kata seorang analis. Kepastian Rashid menyetor modal ke Bank Niaga atau tidak hingga hari ini memang belum bisa diperoleh. Seorang pejabat perwakilan Rashid Hussain di Jakarta tak bersedia memberi keterangan. Ia hanya berkata pendek, "Bagaimana kita mau memberi investasi baru jika persoalan politik belum lagi jelas?" katanya. Ketidakpastian yang sama juga diungkapkan pemegang saham yang lain seperti Asuransi Bintang. "Kita lihat dulu nanti," kata Ariyanti Suliyanto, Presiden Direktur Asuransi Bintang. Menurut Ariyanti, Bintang akan melihat dulu apakah investasi ke Bank Niaga akan merepotkan atau tidak. Maklumlah, sebagai perusahaan asuransi, Bintang juga terikat aturan kehati-hatian dalam memutar duit asuransi. Ketidakpastian sikap Bintang ini sebenarnya agak mengejutkan. Soalnya, kalau mau ikut rekapitalisasi, Bank Niaga sudah harus disuntik tambahan modal bulan depan. Asuransi Bintang memang bukan pemegang saham dominan. Tapi ikatan Bintang dengan bank papan atas ini dinilai begitu lengket lantaran asuransi ini merupakan salah satu pendiri Niaga. Pemegang saham yang lain, seperti Tirtamas Panduarta (Hashim Djojohadikusumo, pemilik 10 persen saham) dan Austindo (keluarga Tahija, 5 persen), juga setali tiga uang. Mereka belum menyatakan komitmennya apakah akan setor modal atau tidak. Hashim sendiri batal membeli semua saham Bank Niaga yang semula ditawarnya dari keluarga Tahija. Nah, apakah Niaga akan ditutup gara-gara tak semua pemegang saham mau menyetor 20 persen kebutuhan modal? Tampaknya kok tidak. Pemerintah, kabarnya, sedang menunggu sejumlah kemungkinan. Yang pertama, masuknya investor asing baru ke Niaga. Sejumlah nama sudah disebut-sebut akan menjadi juragan baru bank yang semula dikenal konservatif ini, termasuk Deutsche Bank dan sebuah lembaga investasi dari Taiwan. Kalaupun para investor itu tak jadi masuk, bank sebesar Niaga juga sulit ditutup. Untuk melikuidasi Bank Niaga, pemerintah harus menyediakan biaya Rp 15 triliun lebih. Ini akan memberi tekanan yang cukup besar bagi anggaran pemerintah. Sebagai perbandingan, dalam RAPBN 1999-2000 yang sudah disetujui DPR, biaya rekapitalisasi perbankan cuma dijatah Rp 17 triliun. Nah, apa akal? Pemerintah tampaknya harus menyediakan jalan belakang. Yang pertama, menawarkan Bank Niaga ke bank lain untuk merger. Dari tawaran inilah kemudian muncul istilah "pribuminisasi" itu. Bank Niaga sempat disarankan untuk kawin dengan sebuah bank yang sahamnya dikuasai seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Entah bagaimana hasil perjodohan ini, memang belum jelas betul. Tapi, kalaupun gagal, pemerintah masih punya jalan lain yang sebenarnya agak melenceng dari ketentuan semula. Dalam hal ini, pemerintah akan menomboki tambahan modal yang tak disetor para pemegang saham. Artinya, pemerintah menginjeksi kapaital ke Bank Niaga lebih dari 80 persen modal yang dibutuhkan. Pilih kasih, dong? "Bisa dibilang begitu," kata seorang pejabat keuangan. Tapi, apa boleh buat, risiko dan biaya penutupan bank-bank besar seperti ini jauh lebih besar daripada ongkos untuk merekapitalisasinya. Sebagai jalan tengah, bank-bank seperti ini akan dikenai status take over (diambil alih) alias disita, sebagaimana Bank BCA, Danamon, PDFCI, dan Tiara. Repotnya, bank-bank yang bernasib seperti Bank Niaga ini cukup banyak. Menurut sumber TEMPO, ada enam sampai sepuluh bank papan menengah yang akan segera diambil oper pemerintah. Selain Bank Niaga, juga disebut-sebut Bank Bali dan Bank BII. Kedua bank ini memerlukan suntikan modal yang cukup besar. Bank Bali memerlukan Rp 1,4 triliun sedangkan BII butuh Rp 7 triliun. Sebaliknya, kalau mau ditutup, kedua bank ini membutuhkan biaya likuidasi yang jauh lebih besar. Bali memerlukan Rp 9 triliun lebih, sedangkan BII butuh hampir Rp 25 triliun. Dan karena para pemilik kedua bank tak mau bulat-bulat menyetor seperlima dari kebutuhan modal, bank-bank ini kabarnya juga akan diambil alih pemerintah. Di luar soal suntikan ekstra bagi bank-bank raksasa tadi, pemerintah tampaknya berniat menyeleksi dengan ketat bank-bank yang bisa rekapitalisasi. Menurut seorang pejabat di Departemen Keuangan, pemerintah hanya akan menyokong bank yang pemiliknya mampu menyuntik modal dan jaringannya kuat. Kalau tidak, "Kita keras, mereka bakal ditutup." Dengan sikap seperti itu, jumlah bank yang akan dipasung tampaknya akan makin banyak. Menurut data yang diperoleh TEMPO, hingga akhir pekan lalu, ada 16 bank kelompok C (CAR di bawah minus 25 persen) yang sudah pasti ditutup. Bank-bank ini, konon, sudah diikhlaskan pemiliknya untuk dibredel. Selain itu, ada delapan bank?juga kelompok C?yang masih terus bernegosiasi. Bank-bank papan menengah ini memang masih punya kans untuk lolos masuk ke kelompok B. Tapi ini pun tak menyelamatkan mereka jika mereka tak mampu memenuhi persyaratan rekapitalisasi. Di luar 24 bank yang berada dalam posisi bahaya ini, masih ada sekitar 10 hingga 20 bank lagi yang akan ditutup. Bank-bank ini sebenarnya aman di kelompok B. Tapi umumnya mereka gagal memenuhi saringan uji prospek usaha karena jaringannya terlalu sedikit. Dwi Setyo, Agus Hidayat, dan Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus