SEPERTI di mana-mana saja, pers merepotkan pemerintah. Kali ini
secara tidak langsung, Presiden AS Ronald Reagan menganggap pers
setempat turut mengompori pertikaian di antara para pembantunya.
Anggapan itu muncul sesudah berbagai organisasi pemberitaan
memuat pernyataan Menlu Alexander Haig. Awal November itu, Haig
menuduh bahwa scorang penasihat.senior Gedung Putih tengah
"melancarkan perang gerilya" dalam usaha mendiskreditkannya.
Pers Amerika segera menghubungkan tuduhan itu dengan Richard
Allen, Penasihat Keamanan Nasional. Allen dan Haig sudah sejak
lama diketahui berselisih dalam menentukan arah politik luar
negeri Washington.
Benarkah tuduhan itu ditujukan pada Allen? Ternyata bukan. Haig
tidak menganggapnya sebagai musuh. Tapi Allen menilai pernyataan
tersebut terasa "aneh". Secara berkelakar dia mengatakan, "Saya
bukanlah seorang gerilyawan Saya biasa bertempur di medan
terbuka."
Reagan, tentu saja, tidak suka baik medan terbuka ataupun
terselubung dipakai buat perang antar para
pembantunya--khususnya bila itu tersiar luar di media massa.
Sang presiden menyebut bahwa setiap pertikaian kecil sekalipun,
kalau sampai tersiar keluar, akan mengakibatkan sekutu AS dalam
politik luar negeri turut risau. Karenanya pekan lalu, Reagan
menghimbau para wartawan agar mempertimbangkan juga segi
"patriotisme" jika menulis masalah luar negeri. Suatu himbauan
yang wajar tapi bisa salah: sebab pers pun bisa patriotik justru
dengan menyoroti kekisruhan di pemerintahan yang bisa
membahayakan proses pengambilan keputusan.
Reagan kemudian memanggil Allen dan Haig. Dia meminta keduanya
menutup persoalan masa lalu yang merisaukan tersebut. Tapi
mengingat temperamen Haig yang pemberang, sejumlah sumber
menduga ketenteraman itu tak akan lama.
Pertikaian tersebut diawali ketika David Gergen, Direktur
Komunikasi Gedung Putih, 31 Oktober yang lalu melihat cetak biru
artikel yan ditulis kolomnis terkenal tukang mengejutkan Jack
Anderson. Di situ, Haig disebut termasuk orang "yang
mengecewakan" presiden, dan "kakinya berada di atas kulit
pisang." Artinya: hampir terjerembab.
Haig sesudah membaca salinan kolom itu tentu saja marah. Atas
permintaan menlu itu pula, Presiden Reagan menelepon sang
kolomnis. Reagan menjelaskan bahwa ia tetap menyatakan
dukungannya akan kepemimpinan Haig. Anderson kemudian menulis
ulang kolomnya dan tak lupa, tentu, mengutip juga bantahan
Reagan. Tulisan itu diterbitkan 3 November silam.
Siapa sumber Anderson? Dia, katanya, mengetahui kekecewaan
presiden dari seorang politikus yang pernah diajak berbincang
Reagan. Tapi sejumlah wartawan yang berpangkalan di Gedung Putih
tak pernah mendengar usaha Reagan memecat Haig. Hanya saja,
mereka petah mendengar penasihat utama Gedung Putih--Edwin
Meese III maupun Richard Allen--mencela kelakuan Haig yang
disebut "tak menentu dan sulit dipahami".
Pengalaman Pahit Haig memang bukan anggota yang enak dalam kerja
sama satu tim. Dan dia lebih sering terdengar meletus-letus dari
kolega-koleganya. Di awal November ini, misalnya, pers Amerika
memberitakan pernyataan Haig di depanKongres. Dalam upaya
menangkal Uni Soviet menggulung Eropa Barat dalam perang
konvensional, katanya, NATO merencanakan menganut doktrin
menggunakan senjata nuklir Beberapa hari kemudian, di forum yang
sama Menteri Pertahanan Caspar Weinberger mengoreksi bahwa hal
itu merupakan "salah satu anjuran para perencana militer di
tahun enam puluhan".
Reagan, tentu saja, tak ingin melihat setiap perselisihan
seperti itu di media massa. Pers Amerika kemudian dimintanya
menahan diri Akankah pers Amerika menaatinya? Belum jelas. Pers
Amerika bukan cuma bangga akan kebebasannya, tapi juga punya
pengalaman pahit.
Di tahun 1961, mendiang Presiden John Kennedy, pernah berhasil
meminta wartawan setempat supaya tdak menyiarkan rencana
penyerbuan pasukan anti-Castro ke Kuba lewat Teluk Babi (Bay of
Pigs). Bahkan Chalmers Robert, wartawan The Washington Post
yang mengetahui rencina itu, hanya menulis bahwa sejumlah orang
Kuba anti-Castro tengah berusaha merebut kembali Kuba.
Tapi apa lacur invasi tersebut, gagal. Bagi para wartawan
Amerika, andaikata ketika itu pers setempat buka suara, AS
niscaya tak akan seceroboh itu. Dengan ---tutup mulut, kata
mereka, pers justru tidak "patriotik".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini