Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hilang dan kembalinya wibisono

Wibisono cokrosarjono, wakil pimpinan bank pacific medan, menghilang di alam gaib selama 52 hari. ia di temukan oleh haji umar di cilandak jakarta dan dikembalikan pada keluarganya.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG belakang rumah Haji Umar di kawasan Jakarta Selatan itu remang-remang. Sekitar 60 orang jamaah duduk bersimpuh. Di deretan terdepan, di samping sang ustadz, bersila Wibisono Tjokrosardjono. Ia mengenakan kopiah dan baju serba putih. Malam Jumat pekan lalu itu adalah upacara syukuran baginya. Pertengahan Agustus lalu, Wibisono menggegerkan Medan. Ia dikabarkan mnghilang tak tentu rimbanya. Sekitar pukul 11.30, 13 Agustus, ia tampak keluar setelah berurusan dengan kasir sebentar. Kata seorang pegawai Bank Pacific Medan, itu memang biasa. Wibisono adalah orang kedua di kantor itu dan pada jamjam demikian sering keluar. Anehnya, kali ini tidak memakai mobil, tapi jalan kaki. Lebih aneh lagi, kalau biasanya segera kembali, kali ini sampai pukul 15.00 belum balik. "Jangankan pimpinan, pegawai kecil pun kalau terlambat kembali ke kantor segera dipertanyakan," kata Sudirman di Bagian Personalia. Kecurigaan timbul setelah keesokan harinya Wibisono tak juga muncul. Kalangan keluarga pun panik. "Kalau bisa, saya mau kelenger waktu itu," cerita Nyonya Rini, istri Wibisono, setelah suaminya diketemukan. Ke manakah wakil pimpinan Bank Pacific Medan itu? "Saya mendapat telepon gelap yang minta uang Rp 5 juu, atau keselamatan anak saya terancam," cerita Wibisono kemudian. Setelah dilakukan tawar-menawar, katanya, akhirnya disepakati jumlah Rp 500.000. Dengan mengepitnya dalam kantung plastik di tangan kanan, Wibisono membawa uang itu ke tempat yang ditentukan. Mula-mula ditunjuk sebuah toko sport. Tapi lalu dialihkan ke belokan Jalan A. Yani dengan Jalan Rumangan. "Ketika saya sedang jalan di situ, riba-tiba dirangkul, dengan menempelkan dagunya antara pipi dan telinga saya, orang itu membisik: Pak Wibisono menepati janji," cerita Wibisono. "Saya tak bisa melihat mukanya, tapi ingat, orang itu pakai baju kembang-kembang biru, celana biru dan sepatu hitam." Wibisono menuruti telepon itu tanpa lapor polisi. "Pertama karena saya mengutamakan keselamatan keluarga. Kedua ada firasat tak enak. Pada malam sebelum itu, rumah saya seperti tertimpa hujan deras, padahal tak ada apaapa," katanya. Ia mengaku ada semacam kekuatan gaib yang tiba-tiba mempengaruhinya. "Orang asing itu kemudian memasukkan saya ke dalam sebuah mobil dan kesadaran saya hilang. Saya merasa ada ular besar melilit tubuh saya dari kaki sampai kepala. Saya meronta-ronta." Sampai di situ, cerita berubah ke alam lain. "Saya melihat jalan lurus sekali, kemudian bertemu dengan orang tinggi besar berjubah putih," lanjut Wibisono. Orang itu mengaku bernama Kiai Abdullah Juwair, dalam perasaannya, Wibisono lalu dibawa ke alam orang-orang mati. Di sana, lanjut Wibisono, ia dipertemukan dengan almarhum ayah, paman, mertua dan sanak saudaranya. Setelah itu: "Saya melihat rumah yang pakai trap tinggi sekali. Sangat terang, megah dan mewah. Mbah kiai tadi mengatakan, belum waktunya saya masuk ke situ. Itu adalah rumah para wali yang memegang kunci tanah Jawa." Dari kiai itu, Wibisono mendapatkan tongkat hitam berkepala merah-putih. Selain itu juga diajari mengucapkan sebuah ayat. Sambil berjongkok di depan "surga" itu, bertepatan dengan bunyi azan lima kali, Wibisono diminta menirukan ayat-ayat yang barusan dilafalkan kiai itu. "Pada saat itulah saya mendengar kata, urip, urip, urip kata Wibisono. Dan begitu ia membuka mata, Wibisono telah berada di Cilandak, Jakarta Selatan, 52 hari setelah peristiwa di belokan Jalan A. Yani, Medan. Apakah yang sebenarnya terjadi? "Sore itu saya dikejutkan oleh tiga ketukan halus di pintu," kata Haji Umar, pensiunan Oditur Militer berpangkat Kolonel. "Setelah saya lihat, ternyata ada orang kusut dan kelihatan sakit di luar. Orang itu seperti gagu dan hanya bisa bicara 'ook-ook-ook'. Tiba-tiba seperti ada kilat. Ya Allah . . . ternyata dia adalah Dik On, yang selama ini kami doakan," tutur Haji Umar kemudian. Wibisono, yang pada waktu lahir di beri nama Suwirjo, di kalangan keluarga nya dipanggil dengan nama On. "Saya peluk dia dan saya katakan, urip-urip-urip, hidup-hidup-hidup. Saya menangis karena terlalu senang, tapi dia pingsan sampai empat hari," ujar ustadz itu. Polisi, dokter dan pimpinan Bank Pacific pun segera didatangkan. Di saku Wibisono masih ditemukan uang Rp 410.000--hanya Rp 90.000 berkurang dari jumlah yang semula dibawanya. "Keadaannya cukup parah, tekanan darahnya turun sampai 85-60 dan tangannya menggenggam tiga butir kerikil yang disangkanya tongkat. Di lehernya terkalung tasbih. Saya terpental tiba-tiba ketika mau melepaskannya," cerita Haji Umar. "Rupanya tasbih itu diisi tenaga magis. Di ujung tasbih diikatkan sebuah kantung lain. Dalam kantung kecil itu kami dapatkan sebuah peniti, dua cincin, rambut, silang merah dari kertas dan sebuah foto Dik On yang dicopot dari SIM." Haji Umar, yang gemar memimpin sembahyangan itu, lalu mengeluarkan barang-barang yang diceritakannya. Pada foto Wibisono, tepat di bagian dahinya, nampak tulisan "lupo". Sedang di baliknya, "lupa diri". "Inilah yang membuat Dik On sama sekali tak tahu apa yang terjadi atas dirinya," ujar Haji Umar menjelaskan. Haji yang juga sarjana hukum ini mengaku berkenalan dengan Wibisono sejak 1975. Mandi Suci Waktu itu Wibisono masih bekerja di Bank Pacific, Jakarta, yang dimasukinya sejak 1971 bersama Rini, yang kelak dinikahinya 1974. "Mas Wibisono mulai bekerja sebagai pegawai biasa. Setelah ditempatkan di berbagai macam bagian, mulai bagian Tabanas sampai ke Penagihan, ia dipindahkan ke Medan," cerita Rini yang kini mengasuh tiga orang anak. Haji Umar menilai Wibisono sebagai salah seorang jamaahnya yang jujur dan pendiam. "Demikian juga kakak-kakaknya yang membawa Dik On ke mari," kata Haji Umar. Wibisono, sarjana muda ekonomi lulusan UI, adalah anak bungsu dari 14 orang bersaudara. Sebagian besar kakaknya dan juga ibunya ikut memeriahkan sembahyang syukuran malam itu. Keesokan harinya, setelah genap 40 hari dirawat Haji Umar, Wibisono menjalani upacara "mandi-suci". "Selanjutnya saya serahkan kepada pihak keluarga," kata ustadz yang terkenal suka menolong orang yang mendapat musibah itu. Sebelumnya, Haji Umar juga telah merekam wawancaranya dengan Wibisono. Rekaman yang berisi pedalaman Wibisono di "alam gaib" itu lalu dipublikasikan seorang kemanakan Wibisono di sebuah koran mingguan di Jakarta. Haji Umar, mengaku secara manusiawi mendapat bimbingan Kiai Aceng, alias Kiai Haji Tohir, anak Kiai Falaq yang konon seorang ulama di Tanah Suci. "Tetapi saya lebih banyak berguru kepada mimpi-mimpi saya. Selama 17 tahun saya selalu mencatat dan merahasiakan wejangan-wejangan yang saya dapat dari mimpi-mimpi itu," kata ayah lima orang anak dan kakek dua orang cucu yang kini giat di lapangan penjualan obat-obatan itu. Biasa dipanggil Pak Darmin oeh para pengikutnya, tapi di pintu rumahnya tertulis nama Danusubroto, lahir di daerah Ponorogo, Jawa Timur (1923). Ia mengaku sebelumnya kurang taat beragama. "Tetapi pada suatu malam, 1964, saya bermimpi didatangi orang berubah. Orang ini kemudian memberi weJangan agar saya taat beragama Saya lalu menuruti dan sejak saat itu selalu bersembahyang sekhusuk-khusuknya setiap Mahgrib sampai Isya," ceritanya. Haji Umar menerima kedatangan orang yang minta tolong karena sakit atau musibah lain. "Kalau dikumpulkan sudah ada 1000 orang yang dipimpinnya. Tetapi setiap malam yang datang bersembahyang hanya 60 sampai 70 orang. Itu sudah diatur Tuhan, " kata seorang pengikutnya, yang mengaku Sarjana Ekonomi lulusan UI. Menurut pengikutnya, kelompok Haji Umar mementingkan kekhusukan sembahyang. "Kami bersembahyang wajib tiap malam. Kalau malam Jumat ditambah sunat tasbih dan zikir," kata mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus