RUANG belakang rumah Haji Umar di kawasan Jakarta Selatan itu
remang-remang. Sekitar 60 orang jamaah duduk bersimpuh. Di
deretan terdepan, di samping sang ustadz, bersila Wibisono
Tjokrosardjono. Ia mengenakan kopiah dan baju serba putih. Malam
Jumat pekan lalu itu adalah upacara syukuran baginya.
Pertengahan Agustus lalu, Wibisono menggegerkan Medan. Ia
dikabarkan mnghilang tak tentu rimbanya. Sekitar pukul 11.30,
13 Agustus, ia tampak keluar setelah berurusan dengan kasir
sebentar. Kata seorang pegawai Bank Pacific Medan, itu memang
biasa. Wibisono adalah orang kedua di kantor itu dan pada jamjam
demikian sering keluar. Anehnya, kali ini tidak memakai mobil,
tapi jalan kaki.
Lebih aneh lagi, kalau biasanya segera kembali, kali ini sampai
pukul 15.00 belum balik. "Jangankan pimpinan, pegawai kecil pun
kalau terlambat kembali ke kantor segera dipertanyakan," kata
Sudirman di Bagian Personalia. Kecurigaan timbul setelah
keesokan harinya Wibisono tak juga muncul. Kalangan keluarga pun
panik. "Kalau bisa, saya mau kelenger waktu itu," cerita Nyonya
Rini, istri Wibisono, setelah suaminya diketemukan. Ke manakah
wakil pimpinan Bank Pacific Medan itu?
"Saya mendapat telepon gelap yang minta uang Rp 5 juu, atau
keselamatan anak saya terancam," cerita Wibisono kemudian.
Setelah dilakukan tawar-menawar, katanya, akhirnya disepakati
jumlah Rp 500.000. Dengan mengepitnya dalam kantung plastik di
tangan kanan, Wibisono membawa uang itu ke tempat yang
ditentukan. Mula-mula ditunjuk sebuah toko sport. Tapi lalu
dialihkan ke belokan Jalan A. Yani dengan Jalan Rumangan.
"Ketika saya sedang jalan di situ, riba-tiba dirangkul, dengan
menempelkan dagunya antara pipi dan telinga saya, orang itu
membisik: Pak Wibisono menepati janji," cerita Wibisono. "Saya
tak bisa melihat mukanya, tapi ingat, orang itu pakai baju
kembang-kembang biru, celana biru dan sepatu hitam."
Wibisono menuruti telepon itu tanpa lapor polisi. "Pertama
karena saya mengutamakan keselamatan keluarga. Kedua ada firasat
tak enak. Pada malam sebelum itu, rumah saya seperti tertimpa
hujan deras, padahal tak ada apaapa," katanya. Ia mengaku ada
semacam kekuatan gaib yang tiba-tiba mempengaruhinya. "Orang
asing itu kemudian memasukkan saya ke dalam sebuah mobil dan
kesadaran saya hilang. Saya merasa ada ular besar melilit tubuh
saya dari kaki sampai kepala. Saya meronta-ronta."
Sampai di situ, cerita berubah ke alam lain. "Saya melihat jalan
lurus sekali, kemudian bertemu dengan orang tinggi besar
berjubah putih," lanjut Wibisono. Orang itu mengaku bernama Kiai
Abdullah Juwair, dalam perasaannya, Wibisono lalu dibawa ke alam
orang-orang mati. Di sana, lanjut Wibisono, ia dipertemukan
dengan almarhum ayah, paman, mertua dan sanak saudaranya.
Setelah itu: "Saya melihat rumah yang pakai trap tinggi sekali.
Sangat terang, megah dan mewah. Mbah kiai tadi mengatakan, belum
waktunya saya masuk ke situ. Itu adalah rumah para wali yang
memegang kunci tanah Jawa."
Dari kiai itu, Wibisono mendapatkan tongkat hitam berkepala
merah-putih. Selain itu juga diajari mengucapkan sebuah ayat.
Sambil berjongkok di depan "surga" itu, bertepatan dengan bunyi
azan lima kali, Wibisono diminta menirukan ayat-ayat yang
barusan dilafalkan kiai itu. "Pada saat itulah saya mendengar
kata, urip, urip, urip kata Wibisono. Dan begitu ia membuka
mata, Wibisono telah berada di Cilandak, Jakarta Selatan, 52
hari setelah peristiwa di belokan Jalan A. Yani, Medan.
Apakah yang sebenarnya terjadi? "Sore itu saya dikejutkan oleh
tiga ketukan halus di pintu," kata Haji Umar, pensiunan Oditur
Militer berpangkat Kolonel. "Setelah saya lihat, ternyata ada
orang kusut dan kelihatan sakit di luar. Orang itu seperti gagu
dan hanya bisa bicara 'ook-ook-ook'. Tiba-tiba seperti ada
kilat. Ya Allah . . . ternyata dia adalah Dik On, yang selama
ini kami doakan," tutur Haji Umar kemudian.
Wibisono, yang pada waktu lahir di beri nama Suwirjo, di
kalangan keluarga nya dipanggil dengan nama On. "Saya peluk dia
dan saya katakan, urip-urip-urip, hidup-hidup-hidup. Saya
menangis karena terlalu senang, tapi dia pingsan sampai empat
hari," ujar ustadz itu.
Polisi, dokter dan pimpinan Bank Pacific pun segera didatangkan.
Di saku Wibisono masih ditemukan uang Rp 410.000--hanya Rp
90.000 berkurang dari jumlah yang semula dibawanya. "Keadaannya
cukup parah, tekanan darahnya turun sampai 85-60 dan tangannya
menggenggam tiga butir kerikil yang disangkanya tongkat. Di
lehernya terkalung tasbih. Saya terpental tiba-tiba ketika mau
melepaskannya," cerita Haji Umar. "Rupanya tasbih itu diisi
tenaga magis. Di ujung tasbih diikatkan sebuah kantung lain.
Dalam kantung kecil itu kami dapatkan sebuah peniti, dua cincin,
rambut, silang merah dari kertas dan sebuah foto Dik On yang
dicopot dari SIM."
Haji Umar, yang gemar memimpin sembahyangan itu, lalu
mengeluarkan barang-barang yang diceritakannya. Pada foto
Wibisono, tepat di bagian dahinya, nampak tulisan "lupo". Sedang
di baliknya, "lupa diri". "Inilah yang membuat Dik On sama
sekali tak tahu apa yang terjadi atas dirinya," ujar Haji Umar
menjelaskan. Haji yang juga sarjana hukum ini mengaku berkenalan
dengan Wibisono sejak 1975.
Mandi Suci
Waktu itu Wibisono masih bekerja di Bank Pacific, Jakarta, yang
dimasukinya sejak 1971 bersama Rini, yang kelak dinikahinya
1974. "Mas Wibisono mulai bekerja sebagai pegawai biasa. Setelah
ditempatkan di berbagai macam bagian, mulai bagian Tabanas
sampai ke Penagihan, ia dipindahkan ke Medan," cerita Rini yang
kini mengasuh tiga orang anak.
Haji Umar menilai Wibisono sebagai salah seorang jamaahnya yang
jujur dan pendiam. "Demikian juga kakak-kakaknya yang membawa
Dik On ke mari," kata Haji Umar. Wibisono, sarjana muda ekonomi
lulusan UI, adalah anak bungsu dari 14 orang bersaudara.
Sebagian besar kakaknya dan juga ibunya ikut memeriahkan
sembahyang syukuran malam itu.
Keesokan harinya, setelah genap 40 hari dirawat Haji Umar,
Wibisono menjalani upacara "mandi-suci". "Selanjutnya saya
serahkan kepada pihak keluarga," kata ustadz yang terkenal suka
menolong orang yang mendapat musibah itu. Sebelumnya, Haji Umar
juga telah merekam wawancaranya dengan Wibisono. Rekaman yang
berisi pedalaman Wibisono di "alam gaib" itu lalu
dipublikasikan seorang kemanakan Wibisono di sebuah koran
mingguan di Jakarta.
Haji Umar, mengaku secara manusiawi mendapat bimbingan Kiai
Aceng, alias Kiai Haji Tohir, anak Kiai Falaq yang konon seorang
ulama di Tanah Suci. "Tetapi saya lebih banyak berguru kepada
mimpi-mimpi saya. Selama 17 tahun saya selalu mencatat dan
merahasiakan wejangan-wejangan yang saya dapat dari mimpi-mimpi
itu," kata ayah lima orang anak dan kakek dua orang cucu yang
kini giat di lapangan penjualan obat-obatan itu.
Biasa dipanggil Pak Darmin oeh para pengikutnya, tapi di pintu
rumahnya tertulis nama Danusubroto, lahir di daerah Ponorogo,
Jawa Timur (1923). Ia mengaku sebelumnya kurang taat beragama.
"Tetapi pada suatu malam, 1964, saya bermimpi didatangi orang
berubah. Orang ini kemudian memberi weJangan agar saya taat
beragama Saya lalu menuruti dan sejak saat itu selalu
bersembahyang sekhusuk-khusuknya setiap Mahgrib sampai Isya,"
ceritanya.
Haji Umar menerima kedatangan orang yang minta tolong karena
sakit atau musibah lain. "Kalau dikumpulkan sudah ada 1000 orang
yang dipimpinnya. Tetapi setiap malam yang datang bersembahyang
hanya 60 sampai 70 orang. Itu sudah diatur Tuhan, " kata seorang
pengikutnya, yang mengaku Sarjana Ekonomi lulusan UI. Menurut
pengikutnya, kelompok Haji Umar mementingkan kekhusukan
sembahyang. "Kami bersembahyang wajib tiap malam. Kalau malam
Jumat ditambah sunat tasbih dan zikir," kata mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini