MUNGKIN jenazah Bung Tomo akan bisa dibawa pulang ke tanah air.
Tapi mungkin juga tidak.
Sampai laporan ini diturunkan, Irjen Departemen Luar Negeri,
Sarwo Edhie, sedang berada di Jeddah untuk sekaligus mengurus
pengembalian jenazah yang sudah dimakamkan itu. Menlu Mochtar
Kusumaatmadja, dalam acara dengar pendapat dengan DPR 11
November, sempat pula menyatakan tidak ada kesulitan dengan
Kedubes Arab Saudi di sini. Malah diketahui bahwa duta besar
sendiri, Bakr Khumais, sebagai jawaban telah menulis surat
kepada Deparlu kita pada 16 Oktober.
Isinya: saran agar KBRI di Jeddah mengirim surat kepada Deplu
Arab Saudi untuk keperluan pemindahan itu-dengan syarat letak
makam Bung Tomo benar-benar diketahui. Surat itu pun, seperti
juga dituturkan Bambang Sulistomo, putra almarhum, sudah ditulis
oleh Kuasa Usaha hanya dua hari kemudian. Sedang makam sang ayah
sudah pula diketahui. Bambang sendiri sudah ke sana.
Dari pihak Departemen Agama, sudah di pertengahan Oktober Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji, Burhani Tjokrohandoko, berangkat ke
Jeddah untuk membawa pesan Menteri Agama kepada Menteri Wakaf
dan Urusan Haji Saudi, Syeikh Abdul Wahab AbdulWasi'. Isinya,
hampir sama dengan yang dinyatakan dalam surat Kuasa Usaha RI,
menerangkan arti Bung Tomo bagi rakyat Indonesia -- agar niat
pemindahan itu bisa lebih dipahami. Sedang WHO Jakarta,
organisasi kesehatan PBB, juga menyatakan siap membantu
pemindahan itu.
Kaus Pertama
Tetapi Bambang Sulistomo pulang ke Jakarta --13 November,
setelah berada di Saudi tiga minggu--tanpa berhasil memboyong
jenazah ayah. Kecewa, tentu saja. Keterangan terakhir
pemerintah Saudi -- kepada Kedubes RI di Jeddah, seperti
dituturkan seorang pejabat Deparlu kita kepada TEMPO hanyalah
bahwa masalah pemindahan itu "sedang diproses Depkes Arab
Saudi". Hanya persoalannya, menurut perkiraan orang di Deparlu,
adalah "izin dari pihak keluarga jenazah yang bersama-sama
dimakamkan dengan almarhum."
Betapapun, bila usaha pemindahan berhasil, ini akan menjadi
kasus pertama di sana. Orang Saudi sebenarnya merasa
aneh--seperti dicerminkan oleh Syekh Ibrahim Yusuf Khan, Atase
Keagamaan Kedubes Saudi di Jakarta. Pejabat itu tak habis heran.
Katanya, kepada TEMPO: "Alasan apakah sebenarnya, yang membuat
saudaraaudara kita di sini ingin memindahkan jenazah yang sudah
tenang dalam dekapan Tanah Suci?"
Bahkan pemindahan jenazah (yang untuk kasus Bung Tomo diketahui
mula-mula keluar sebagai anjuran dari Ktut Tantri, wanita
Amerika pengagum Bung Tomo yang pernah menulis Revolt tn
paradtse) menurut Syekh Ibrahim "bertentangan dengan sikap
pemuliaan mayat." Ini memang menyangkut agama.
Tetapi keluarga Bung Tomo sejak pertama telah minta fatwa
Majelis Ulama Indonesia--atas anjuran Ny. Sulistina sendiri,
janda almarhum, dari Mekah. Dan Komisi Fatwa MUI pun membahas,
lalu memberi nasihat. Intinya: lebih baik dimakamkan di sana.
"Sebab lazimnya jamaah haji yang wafat di situ dimakamkan di situ
pula." Lebih-lebih karena menurut penyimpulan 3 dari 4 mazhab
fiqh (minus Imam Malik), pemindahan itu haram --kecuali ada
alasan kuat. Apa?
Menurut ketiga imam itu: bila tanah tempat penguburannya
ternyata tanah ghashah --hasil rampasan. Atau, menurut kalangan
mazhab fiqh Syafi'i -yang dianut di Indonesia--bila jenazah
ternyata tidak dimandikan. Atau tanah maupun kain kafannya hasil
rampasan. Atau ada benda berharga yang terikut pada jenazah.
Atau jenazah dibaringkan tidak menghadap kiblat. Baru kuburan
boleh dibongkar.
Jenazah Firaun
Tetapi fatwa MUI juga mencantumkan kesimpulan Imam Malik yang
agak lain itu. Intinya: jenazah, sebelum atau sesudah
dikuburkan, boleh diboyong dengan syarat: pertama tidak
merusakkannya. Kedua tidak menghina atau mencemarkannya,
misalnya untuk tontonan. Malah dalam hal ini para ulama Al
Azhar, Kairo, pernah memfatwakan agar mummi Firaun "yang
dipamer-pamerkan itu" dimakamkan kembali. Sebab pada pandangan
para ulama yang lugu itu, pameran tersebut tidak menunjukkan
sikap menghormati jenasah sama-sama makhluk Allah.
Alasan Imam Malik yang ketiga ialah, pemindahan itu harus
didasarkan pada kemanfaatan. Misalnya: kondisi tanahnya dekat
dengar laut, jadi mungkin gampang longsor. Atau tempat
pemakaman itu akan dipakai jenazah lain atau untuk keperluan
mendesak yang lain. Jenazah ayah Buya Hamka, misalnya, dahulu
dipindahkan Buya dari pekuburan Karet karena alasan
itu--pemanfaatan tanah untuk keperluan lain. Yang simpatik,
menurut Imam Malik: jenazah juga boleh dipindahkan ke dekat
tempat kerabat untuk memudahkan mereka menziarahi.
Tak heran bilakeluarga Bung Tomo memilih pendapat imam ini.
Seperti diceritakan Bambang sendiri, kebiasan ziarah itu sudah
tradisi keluarganya. "Babe (panggilan akrab Bung Tomo di rumah)
setiap lebaran mengajak kami ziarah ke makam keluarga di
Surabaya." Cukup nelangsa bila kebiasaan itu tak bisa dikenakan
pada ayah mereka sendiri.
Toh menurut KHM Syukri Ghozali, Ketua Umum MUI, "justru sayang
sekali jika jenazah Bung Tomo dipindahkan." Sebab, ada disebut
dalam hadis Nabi, siapa yang mati di Mekah atau Madinah, dan
dikuburkan di sana, akan menjadi "tetangga Allah" dan "tetangga
Rasul". Sedang Arafah maupun Mina menurut Kiai Syukri termasuk
Mekah. "Apalagi almarhum wafat dalam keadaan ihram, dimakamkan
dalam pakaian ihram, dan akan dibangkitkan kelak dalam keadaan
sepetti itu," katanya.
Dan di situlah, menurut Komisi Fatwa MUI, Prof. KH Ibrahim Husen
LML, fatwa MUI itu sebenarnya masih bersifat umum -- tidak
menitikberatkan pada 'faktor Tanah Suci' itu tadi. Padahal
menurut Imam Syafi'i, misalnya, justru jenazah orang yang mati
di sebuah dusun di dekat Mekah, atau Madinah, atau Yerusalem
(Baitul Maqdis) disunnahkan untuk dipindahkan ke salah satu kota
tersebut. Sunnah artinya terpuji, alias berpahala. "Jadi
bagaimana orang yang sudah meninggal di Tanah Suci justru akan
dikeluarkan?"
Memang, pemerintah Saudi sendiri secara rutin membongkar
kubur--setelah jenazah bermukim di situ beberapa lama, maksimum
setahun -- setidak-tidaknya untuk pemakaman di Arafah. Bambang
sendiri, ataupun keluarga, tampaknya terganggu oleh kenyataan
itu. "Ke mana kemudian tulang-tulang seluruh jenazah dibawa?
Kita tidak tahu," kata Bambang.
Masjid Bung Tomo
Sebab kubur Bung Tomo, di Arafah, memang kubur sementara.
Diceritakan oleh Bambang sendiri: terletak di belakang rumah
sakit, luasnya hanya 25 x 25 meter, sedang jenazah dimakamkan
dalam kotak beton ukuran 1,20 x 2 meter--bersama dua atau tiga
jenazah lain. Kebetulan jenazah almarhum hanya berkawan dengan
dua jenazah, dan almarhum kebagian tempat di tengah. Penjaga
kubur sendiri yakin tempatnya--sebab pemakaman Bung Tomo dulu
memang khas: berangkat dari Perwakilan RI, diiringkan banyak
sekali jamaah, jadi gampang diingat.
Pemerintah Saudi sendiri melaksanakan pembongkaran setelah mayat
benarbenar tinggal tulang-belulang -- untuk menyediakan tempat
bagi jenazah lain-seperti dituturkan Syekh Ibrahim dari Kedubes
Saudi tadi. "Bumi ini untuk yang hidup," katanya. "Sedang yang
abadi dari kita adalah roh." Tulang-tulang itu memang tidak akan
dibuang --sebab perbuatan itu justru penghinaan--melainkan
ditanam kembali secara massal di tempat yang disediakan dalam
daerah Tanah Suci. Ziarah kubur memang tidak menjadi tradisi
dalam mazhab Wahabi itu. Sedang kubur raja Saudi sendiri,
Faisal, entah di mana.
Tapi itulah yang diidamkan sebagian besar muslimin: mati, dan
dimakamkan, di dekat Ka'bah atau makam Nabi (atau Yerusalem).
Kiai Bisyri Syansuri, almarhum, waktu itu Rois 'Am NU, dekat
sebelum wafat menyebut-nyebut Subchan Z.E. -- tokoh yang pernah
diskorsnya dari partai--yang "berbahagia dikabulkan Allah bisa
mati dan berkubur di Mekah " . Bukan main inginnya sang kiai
bisa seperti itu --toh tak kesampaian.
Jenazah Bung Tomo mungkin akan pulang, tapi mungkin juga tidak.
Tapi baik Kiai Syukri maupun Prof. Ibrahim Husen ada
berangan-angan, alangkah baiknya umpama uang untuk memindahkan
jenazah dipakai saja buat mendirikan 'Masjid Bung Tomo',
misalnya. Seperti dituturkan Bambang sendiri, ayahnya itu
berangkat -- bersama ibu dan kedua saudara perempuannya--dalam
keadaan segar bugar. Pahlawan rakyat itu seperti sudah
"dipilih".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini