Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

100 Hari Kabinet Prabowo: Dilema Program Transmigrasi

Awal pemerintahan Presiden Prabowo diwarnai penolakan program transmigrasi. Penduduk Papua khawatir transmigrasi justru akan meminggirkan mereka.

3 Februari 2025 | 10.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemukiman Transmigrasi. ANTARA/HO - Dinas KISP Provinsi Kaltara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dua setengah jam menerima dua wartawan Tempo, Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara memaparkan rencana kerjanya lima tahun mendatang pada Kamis, 30 Januari 2025. Di kantornya di kawasan Kalibata, Jakarta, yang masih satu kompleks dengan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah tertinggal itu, Iftitah mengklaim program transmigrasi di era pemerintahan Prabowo Subianto akan berbeda dengan Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transmigrasi menjadi salah satu isu yang sempat menjadi sorotan publik di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pada November lalu, aksi penolakan program transmigrasi marak di Papua. Warga khawatir program transmigrasi justru akan memicu perampasan tanah adat dan ulayat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak 1970, Soeharto telah mengawali transmigrasi dengan berfokus memindahkan penduduk dari Jawa yang sumpek ke luar Jawa. Indikator ketercapaian program ini bersandar pada perlambatan pertumbuhan penduduk pulau terpadat di bumi itu. Program ini dicirikan dengan keterlibatan TNI yang masif—bahkan transmigran diberangkatkan menaiki kapal Angkatan Laut.

Kendati Kementerian Transmigrasi dihidupkan kembali oleh Prabowo setelah 23 tahun mati suri, Iftitah tak tertarik dengan model semacam itu. Berusaha berbeda dengan transmigrasi ala mertua bosnya, Iftitah mengatakan program transmigrasinya akan berfokus pada pembangunan kawasan, yang ia sebut Kawasan Ekonomi Transmigrasi Terintegrasi. “Bagi saya, menempatkan orang itu perkara teknis,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 30 Januari lalu.

Warga sasaran program transmigrasi juga berubah. Transmigran sebelumnya umumnya berasal dari pekerja. Mereka akan dibekali kemampuan pertanian sebelum berangkat. Kini, Iftitah memproyeksikan transmigran merupakan orang-orang terdidik dan terlatih. Karena banyak pekerjaan di daerah tujuan di sektor pertanian, para transmigran akan diprioritaskan dari para lulusan pertanian.

Di wilayah transmigrasi, Iftitah membayangkan cita-cita raksasa. Selain permukiman dan pertanian, akan dibangun fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Dananya akan berasal dari investor baik dalam dan luar negeri. “Kami enggak bisa merengek ke negara,” ujarnya.

Paparan ini sedianya akan disampaikan politikus Partai Demokrat itu di hadapan Presiden dalam waktu dekat. Tapi ia mengaku belum bisa memastikan kapan waktunya. “Banyak yang mengantre,” ujarnya. Yang jelas, rencana kerjanya berlandaskan misi Prabowo agar pertumbuhan ekonomi tumbuh 8 persen.

Menopang Food Estate

Proyek transmigrasi era Prabowo juga akan menopang kawasan lumbung pangan atau food estate yang digarap Kementerian Pertanian. Iftitah telah menemui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di kantornya setidaknya dua kali. Dalam lawatan pertama, Senin, 16 Desember 2024, Amran mengatakan pendekatan kerja sama keduanya akan holistik. "Membangun kawasan sejalan dengan lumbung pangan yang kami bangun di daerah Merauke, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan,” ujarnya.

Dari kerja sama ini. Kementerian Transmigrasi akan menyuplai tenaga kerja di kawasan pertanian modern. Para petani akan berpendapatan minimal Rp 10 juta seperti dijanjikan kepada Brigade Pangan. Lahannya berasal dari program optimalisasi lahan dan cetak sawah dengan total luas 3 juta hektare. Para transmigran akan menanam padi, hortikultura, dan perkebunan.

Dalam lima tahun, Iftitah kala itu membidik 100 ribu pekerja akan ditempatkan di kawasan-kawasan food estate itu. Kerja sama itu akan dimulai pada Januari 2025 melalui pembentukan working group antara kedua kementerian.

Berikutnya pada Kamis, 9 Januari 2025, Amran dan Iftitah menandatangani kesepakatan strategis untuk pembangunan, pengembangan, dan pemberdayaan di kawasan transmigrasi secara terintegrasi. "Kami kerja sama membangun kluster, membangun episentrum ekonomi baru di desa yaitu kluster pertanian tradisional menuju pertanian modern,” ujar Amran.

Kementerian Pertanian akan menyiapkan lahan kluster pertanian modern, alat dan mesin pertanian (alsintan), benih, pupuk, hingga pendampingan serta peningkatan keterampilan. Jumlah alsintan menyesuaikan jumlah transmigran, dengan satu paket untuk satu kelompok senilai Rp 3 miliar, terdiri dari traktor roda 4, traktor roda 2, combine harvester, rice transplanter, pompa air.

Di Papua, juga di wilayah-wilayah lain, banyak kawasan transmigrasi yang beririsan dengan food estate, di antaranya Merauke di Papua dan Dadahup di Kalimantan Tengah. Di Dadahup, 33 ribu dari 71 ribu orang merupakan transmigran. “Transmigran akan jadi bagian dari tenaga kerjanya Kementerian Pertanian, tapi bukan satu-satunya,” ujar Iftitah di kantornya.

Iftitah mengatakan, arahan Prabowo kepada Iftitah termasuk membangun Papua. Tapi mengingat potensi konflik di wilayah ini, ia menerjemahkan perintah ini dengan skema yang ia sebut transmigrasi lokal. Transmigrasi, menurut dia, tak melulu berarti perpindahan penduduk secara sukarela. “Menurut undang-undang, tak mesti dari Jawa ke luar Jawa,” ujarnya.

Proyek transmigrasi untuk food estate akan meniru program Brigade Pangan yang telah dijalankan Kementerian Pertanian. Di setiap 200 hektare lahan, akan ada 15 orang transmigran yang akan bertani. Tapi Iftitah belum dapat memastikan skema ini. Ia mengatakan masih terus melakukan sinkronisasi dengan kementerian terkait.

Kendati begitu, Iftitah mengatakan food estate tak harus mendatangkan orang baru. Bisa juga pemerintah memaksimalkan penduduk yang telah bermukim di tempat itu. Ia mengklaim, rata-rata wilayah intensifikasi dan optimalisasi lahan sudah memiliki penduduk. Tugas pemerintah, tinggal memaksimalkan.

Dinilai Bermasalah di Lapangan

Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan program transmigrasi justru banyak menimbulkan masalah baru di daerah-daerah tujuan. Ia mencontohkan di Merauke, Keerom, Sorong, dan Nabire, negara memperluas kontrolnya melalui transmigrasi. Belakangan ternyata kawasan-kawasan itu bersalin rupa menjadi proyek-proyek pembalakan kayu dan perkebunan sawit.

Ihwal food estate, Franky mengatakan, tak semua warga menerima proyek kolosal itu. Pasalnya, banyak warga lokal tak bertani, tapi berburu atau berkebun skala kecil. Ia mencontohkan, di Kaliki  lahan-lahan terlantar karena hanya digarap saat awal pelaksanaan program. Selebihnya disewakan kepada petani  Jawa dari kampung sekitar. “Mereka sendiri kembali berkebun dengan lahan skala kecil dan juga meramu,” tuturnya.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sependapat dengan Franky. Ia mengungkap, di wilayah-wilayah transmigrasi yang sudah mapan, pemerintah justru menerbitkan izin baru bagi perusahaan. Hal ini, menurut dia, banyak terjadi di Sumatra dan Sulawesi.

Ketika wilayah transmigrasi sudah mapan, Uli mengatakan, mereka akan dihadapkan dengan proyek-proyek pengembangan atau pembangunan baru yang mengancam mereka. “Transmigrasi ini cara kerjanya kolonial,” ujarnya.

Uli menambahkan, transmigrasi akan memunculkan gegar budaya antara pendatang dan warga lokal. Di beberapa kasus, konflik ini tak teratasi sehingga berujung ketegangan sosial. Konflik ini berpotensi meningkat karena perbedaan ekonomi dan privilese transmigran.

Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, juga menolak program transmigrasi untuk food estate karena akan mengurangi kesempatan warga lokal. Food estate sendiri, menurut dia, berjalan dengan pendekatan industrialisasi.

Tanpa keterlibatan warga lokal, proyek food estate berpotensi makin tak berkelanjutan dan rawan gagal. “Saya kira memadukan proyek food estate dengan transmigrasi adalah tindakan berbahaya,” tuturnya.

Iftitah mengaku telah menerima laporan-laporan terdahulu ihwal lahan-lahan transmigran yang diserobot menjadi hak guna usaha (HGU) perusahaan. Ia kini telah meneliti alasan lahan-lahan itu ditinggal dan diambil alih perusahaan. Dalam waktu dekat, kementeriannya akan meluncurkan Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Konflik Lahan Transmigrasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus