Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

3 Alasan Warga Pulau Rempang Tolak PSN yang Dikembangkan Tommy Winata

Alasan warga Pulau Rempang tolak PSN Rempang Eco-City karena tidak dilibatkan pemerintah dan demi menjaga kampung halaman

8 September 2023 | 20.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga bentrok dengan aparat gabungan dari beragam kesatuan dengan mengendarai 60 armada kendaraan saat berupaya masuk ke Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Riau. Twitter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Situasi mencekam tengah menyelimuti Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau atau Kepri pada Kamis, 7 September 2023. Bentrokan terjadi antara masyarakat adat dengan aparat gabungan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), serta BP Batam yang memasuki paksa kawasan untuk memasang patok tata batas lahan Rempang Eco-City.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum peristiwa bentrok berlangsung, masyarakat adat sudah berkumpul di titik masuk Pulau Rempang, tepatnya di Jembatan 4 Barelang untuk mencegah aparat masuk. Akan tetapi, para aparat justru menangkap warga yang mencoba menghalangi. Dari bentrokan tersebut, sekitar 6 orang ditangkap, puluhan orang luka-luka, sejumlah anak mengalami trauma, dan satu anak menderita luka akibat gas air mata yang ditembakkan aparat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti diketahui, Rempang Eco-City merupakan bagian program pengembangan kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Permenko Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar PSN. 

Lantas, mengapa masyarakat Pulau Rempang menolak Rempang Eco-City? 

1.   Masyarakat adat tak dilibatkan

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa pembangunan Kawasan Rempang Eco-City tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Pemerintah dinilai abai terhadap suara warga adat 16 Kampung Melayu Tua. 

Hal itu, menurut dia, membuat masyarakat menolak tegas agenda PSN. Dia pun menuding BP Batam, Kemenko Bidang Perekonomian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyusun strategi program tanpa persetujuan warga setempat. 

“Atas dasar itu, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah Walhi meminta presiden bersikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah dan identitas masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” kata Zenzi. 

Selanjutnya: Warga Pulau Rempang berusaha mempertahankan hak dasar untuk hidup

2.   Demi mempertahankan kampung halaman

Koalisi Masyarakat Sipil pun berharap pimpinan BP Batam, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kepulauan Riau, Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Barelang, Komandan Pangkalan TNI AL Batam bertanggung jawab atas peristiwa berdarah tersebut. Mereka menganggap kejadian itu bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, di mana negara wajib melindungi segenap warga negara Indonesia (WNI), memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Salah satu tokoh Riau yang tergabung dalam koalisi, Agus, menyebutkan bahwa warga Pulau Rempang berusaha mempertahankan hak dasar untuk hidup dan hak untuk menjaga kampung halaman nenek moyang mereka. Sementara aparat, kata dia, hanya bertindak untuk membela investasi yang bakal menggusur masyarakat lokal. 

“Tindakan aparat kepolisian, BP Batam, dan TNI yang memaksa masuk adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) secara nyata. Oleh sebab itu, presiden harus memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam,” ucap Agus. 

Selanjutnya: Masyarakat adat tolak relokasi

3.   Tolak penggusuran dan relokasi

Ribuan masyarakat adat di Batam sebelumnya menggelar unjuk rasa di depan Kantor BP Batam pada Rabu, 23 Agustus 2023 lalu. Dalam demo itu, mereka menolak relokasi 16 kampung adat di Pulau Rempang. Mereka menyebut, tidak menolak proyek pembangunan Rempang Eco-City, tetapi tidak ingin dipindahkan atau keluar dari kampung halaman mereka. 

Pembangunan rencananya dikerjakan PT Megah Elok Graha, anak perusahaan milik Tomy Winata. Proyek yang bakal dibangun di lahan pulau seluas 17 ribu hektare itu ditargetkan mampu menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080. 

BP Batam sebelumnya menyatakan telah menyiapkan lahan seluas 199 hektare di Pulau Galang untuk relokasi warga. “Bila masyarakat Pulau Rempang bersedia direlokasi, kami sudah siapkan kavling seluas 200 meter persegi dengan 3.000 unit rumah tipe 45, kemudian kami juga sediakan fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum), serta area kantor pemerintahan,” kata Kepala BP Batam Muhammad Rudi saat melaporkan progres pembangunan Rempang Eco-City ke Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023. 

MELYNDA DWI PUSPITA | TIM TEMPO

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus