Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Aba-Aba dari Tuan Penyantun

Para penyantun Indonesia khawatir, pelaksanaan otonomi daerah yang terlalu dini akan mengancam makroekonomi Indonesia. Benarkah?

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OTONOMI digugat. Mimpi yang sudah telanjur menjadi mantra suci untuk mempertahankan negara kesatuan itu tiba-tiba saja dipersoalkan. Bukan oleh orang-orang pusat (yang kekuasaan dan kekuatan uangnya akan merosot karena otonomi), tapi oleh lembaga-lembaga keuangan yang selama ini membantu Indonesia (secara teknis ataupun finansial) dalam mengatasi krisis.Tanpa aba-aba sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia tiba-tiba mengkhawatirkan pelaksanaan otonomi yang terlalu dini. Jika otonomi jadi digelar sesuai dengan jadwal, awal tahun depan, makroekonomi Indonesia akan terguncang. “Pemerintah pusat akan selalu mengalami defisit,” kata Bert Hofman, ekonom Bank Dunia, dalam sebuah seminar di Jakarta, dua pekan lalu.

Menurut Hofman, ancaman defisit ini terjadi karena selama ini otonomi hanya diartikan sebagai desentralisasi pendapatan, bukannya pembagian beban tanggung jawab keuangan sekaligus. Dengan sistem otonomi yang dipahami saat ini, sumber pendapatan pemerintah pusat akan merosot, tapi sebaliknya beban finansialnya tidak berkurang. Pemerintah pusat yang kehilangan pendapatan akan menanggung sendirian pos-pos cicilan utang luar negeri ataupun domestik.

Ini bukan berarti Bank Dunia menentang otonomi daerah. “Cuma, jangan terlalu cepat, jangan tahun depan,” kata Hofman. Ia menyarankan agar otonomi diterapkan bertahap. Pada tahap awal, pemerintah membentuk Dewan Penasihat Otonomi Regional yang menampung aspirasi daerah tentang bentuk otonomi yang diinginkan. Menurut Hofman, Indonesia membutuhkan waktu paling tidak tiga tahun untuk menerapkan otonomi dengan mulus.

Selain ancaman ketimpangan pendapatan dan pengeluaran pemerintah pusat, Hofman juga mengingatkan otonomi akan mengancam kehidupan di 10 provinsi miskin seperti Bengkulu, Jambi, Nusatenggara Barat, dan Yogyakarta. Dengan otonomi, mereka hanya hidup dari pembagian 25 persen pendapatan pusat. Padahal, selama ini ketergantungan mereka pada pemerintah pusat sangat tinggi.

Daerah Mendapat Apa?
Jenis PungutanPersentase
Pajak Bumi dan Bangunan
Hak Atas Tanah & Bangunan
Pertambangan Minyak
Gas Alam
Reboisasi
Sumber Daya Alam Hutan
Perikanan
90%
80%
15%
30%
40%
80%
80%
Penasihat IMF Urusan Fiskal, Ehtisham Ahmed, juga punya pendapat senada. Ia bahkan merujuk pada keguncangan ekonomi makro di Rusia, Brasil, dan Kolombia sebagai salah satu mata bahaya otonomi yang terlampau dini. Di Brasil, misalnya, begitu otonomi dicanangkan, provinsi berlomba-lomba mengeruk uang baik melalui pajak maupun utang. Pemda jadi begitu boros, tanpa perencanaan matang. “Keguncangan serupa bukan mustahil terjadi pula di sini,” kata Ahmed.

Tapi benarkah demikian?

Sekretaris Dewan Ekonom Nasional, Sri Mulyani Indrawati, sependapat dengan peringatan itu. Otonomi daerah, baginya, tak bisa dilakukan segera. Menurut ekonom UI ini, stabilitas makroekonomi dan kemampuan pelayanan pemerintah pusat akan berada pada risiko yang tinggi jika otonomi digelar terlampau cepat.

Tapi, bagi ekonom Adrian Panggabean, kekhawatiran seperti itu terlampau berlebihan. “Omong kosong,” katanya. Bersama Staf Ahli Menteri Negara Otonomi Daerah, Andi Mallarangeng, ia justru mengingatkan ancaman bahaya jika otonomi ditunda. “Daerah pasti bergolak,” kata Andi. Kalaupun daerah-daerah panas seperti Aceh, Riau, dan Irian diberi perlakuan khusus seperti yang diusulkan Gus Dur, daerah lain pasti tak terima.

Karena itu, bagi Adrian, pelaksanaan otonomi daerah tak bisa ditunda sedetik juga. Menjawab keraguan Hofman dan Ahmed, Adrian yakin, keseimbangan pusat dan daerah akan tercapai dengan sendirinya meskipun makan waktu. Dia memberi contoh Inggris, yang butuh 10 tahun sebelum mencapai keseimbangan antara pusat dan daerah.

Adrian menilai kekhawatiran IMF dan Bank Dunia terhadap otonomi justru memperjelas wajah asli mereka. Dengan gugatan ini, lembaga keuangan yang sering kita sapa dengan punggung terbungkuk itu tengah membuka topengnya sendiri. Lembaga “donor” yang uangnya dengan santun kita sebut sebagai “bantuan” itu agaknya sedang menampakkan sikapnya yang tulen: mereka tak ubahnya para pemberi pinjaman yang lain, tukang kredit yang takut uangnya tak kembali.

Harus diakui, otonomi akan mengancam kemakmuran kas pusat. Menurut perhitungan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Emil Salim, dengan otonomi, 40 persen penerimaan negara akan disedot daerah. Ini pukulan dahsyat bagi pusat mengingat selama ini jatah daerah rata-rata cuma 17 persen.

Dengan penyusutan sebesar itu, kemampuan keuangan negara jelas jauh berkurang. Sebaliknya, pos cicilan utang justru makin membengkak. Tiga tahun lalu, cicilan utang tak sampai 17 persen total pendapatan negara. Tahun ini rasio itu berlipat menjadi 43 persen. Bisa dibayangkan ceritanya jika pendapatan pusat tersedot ke daerah, sedangkan kewajibannya makin berat.

Patut dicatat, setahun terakhir tambahan beban utang pemerintah makin besar. Gara-gara program rekapitalisasi perbankan, pemerintah harus menerbitkan obligasi senilai Rp 600 triliun. Jika dihitung beban bunganya 10 persen saja, surat utang itu membutuhkan biaya bunga Rp 60 triliun setahun. Dengan beban baru ini, kata Adrian, “Bisa-bisa utang luar negeri kita tak terbayar.”

Pendapatan 10 Provinsi Terkaya Setelah Otonomi
ProvinsiPendapatan (2001)
Jawa Barat
Jawa Timur
Riau
Jawa Tengah
Kalimantan Timur
Irianjaya
DKI Jakarta
Sumatra Utara
Sumatra Selatan
Aceh
Rp 5,2 triliun
Rp 4,3 triliun
Rp 3,7 triliun
Rp 3,7 triliun
Rp 2,8 triliun
Rp 2,8 triliun
Rp 2,4 triliun
Rp 2,2 triliun
Rp 1,9 triliun
Rp 1,7 triliun
Justru karena itulah, agaknya, IMF dan Bank Dunia kini mengkhawatirkan otonomi daerah. Tapi, Adrian mengingatkan bahwa otonomi daerah merupakan keputusan politik. “IMF tak perlu ikut campur karena mereka tak punya mandat untuk mengurusi politik.”Menurut pengakuan Adrian dan Andi, dua tokoh muda yang ikut menyusun rancangan otonomi daerah, sudah lama IMF dan Bank Dunia mau ikut campur soal yang bukan urusannya ini. Kedua lembaga itu bahkan pernah mengubah Rancangan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah yang akan diserahkan ke DPR. “Tiba-tiba saja angka-angka pembagian pendapatan lenyap,” kata Andi. Usut punya usut, ternyata IMF keberatan terhadap besarnya jatah daerah. IMF lalu menekan Menteri Keuangan agar menghapuskan usulan alokasi yang menurut mereka timpang tersebut.

Untunglah, sebagian anggota DPR tahu usulan itu sudah dibajak di tengah jalan. Mereka ogah menerima rancangan undang-undang yang sudah dikutak-katik itu. “Bagi kita, penghilangan ini aneh,” kata Andi. Akhirnya, yang disahkan oleh DPR memang undang-undang yang lengkap dengan mencantumkan angka-angka persentase pembagian keuangan antara pusat dan daerah.Persoalannya sekarang: apakah kekhawatiran IMF dan Bank Dunia itu perlu ditanggapi serius? Risiko dari beban utang pemerintah pusat yang kini mencapai US$ 75,2 juta (utang luar negeri) dan Rp 600 triliun (utang domestik) memang tidak kecil. Tapi, untuk membagi sebagian dari beban itu ke daerah juga tidak gampang. Ketimpangan distribusi pembangunan dan tingginya tingkat kebocornya (korupsi) utang tentu saja membuat daerah keberatan kena getah dari nangka yang (mungkin) tidak ikut dirasakannya.Karena itu, pelaksanaan otonomi daerah agaknya masih menyisakan ruang gelap yang tak jelas kapan terangnya.

M. Taufiqurohman, I.G.G. Maha Adi, Lea Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus