Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hofman, ancaman defisit ini terjadi karena selama ini otonomi hanya diartikan sebagai desentralisasi pendapatan, bukannya pembagian beban tanggung jawab keuangan sekaligus. Dengan sistem otonomi yang dipahami saat ini, sumber pendapatan pemerintah pusat akan merosot, tapi sebaliknya beban finansialnya tidak berkurang. Pemerintah pusat yang kehilangan pendapatan akan menanggung sendirian pos-pos cicilan utang luar negeri ataupun domestik.
Ini bukan berarti Bank Dunia menentang otonomi daerah. “Cuma, jangan terlalu cepat, jangan tahun depan,” kata Hofman. Ia menyarankan agar otonomi diterapkan bertahap. Pada tahap awal, pemerintah membentuk Dewan Penasihat Otonomi Regional yang menampung aspirasi daerah tentang bentuk otonomi yang diinginkan. Menurut Hofman, Indonesia membutuhkan waktu paling tidak tiga tahun untuk menerapkan otonomi dengan mulus.
Selain ancaman ketimpangan pendapatan dan pengeluaran pemerintah pusat, Hofman juga mengingatkan otonomi akan mengancam kehidupan di 10 provinsi miskin seperti Bengkulu, Jambi, Nusatenggara Barat, dan Yogyakarta. Dengan otonomi, mereka hanya hidup dari pembagian 25 persen pendapatan pusat. Padahal, selama ini ketergantungan mereka pada pemerintah pusat sangat tinggi.
|
Tapi benarkah demikian?
Sekretaris Dewan Ekonom Nasional, Sri Mulyani Indrawati, sependapat dengan peringatan itu. Otonomi daerah, baginya, tak bisa dilakukan segera. Menurut ekonom UI ini, stabilitas makroekonomi dan kemampuan pelayanan pemerintah pusat akan berada pada risiko yang tinggi jika otonomi digelar terlampau cepat.
Tapi, bagi ekonom Adrian Panggabean, kekhawatiran seperti itu terlampau berlebihan. “Omong kosong,” katanya. Bersama Staf Ahli Menteri Negara Otonomi Daerah, Andi Mallarangeng, ia justru mengingatkan ancaman bahaya jika otonomi ditunda. “Daerah pasti bergolak,” kata Andi. Kalaupun daerah-daerah panas seperti Aceh, Riau, dan Irian diberi perlakuan khusus seperti yang diusulkan Gus Dur, daerah lain pasti tak terima.
Karena itu, bagi Adrian, pelaksanaan otonomi daerah tak bisa ditunda sedetik juga. Menjawab keraguan Hofman dan Ahmed, Adrian yakin, keseimbangan pusat dan daerah akan tercapai dengan sendirinya meskipun makan waktu. Dia memberi contoh Inggris, yang butuh 10 tahun sebelum mencapai keseimbangan antara pusat dan daerah.
Adrian menilai kekhawatiran IMF dan Bank Dunia terhadap otonomi justru memperjelas wajah asli mereka. Dengan gugatan ini, lembaga keuangan yang sering kita sapa dengan punggung terbungkuk itu tengah membuka topengnya sendiri. Lembaga “donor” yang uangnya dengan santun kita sebut sebagai “bantuan” itu agaknya sedang menampakkan sikapnya yang tulen: mereka tak ubahnya para pemberi pinjaman yang lain, tukang kredit yang takut uangnya tak kembali.
Harus diakui, otonomi akan mengancam kemakmuran kas pusat. Menurut perhitungan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Emil Salim, dengan otonomi, 40 persen penerimaan negara akan disedot daerah. Ini pukulan dahsyat bagi pusat mengingat selama ini jatah daerah rata-rata cuma 17 persen.
Dengan penyusutan sebesar itu, kemampuan keuangan negara jelas jauh berkurang. Sebaliknya, pos cicilan utang justru makin membengkak. Tiga tahun lalu, cicilan utang tak sampai 17 persen total pendapatan negara. Tahun ini rasio itu berlipat menjadi 43 persen. Bisa dibayangkan ceritanya jika pendapatan pusat tersedot ke daerah, sedangkan kewajibannya makin berat.
Patut dicatat, setahun terakhir tambahan beban utang pemerintah makin besar. Gara-gara program rekapitalisasi perbankan, pemerintah harus menerbitkan obligasi senilai Rp 600 triliun. Jika dihitung beban bunganya 10 persen saja, surat utang itu membutuhkan biaya bunga Rp 60 triliun setahun. Dengan beban baru ini, kata Adrian, “Bisa-bisa utang luar negeri kita tak terbayar.”
|
Untunglah, sebagian anggota DPR tahu usulan itu sudah dibajak di tengah jalan. Mereka ogah menerima rancangan undang-undang yang sudah dikutak-katik itu. “Bagi kita, penghilangan ini aneh,” kata Andi. Akhirnya, yang disahkan oleh DPR memang undang-undang yang lengkap dengan mencantumkan angka-angka persentase pembagian keuangan antara pusat dan daerah.Persoalannya sekarang: apakah kekhawatiran IMF dan Bank Dunia itu perlu ditanggapi serius? Risiko dari beban utang pemerintah pusat yang kini mencapai US$ 75,2 juta (utang luar negeri) dan Rp 600 triliun (utang domestik) memang tidak kecil. Tapi, untuk membagi sebagian dari beban itu ke daerah juga tidak gampang. Ketimpangan distribusi pembangunan dan tingginya tingkat kebocornya (korupsi) utang tentu saja membuat daerah keberatan kena getah dari nangka yang (mungkin) tidak ikut dirasakannya.Karena itu, pelaksanaan otonomi daerah agaknya masih menyisakan ruang gelap yang tak jelas kapan terangnya.
M. Taufiqurohman, I.G.G. Maha Adi, Lea Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo