Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
20 Desember 1997: Presiden Soeharto memberhentikan dengan hormat empat direktur BI: Mansjurdin Nurdin, Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo. Soeharto tak lupa mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa mereka. Lalu Hendrobudiyanto, Heru, dan Paul menjadi tersangka korupsi. Hendrobudiyanto disangka telah menerima sogokan uang, rumah, dan mobil dari pemilik Perniagaan, Hindoro B. Halim, untuk pengucuran dana likuiditas ke Bank Perniagaan. Nah, BI tutup mata dengan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) oleh Bank Perniagaan dan penerbitan surat berharga (CP) senilai Rp 250 miliar. Alhasil, Hindoro berhasil menjebol banknya sendiri sebesar Rp 900 miliar, sementara aset Perniagaan hanya Rp 100 miliar. Ini pertama kali terbukti bahwa pejabat BI tidak kebal hukum.
24 dan 25 Desember 1997: Heru Supraptomo dan Paul Soetopo diperiksa Polda Metro Jaya atas sangkaan kasus korupsi. Dua hari kemudian giliran Hendrobudiyanto diperiksa. Selain kasus Bank Perniagaan, ketiga orang itu juga diperiksa berkaitan dengan Bank Alfa, Uppindo, Bank Citra, Bank Dwipa, dan Bank Artha Prima.
6 Oktober 1998: sudah sekitar 30 karyawan dan staf BI dimintai keterangan oleh Polda Metro Jaya berkaitan dengan proses penyaluran BLBI. Berdasarkan keterangan para saksi itu, ketiga bekas direktur BI dipanggil kembali oleh kepolisian.
Desember 1999-awal Januari 2000: audit BPK atas BI bocor ke pers. Isinya, Rp 80,25 triliun BLBI tak ketahuan ke mana rimbanya. Pengamat ekonomi Faisal Basri menyarankan agar BI dibangkrutkan saja, karena BI yang harus membayar BLBI itu dan tak mungkin dilakukannya hanya dengan modal Rp 2,7 triliun yang ada sekarang. Ia menyarankan untuk menutup BI dan membuat undang-undang baru.
8 Maret 2000: Panitia Kerja BLBI DPR merekomendasikan untuk memanggil dan memeriksa beberapa deputi gubernur BI seperti Aulia Pohan, Iwan Prawiranata, Miranda Goeltom, dan lima deputi lain serta Gubernur BI. Mereka bersama 47 orang lainnya dicurigai mengetahui dan memperlancar pengucuran kasbon itu.
Setelah BI menerbitkan surat berharga pasar uang khusus (SBPUK) pada 27 Desember 1997, jumlah BLBI per 31 Desember 1997 mencapai Rp 47,7 triliun. Kemudian, jumlah BLBI menggelembung lagi menjadi Rp 119 triliun. Nah, setelah semua bank bobrok dialihkan ke BPPN, jumlah BLBI melejit menjadi Rp 164 triliun, termasuk BLBI untuk Exim sebesar Rp 20 triliun.
Ternyata, sampai saat ini belum ada satu pun usulan Panja BLBI DPR yang diperiksa Kejaksaan Agung. Bahkan, Aulia Pohan terpilih kembali sebagai salah satu deputi Gubernur BI, akhir Maret 2000, walaupun ditentang sebagian besar karyawan BI pusat.
IG.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo