AULIA Pohan terpilih, Aulia ditolak. Ini cerita yang tersisa dari pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia melalui voting di DPR, 23 Maret lalu. Demonstrasi karyawan bank sentral itu untuk menolak Aulia sepertinya belum akan berakhir. Dan seminggu terakhir ini, bank yang terletak di jantung Kota Jakarta itu nyaris tak pernah luput dari liputan media massa.
Aulia, 55 tahun, terpilih sebagai Deputi Gubernur BI urusan luar negeri, dengan mengalahkan Burhanudin Abdullah dan Cyrillus Harinowo. Namun, master bidang ekonomi pembangunan dari Universitas Boston, Amerika Serikat, itu diprotes lantaran dianggap bukan kandidat yang menampilkan tawaran program yang terbaik. Di DPR, Aulia malah banyak menyerang kandidat lainnya. Aulia dianggap pongah karena lebih menonjolkan diri sebagai pihak yang benar. Inilah pemicu kekesalan karyawan BI—yang datang ke DPR mengikuti kontes itu—terhadap Aulia. Karyawan sudah mengancam mogok kerja jika Aulia jadi dilantik. ''Pokoknya, kondisi karyawan BI sangat dipenuhi oleh amarah," kata seorang sumber.
Hanya karena itukah Aulia ditolak? Ternyata tidak. ''Aulia itu punya klik, orang-orang di dalam kliknya selalu mendapat privilege," kata seorang sumber. Keberadaan geng Aulia itu kentara sekali. ''Kita bisa melihatnya, tapi sulit untuk membuktikannya," kata sumber itu. Misalnya, setelah terpilihnya Aulia sebagai deputi, 15 orang ''geng Aulia" merayakan kemenangan Aulia dengan pergi ke Bali. Padahal, seharusnya acara di Bali itu merupakan acara resmi BI. ''Seharusnya mereka pulang Kamis pekan lalu, tapi karena ada ribut-ribut, Senin pekan lalu mereka sudah pulang," kata sumber.
Bukan soal geng itu saja. Karir Aulia yang melesat di ''pos-pos basah" kerap kali mengundang kecemburuan. Sejak 1971, ketika ia masuk BI, nasib baik selalu menghampirinya. Ia berkecimpung di pos yang selalu diperebutkan di sana, misalnya urusan pengawasan bank, hubungan luar negeri. Di sinilah, sebagai contoh, diputuskan urusan pengadaaan kertas uang oleh dua perusahan asing yang dikabarkan masuk ke BI berkat koneksi Bambang Trihatmodjo, anak bekas presiden Soeharto. Dan Aulia kebetulan ada di ''jaringan" ini.
Koneksi Aulia-Cendana makin kentara ketika Presiden Soeharto mengangkat Aulia sebagai salah satu pengganti empat direktur BI yang dipecat, pada 20 Desember 1997 (lihat: Kasus Hendro, Heru, dan Paul). Bahkan, Bank Dunia mencatat penempatan Aulia sebagai Direktur BI—dalam laporan tahunan 1999—sebagai penggantian yang berunsur nepotisme.
Sejak itulah Aulia Pohan selalu dikait-kaitkan dengan berbagai ''penyelewengan" yang melibatkan klan Cendana. Misalnya, dia dianggap terlibat dalam penyelewengan dana kasbon Bank Indonesia (bantuan likuiditas Bank Indonesia). Kasus lain yang menimpa Aulia adalah kasus penyimpangan dana penyertaan modal BI pada The Indonesia Overseas Bank (Bank Indover). Sebagai deputi bidang luar negeri, Aulia seharusnya tahu tentang penyertaan modal di Bank Indover, anak perusahaan BI di Amsterdam yang berlebih. Pihak BPK pernah mempertanyakan dana deposito valas Rp 7,93 triliun di Indover. BPK menilai, penempatan dana tersebut melampaui batas dan melanggar prinsip pengelolaan devisa BI seperti menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1999.
Aulia juga dikabarkan menerima sogok jutaan dolar Amerika dari PT Pura Barutama dalam tender penyediaan kertas uang untuk Peruri. Pura menang walaupun menyodorkan harga lebih mahal dibandingkan dengan dua perusahaan dari Inggris dan AS. Sialnya, Peruri menolak kertas pasokan Pura, akhir Februari lalu. Lalu, berembuslah tuduhan sogok itu. Tuduhan ini ditolak Direktur Pura, Edi Soesanto Soewandi, yang menganggap tuduhan suap oleh pihaknya ditiupkan oleh perusahaan asing yang kalah tender.
Aulia jelas belum tentu bersalah. Semua tuduhan kepadanya juga belum tentu benar. Sayang, Aulia memilih menutup mulut rapat-rapat kepada wartawan ketimbang menjelaskan duduk soal yang sebenarnya—sikap yang tentu merugikan dirinya. ''Dewan Gubernur BI dan semua pegawai BI sudah sepakat untuk menyelesaikan secara interen. Jadi, tidak etis kalau saya berkomentar," kata Aulia kepada Iwan Setiawan dari TEMPO.
Aulia hanya meneruskan sikap Gubernur BI, Syahril Sabirin, yang sayangnya jauh dari harapan untuk memperjelas kasus ini. Rabu pekan lalu, Sabirin mengeluarkan surat keputusan bahwa kasus Aulia hanyalah persoalan ''dalam" Bank Indonesia, dan belum jelas kapan kasus Aulia ini akan dibuat ''terang" oleh pimpinan bank sentral. Masuk peti es?
Yang jelas, seperti pernah dikatakan Deputi Bank Indonesia Anwar Nasution, Bank Indonesia adalah ''sarang penyamun"—yang kita belum tahu kapan akan mulai ''disapu bersih".
Bina Bektiati, IG.G. Maha Adi, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini