Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada lelang, ada kumar

Raj kumar singh, pengusaha yang gagal mendirikan industri susu kental manis beralih menekuni bisnis lelang barang sitaan. dengan keuletannya ia selalu menang. (eb)

22 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISNIS barang lelangan bukan mainmain. Raj Kumar Singh, pengusaha keturunan India itu, sudah hampir empat tahun terjun di bidang ini. Di setiap lelang barang sitaan, yang diselenggarakan berbagai instansi pemerintah, Kumar hampir bisa dikatakan selalu nongol - baik secara pribadi maupun diwakili anak buahnya. "Terjun ke lelang karena ada tantangan," katanya. Kumar rupanya mulai suka menekuni bisnis ini, sesudah usahanya mendirikan industri susu kental manis lewat PT Kebun Bunga hingga kini belum juga terwujud. Tantangan berat juga harus dihadapinya ketika upaya mengambil alih sebagian saham PT Indomilk masih mandek di pengadilan. Dari keuletannya terjun di bisnis barang lelangan, hingga November lalu, dia bisa memenangkan lelang barang sitaan dalam jumlah cukup besar di Telukbetung, Lampung: mengantungi laba Rp 50 juta sekali gebrak. Di situ dia menjadi pemenang karena berani mengajukan harga penawaran tertinggi: Rp 1.411 juta untuk ratusan lusin alat-alat olah raga, parfum, jam tangan, kertas, dan berbagai barang elektronik sitaan. Barang lelangan ini merupakan barang selundupan dari kapal Bonahope berbendera Singapura. Tiga lawannya di situ, yang rata-rata menawar Rp 100 juta - 200 juta di bawah harga yang dipasang Kumar, keok dibuatnya. Tapi Kumar tetap jengkel. Sejumlah barang elektronik, seperti cassette recorder, pemancar, dan video cassette recorder, ternyata harus diserahkan kepada negara. Jumlah dan nilainya cukup besar. "Seharusnya jenis barang yang tidak termasuk akan dilelang dicoret dulu, dong," ujar Kumar agak mendongkol. Kedongkolannya makin memuncak, karena katanya dia diminta pula membayar bea sewa gudang penyimpanan barang itu sebesar Rp 100 juta. Banyak duit tampaknya diperlukan untuk masuk ke bisnis ini. Untuk ikut dalam lelang barang sitaan di Telukbetung itu, misalnya, setiap peserta harus menempatkan uang Rp 500 juta di Bank Bumi Daya sebagai jaminan. Belum lagi pungutan bea lelang 9,7% dari harga barang, lalu ditambah uang miskin 4%. "Biaya tak terduga" pun juga suka muncul. "Pokoknya, untuk bisnis beginian perlu banyak duit, dan harus dilakukan oleh orang berduit," ujar Kumar. Tapi, hanya satu jam setelah penawarannya dimenangkan, 19 November itu juga, Kumar menjual lagi barang tadi kepada O. Wibowo dan Ali Suryanto, lawannya dalam lelang, dengan mengantungi laba, konon, sebesar Rp 50 juta. Amar Jit Singh, utusan Kumar dalam transaksi itu, tidak mau memberikan penjelasan mengapa transaksi semacam itu bisa terjadi. kumar sendiri hanya memberi alasan, penjualan kembali itu dilakukan karena pihaknya tidak bisa memenuhi keharusan membayar tunai kepada penyelenggara lelang, Kejaksaan Negeri Tanjungkarang. "Saat itu kami tidak bawa uang tunai, lagi pula bank sudah tutup," ujar Kumar. Anehnya, Ali Suryanto dan O. Wibowo, yang membeli barang lelangan tadi bersama sejumlah pengusaha dengan membentuk semacam konsorsium, tak banyak protes dan mengeluh. Keduanya seperti cukup maklum: Kumar atau utusannya akan selalu menang dalam setiap lelang. Ketika didesak mengenai kegagalan mereka dalam lelang di Tanjungkarang tersebut, keduanya cuma mengatakan, "Hanya membantu Amar Jit Singh." "Saya hanya mendapat kuasa untuk mengangkutnya ke Jakarta," ujar Suryanto. Jangan bingung, bisnis macam begini kabarnya memang perlu sedikit akal kancil. Jika nasib sedang mujur, uang bisa mengalir bagai air, karena laba sedikitnya 10% sudah bisa diharapkan. Kumar sendiri mengaku memperoleh pengalaman lelang secara tidak disengaja. Yaitu ketika sejumlah mesim untuk pabrik susunya, yang sudah lama ngendon di Tanjung Priok (1980), akan dilelang. Di situ dia memenangkan lelang barangnya sendiri. Sejak itu dia mengikuti hampir setiap lelang besar di Kantor Kejaksaan, Bea Cukai, dan Badan Urusan Piutang Negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus