Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Layar Kembali Terkembang

Pintu investasi asing di industri film nasional bakal dibuka. Lima ribu layar dalam lima tahun jadi cita-cita.

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU hijau mulai diberikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kepada Badan Ekonomi Kreatif dalam rapat pada Selasa siang tiga pekan lalu. Di sana, Deputi Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Azhar Lubis meminta Badan Ekonomi Kreatif mengusulkan porsi besaran investasi yang sesuai untuk pemodal asing. Ini terkait dengan rencana pemerintah mencabut sektor perfilman dari daftar negatif investasi tahun depan.

"Kami katakan 51 persen angka minimal yang ditawarkan agar investor tertarik," ujar Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Pesik menirukan jawabannya dalam rapat, kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.

Sehari setelah rapat, usul Ricky bersambut. Kepala BKPM Franky Sibarani mengumumkan secara tertulis bahwa lembaganya telah menerima usul tersebut dan membawanya ke pembahasan lebih lanjut. "Kami diskusikan bersama. Akan dilihat nanti dari sisi kepentingan nasional, posisi Indonesia akan seperti apa," kata Franky.

Bisnis perfilman mempunyai tiga sektor, yakni produksi, distribusi, dan ekshibisi. Meski keran akan dibuka sekaligus untuk tiga sektor di atas, sejauh ini pembahasan paling matang ada di bidang ekshibisi atau pertunjukan. Artinya, pintu investasi asing yang akan dibuka pertama kali adalah kesempatan untuk mendirikan bioskop.

Saat ini jumlah layar bioskop di Indonesia tercatat ada 1.088 buah. Menurut Ricky, jumlah ini sangat kecil untuk ukuran negara berpenduduk 250 juta jiwa. Ia membandingkan dengan Korea Selatan yang hanya berpenduduk 60 juta orang, tapi bioskopnya mencapai 15 ribu layar.

Ricky yakin pertumbuhan layar bioskop memberi efek domino bagi perfilman nasional. Semakin banyak layar, semakin banyak pula film Indonesia bisa diproduksi dan ditayangkan. Seperti dialami Indonesia pada 1970-1980-an. Ketika itu jumlah layar mencapai 3.000 lebih dan film Indonesia berjaya. "Sebab, bioskop tersebar sampai ke daerah. Inilah yang hendak kami upayakan lagi."

Alasan Ricky ini cukup meyakinkan BKPM. Franky Sibarani kemudian meminta Badan Ekonomi Kreatif membuat kajian lebih matang disertai potensi bisnis dan porsi maksimal investor luar negeri masuk ke bisnis layar lebar. Seminggu lebih mengkaji, Ricky menaikkan batas investasi menjadi 80 persen untuk investor asing. "Ini maksimal. Rencananya akan kami ajukan ke BKPM pekan depan," ucap Ricky, Kamis dua pekan lalu.

* * * *

BISNIS bioskop Indonesia sudah lama dilirik investor luar negeri. Salah satu yang pernah gencar mendekati pemerintah adalah Lotte Group pada 2012. Tak tanggung-tanggung, mereka berencana membuka hingga 100 layar di Indonesia. Rencana ini terpental karena ganjalan daftar negatif investasi.

Tapi itu tak membuat bisnis ini sepi peminat. Pertengahan tahun ini, bank asal Jerman, Deutsche Bank, dan Rothschild Group menyatakan kesediaannya menjadi penggalang dana sebesar US$ 100 juta untuk rencana ekspansi jaringan bioskop milik Lippo Group, Cinemaxx. Dari dana ini, Cinemaxx punya target membuka 2.000 layar dalam sepuluh tahun ke depan. "Kami telah menarik minat investor yang ingin berpartisipasi dalam kisah pertumbuhan kami," ujar CEO Cinemaxx Brian Riady.

Direktur Cinema 21 T.R. Anitio menambahkan, hingga saat ini perusahaannya juga masih didekati para investor asing untuk bekerja sama membuka bioskop di Indonesia. "Memang paling gencar dari Korea. Saat ini kami masih mengkaji tawaran itu dulu," kata Anitio.

Anitio menyambut rencana pemerintah membuka investasi asing di sektor ini. Menurut dia, pembukaan layar bioskop memang tak bisa dibebankan hanya kepada pengusaha lokal, mengingat investasi untuk satu layar bisa mencapai Rp 3-4 miliar. "Apalagi untuk membuka bioskop di daerah. Investornya harus kuat karena ada perbedaan daya beli dan lainnya," ujarnya.

Menurut Ricky, pemerintah sudah mempertimbangkan soal ini. Itulah mengapa investor asing diperbolehkan menanamkan modal hingga 80 persen, tak lain agar mereka bisa lebih leluasa mengatur strategi bisnisnya. Badan Ekonomi Kreatif pun tak serta-merta meminta para investor hanya membuka bioskop di daerah-daerah. Porsi investasi di kota-kota besar tetap dibuka buat mereka. "Tapi nanti diatur: dengan buka satu di kota besar, harus buka di daerah juga. Biar proposional."

Apalagi, Ricky menambahkan, investor-investor luar tidak mungkin hanya berniat membuka beberapa layar. Sekali ekspansi bisa saja investor membuka ratusan bioskop. Maka, jika mereka mendapat wilayah yang pasarnya sepi, bisa ditutup dari wilayah lain yang ramai. Berdasarkan pertimbangan dan hitungan inilah Badan Ekonomi Kreatif berani memasang target 5.000 layar bioskop di Indonesia pada 2019.

Dari situ, sektor ini diharapkan mampu menyumbang investasi Rp 25 triliun dalam lima tahun ke depan, hanya dengan pembukaan layar. "Belum efek domino lainnya."

Para produser juga menilai pembukaan pintu bagi investor asing dalam bisnis layar lebar sebagai langkah yang baik untuk memajukan industri film. "Pertanyaan yang tersisa adalah jika layarnya sudah banyak, buat siapa layar itu ditujukan?" ucap Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia Fauzan Zidni.

Ia memaparkan, dengan jumlah layar yang ada, porsi penayangan film nasional pada 2014 hanya 31 persen dari seluruh jam pertunjukan bioskop grup Cinema 21. Untuk jaringan bioskop CGV BlitzMegaplex bahkan hanya 15 persen. "Dengan jam tayang lebih minim, tentu berdampak ke jumlah penonton."

Jika berpatokan pada Undang-Undang Perfilman Nasional Nomor 33 Tahun 2009, semestinya konten lokal yang dihadirkan di bioskop wajib mencapai 60 persen. Sisanya baru dibuka untuk film-film impor.

Fauzan mengakui kualitas film nasional masih banyak yang belum bisa bersaing dengan produk luar. Pemenuhan kuota 60 persen untuk film lokal pun sulit tercapai jika produk yang ditayangkan kurang bermutu. "Tapi, jika hanya diberi ruang 20 persen, itu juga kurang fair," katanya.

Alasan pengelola bioskop biasanya karena film lokal tersebut sepi peminat, sehingga jam tayang dikurangi. Tapi para produser mengaku tak pernah mendapat data perbandingan penjualan dengan film-film impor yang ditayangkan, sehingga tidak ada standar yang pasti.

Karena itu, asosiasi mengusulkan adanya sistem box office yang terintegrasi. Dengan sistem ini, semua transaksi penjualan tiket film impor ataupun lokal dapat terpantau langsung. "Ini bisa menyelesaikan masalah transparansi dan pajak serta membaca tren untuk meningkatkan kompetisi," ujar Fauzan.

Pendapat Ketua Umum Persatuan Perusahaan Film Indonesia Firman Bintang beda lagi. Ia berkeras alokasi 60 persen harus dijalankan secara utuh jika pintu investasi bagi asing dibuka lebar. Menurut dia, yang membuat film nasional jatuh selama ini karena Cinema 21 sebagai pemain terbesar di bisnis ini kerap menganaktirikan film nasional. "Dibukanya investasi asing kan untuk mendobrak dominasi 21. Selanjutnya, ya, pemerintah harus tegas soal porsi film nasional."

Direktur Cinema 21 T.R. Anitio membantah hal itu. Menurut pemilik 75,64 persen dari total layar bioskop di Indonesia ini, porsi yang diberikan terhadap film nasional cukup signifikan. Tahun 2014, misalnya, dari 257 judul yang ditayangkan di seluruh bioskop di Indonesia dalam setahun, sebanyak 113 adalah film nasional. Masalahnya, kata dia, penonton film lokal hanya sekitar 15 juta, dari estimasi 72 juta total penonton.

Tapi, pada 2008, jumlah penonton film lokal pernah tercatat mencapai 55 persen lebih dan mengalahkan penonton film impor. Hal itu karena terdapat dua film Indonesia yang fenomenal, yakni Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. "Ini artinya pasar yang berbicara. Penonton memilih kualitas, bukan asal film," ujar Anitio.

Gustidha Budiartie


Layar Bioskop Per Juli 2015

  • 21 Cineplex 796 layar
  • Blitz 100 layar
  • Cinemaxx 61 layar
  • Platinum 18 layar
  • New Star 16 layar
  • Independen 45 layar
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus