Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Bebas Kaveling 93

Terdakwa dugaan korupsi pengadaan gedung Bank Jabar Banten divonis bebas. Jaksa bersikap mendua sejak awal.

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung kembali menjadi momok bagi Kejaksaan Agung. Dalam catatan Kejaksaan, sedikitnya ada lima perkaranya yang kandas di sana. Terakhir, Senin pekan lalu, jaksa kembali mendapat pukulan telak lewat putusan bebas untuk Wawan Indrawan, terdakwa korupsi pengadaan gedung Bank Jabar Banten (BJB).

Majelis hakim menggugurkan seluruh dakwaan jaksa penuntut. Pengadil menilai pengadaan gedung T-Tower di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93, Jakarta Selatan, yang diperkarakan jaksa, telah sesuai dengan aturan. "Tidak terbukti ada tindak pidana korupsi oleh terdakwa," kata ketua majelis hakim Naisyah Kadir ketika membacakan putusan. "Juga tak ada indikasi memperkaya diri sendiri."

Vonis ini bertolak belakang dengan tuntutan jaksa. Pada sidang medio November lalu, Wawan dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Menurut Korps Adhyaksa, terdakwa telah menyalahgunakan wewenang dan merugikan negara sekitar Rp 217 miliar.

Ketika perkara ini mencuat pada medio 2013, Wawan menjabat Kepala Divisi Umum Bank Jabar Banten. Ia menjadi ketua tim pengadaan gedung untuk kantor cabang khusus BJB di Jakarta.

Jaksa mendakwa Wawan bersekongkol dengan Direktur PT Comradindo Lintasnusa Perkasa, Tri Wiyaksa. PT Comradindo merupakan rekanan Bank Jabar Banten dalam pembangunan gedung T-Tower. Tri Wiyaksa pun sudah berstatus tersangka sejak pertengahan 2013. Namun berkas perkara dia masih ngendon di Kejaksaan.

Dalam sidang terakhir, Wawan tampak bungah mendengar putusan bebas untuknya. Seusai sidang, dia menyalami satu per satu anggota keluarganya yang hadir, kemudian bersujud syukur. "Semua ini kehendak Tuhan," ujarnya kepada wartawan.

* * * *

Rangka bangunan di lahan sebelah Gedung Smesco, Pancoran, Jakarta Selatan, itu seperti terbengkalai. Tak ada seorang pun pekerja ketika Tempo menyambangi lahan di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93 itu, Kamis pekan lalu. Padahal di lahan seluas 7.000 meter persegi inilah PT Comradindo seharusnya membangun gedung 27 lantai. Sebanyak 14 lantai di antaranya dipesan Bank Jabar Banten.

Bank yang 38 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu telah sepakat membayar Rp 543,4 miliar kepada PT Comradindo. Pada 12 November 2012, Bank membayar 40 persen uang muka atau Rp 217,36 miliar. Sisa pembayaran dicicil Rp 27,17 miliar per bulan selama setahun. Padahal, waktu itu, pembangunan gedung belum dimulai sama sekali.

Pembangunan fisik T-Tower baru berjalan pada pertengahan 2014. Namun pemerintah DKI Jakarta menyegel bangunan tersebut sehingga pengerjaannya berhenti pada Juli lalu. Kepala Bidang Penertiban Bangunan Dinas Penataan Kota Bayu Adji mengatakan pengembang melanggar izin mendirikan bangunan (IMB). "Ada bagian yang dibangun tidak sesuai dengan IMB," ujar Bayu kepada Erwan Hermawan dari Tempo.

Bayu tidak merinci bagian mana saja yang menyimpang. Dia hanya memberi gambaran bahwa perubahan luas, bentuk ruang, dan lokasi pintu bangunan termasuk yang tidak sesuai dengan IMB. Bulan lalu, segel tersebut dicabut karena IMB sudah direvisi.

Seorang penyidik Kejaksaan Agung menuturkan penyegelan oleh pemerintah daerah adalah salah satu dasar materi tuntutan atas Wawan Indrawan. Menurut dia, penghentian pembangunan menunjukkan ada kesalahan dalam perencanaan gedung T-Tower. Dalam sidang tuntutan, jaksa memang menyebutkan Wawan meneken kontrak dengan PT Comradindo, yang diwakili Tri Wiyaksa, tanpa mempelajari desain gedung yang diajukan.

Perundingan dan penyusunan naskah perjanjian pun berlangsung kilat. Hanya dalam sehari, pada 5 November 2012, Wawan dan Tri Wiyaksa menyepakati harga, lalu meneken akta jual-beli.

Awalnya, PT Comradindo menawarkan harga Rp 40 juta per meter persegi bangunan jadi. Tapi, akhirnya, mereka bersepakat pada Rp 38 juta per meter persegi. Uang muka sebesar 40 persen dibayarkan sepekan setelah akta jual-beli diteken.

Harga itu lebih mahal daripada yang ditetapkan tim independen. Tiga hari sebelum negosiasi, tim penilai harga dari kantor Hari Utomo dan Rekan mensurvei harga pasar bangunan bertingkat di sekitar Jalan Gatot Subroto Kaveling 93 itu. Hasilnya menyebutkan harga rata-rata bangunan di kawasan itu Rp 30-35 juta per meter persegi.

Sebelum bernegosiasi dengan PT Comradindo, tim pengadaan meminta Divisi Kepatuhan dan Hukum BJB membuat kajian bisnis rencana pembelian gedung untuk kantor khusus Jakarta itu. Anehnya, sebelum hasil telaah keluar, tim pengadaan sudah meneken kontrak dengan PT Comradindo.

Dalam kajian Divisi Kepatuhan kemudian disebutkan dengan terang: syarat penekenan akta jual-beli dan pembayaran uang muka adalah salinan dokumen IMB. Selain itu, gedung harus sudah terbangun minimal 20 persen. Audit Bank Indonesia menguatkan kajian tersebut. Namun hasil telaah Divisi Kepatuhan diabaikan begitu saja. Faktanya, sewaktu Kaveling 93 masih berupa padang alang-alang, uang panjar sudah diberikan kepada Comradindo.

Kejanggalan lain menyeruak ketika proyek gedung mulai berderak. Meski BJB meneken kontrak dengan PT Comradindo, faktanya, proyek ini dikerjakan PT Sadini Arianda. Nama PT Sadini sebagai penggarap T-Tower masih terpampang jelas pada papan petunjuk pelaksanaan proyek ketika Tempo melongok ke lokasi proyek, Kamis pekan lalu.

Pada 2011, PT Sadini menawarkan lahan di Kaveling 93 itu kepada BJB. Kala itu, bank ini memang sedang mencari kantor baru di Ibu Kota. Soalnya, kantor BJB di Gedung Arthaloka, Jalan Sudirman, tak cukup menampung karyawan yang terus bertambah. Namun, waktu itu, direksi BJB menolak tawaran PT Sadinikarena riwayat tanah tersebut tidak jelas.

Angin berubah ketika Direktur PT Comradindo, Tri Wiyaksa, kembali menawarkan lahan yang sama pada akhir 2012. Kali ini, direksi BJB langsung menyambar tawaran. Kesepakatan dan pembayaran uang muka terjadi menjelang pemilihan Gubernur Jawa Barat yang dimenangi Ahmad Heryawan untuk kedua kalinya.

Jaksa lantas mendakwa Wawan menyalahgunakan wewenang, antara lain karena memilih gedung di lahan bermasalah, membeli bangunan di atas harga pasar, serta membayarkan uang panjar dengan menerabas aturan. Dalam persidangan, Wawan membela diri bahwa dia tidak melakukan korupsi. Semua yang dia lakukan juga setahu direksi BJB.

Berbeda dengan Wawan, yang sempat dijebloskan ke rumah tahanan Kejaksaan Agung, Tri Wiyaksa malah tak pernah "ditemukan" jaksa. Ia baru sekali diperiksa, ketika masih berstatus saksi, pada 2013. Setelah menyandang status tersangka bersama Wawan, Tri Wiyaksa tak pernah memenuhi panggilan jaksa.

Seorang jaksa di Kejaksaan Agung menuturkan Tri Wiyaksa berkali-kali dipanggil, tapi selalu mangkir. "Ditongkrongi di kantornya pun nihil," katanya. Ketika Wawan disidangkan, jaksa penuntut pun meminta hakim memanggil paksa Tri Wiyaksa. Tapi hakim menolak. "Padahal, kalau ada panggilan dari pengadilan, akan lebih kuat," sang jaksa menambahkan.

Ketua majelis hakim perkara ini, Naisyah Kadir, menolak disalahkan. Menurut dia, pengadilan sudah memberi kesempatan berkali-kali kepada jaksa untuk memanggil Tri Wiyaksa. "Kalau penting, sejak awal dicari. Jangan cuma saksi enggak jelas yang dihadirkan," ujar Naisyah, Kamis pekan lalu.

Naisyah beralasan, majelis hakim hanya bertugas memeriksa perkara. "Mereka mau menggunakan saya sebagai alat untuk memanggil? Saya jelas tidak mau," kata sang hakim.

Penelusuran Tempo hanya menemukan fakta bahwa PT Comradindo dan PT Sadini berkantor di satu gedung, yaitu Graha Metro, Penjernihan, Jakarta Pusat. Beberapa kali Tempo mendatangi kantor itu, tapi tak ada yang memberi petunjuk di mana Tri Wiyaksa berada. Nomor teleponnya tak bisa dihubungi. Pesan permintaan wawancara pun tak dia balas.

Setelah Wawan divonis bebas, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah memastikan akan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun jaksa masih menunggu salinan putusan dikirim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.

Adapun pengacara Wawan, Etza Imelda Fitri, mengatakan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah tepat. Dia pun yakin kliennya akan tetap bebas meski jaksa mengajukan permohonan kasasi.

Lalu bagaimana dengan tersangka Tri Wiyaksa? Arminsyah hanya memberi jawaban diplomatis. Sebelum mengejar tersangka lebih jauh, kata dia, Kejaksaan akan melihat lagi seberapa penting perannya dalam kasus ini. Faktanya, setelah dua tahun Tri Wiyaksa selalu mangkir, Kejaksaan Agung tak kunjung memasukkan namanya ke daftar buron.

Syailendra Persada (Jakarta), Iqbal T. Lazuardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus