Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selembar surat pernyataan dibagikan kepada pegawai Bank Indonesia yang bertugas di Otoritas Jasa Keuangan, Senin pekan lalu. Di kertas tersebut, mereka harus mengisi satu dari dua pilihan dengan memberikan tanda silang: menjadi pegawai OJK atau kembali bertugas di Bank Indonesia.
Pernyataan itu harus diisi dan diteken di atas meterai atas sepengetahuan tiap kepala departemen paling lambat Selasa pekan ini. Surat pernyataan kemudian disampaikan kepada Kepala Departemen Organisasi dan Sumber Daya Manusia OJK dalam amplop tertutup. "Nanti akan ada quick count. Hasil finalnya akan ketahuan pada 31 Desember," kata Darmansyah, Direktur SDM OJK, Selasa pekan lalu.
Lembaga yang merupakan integrasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) serta bidang pengawasan perbankan Bank Indonesia ini tengah menggelar "referendum". Sebanyak 1.071 karyawan bank sentral yang ditugasi di lembaga pengawas jasa keuangan itu mendapat kesempatan memilih untuk beralih menjadi pegawai OJK atau kembali ke Bank Indonesia paling lambat akhir tahun ini. Hak pilih itu diatur dalam Undang-Undang OJK Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 64 ayat 3. Hak yang sama diberikan kepada karyawan Bapepam-LK yang ditugasi di OJK.
Proses peralihan pegawai bank sentral di OJK rupanya agak gaduh. Mereka "berunjuk rasa" meminta audiensi kepada Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. Pimpinan OJK juga berulang kali menggelar sosialisasi agar mereka bertahan di OJK. Sebab, survei internal menunjukkan tak sedikit pegawai bank sentral ingin kembali ke Bank Indonesia.
Hasil survei memang masih dirahasiakan. Namun kabar yang berembus di kalangan karyawan menyebutkan sekitar 50 persen pegawai bank sentral ingin meninggalkan OJK. Ada juga yang menyebutkan 30-40 persen pegawai ingin kembali ke BI. Darmansyah membantah kabar itu. Ia memastikan lebih banyak pegawai yang memilih tetap di OJK. "Angka-angka yang beredar itu menyesatkan," ujarnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rachmat Waluyanto mengatakan survei itu dirancang khusus bagi pegawai penugasan BI untuk mengetahui preferensi mereka. Survei dilakukan pada Mei dan Oktober lalu. Tujuannya memetakan faktor yang akan mempengaruhi keputusan bertahan atau kembali ke bank sentral. "Kami ingin proses transisi tanpa guncangan," katanya.
Dari dua kali survei, ada 15 variabel yang menjadi perhatian pegawai. Tapi, menurut Rachmat, ada lima hal utama yang menjadi pertimbangan, yakni fasilitas kesehatan, fasilitas pascabekerja (pensiun kesehatan), kesinambungan organisasi, fasilitas pinjaman, serta masalah tata organisasi dan suasana kerja.
Persoalan fasilitas itu yang menjadi perhatian Endriyanto—bukan nama sebenarnya—untuk memilih kembali ke Bank Indonesia. Sebab, ia tidak mau meninggalkan rumah dinas BI. Selain mendapat listrik dan air gratis, lokasinya di tengah Kota Jakarta. "Alasanku simpel, kenyamanan," ucapnya.
Meski ingin kembali ke bank sentral, mereka tetap menuntut kejelasan. "Saya ini tenaga pengawas. Kalau saya balik, apa ada tempat di sana?" kata Arief, pegawai lain. Itu sebabnya, bank sentral diharapkan memberi kepastian apakah ada ruang bagi mereka yang ingin kembali.
Arief juga mempertanyakan pembiayaan multiguna dari koperasi karyawan BI dan kelanjutan tunjangan kesehatan hari tua. Dua hal ini, menurut dia, sangat mempengaruhi preferensi pegawai BI untuk kembali. Ia dan banyak rekannya yang lain khawatir tidak akan mendapat tunjangan pensiun bila memilih mundur dari BI.
Ia mengaku tidak akan sanggup bila harus mengembalikan kredit multiguna. Hampir semua pegawai BI mengambil kredit itu karena bunganya super-ringan, hanya 1,5 persen. "Plafon kreditnya bisa sampai Rp 1 miliar," ujarnya.
Keresahan pegawai menjadi-jadi setelah beredar salinan surat-menyurat antara Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. Korespondensi dua petinggi itu menggambarkan gagalnya penyelesaian yang bisa menenangkan pegawai.
Dalam suratnya, Agus Martowardojo menyatakan hanya pegawai yang berdinas minimal 10 tahun dan berusia minimal 50 tahun yang bisa mendapat tunjangan kesehatan hari tua. Agus juga meminta pegawai bank sentral yang pindah ke OJK langsung melunasi kredit multiguna. "Peraturan BI mewajibkan pegawai melunasi saldo pinjaman multiguna saat berhenti dari BI," kata Agus saat menjawab surat OJK, Mei lalu.
Pertengahan November, Muliaman meminta pencairan tunjangan hari tua dan kepemilikan rumah diberikan kepada semua pegawai tanpa menghitung masa kerja. "Persyaratan masa dinas kurang memenuhi rasa keadilan bagi pegawai yang akan menetapkan pilihan," ujar Muliaman dalam suratnya. Ia meminta pelunasan kredit multiguna diangsur dengan memotong gaji pegawai. OJK yang akan melakukan pemotongan itu.
Alotnya pembahasan kredit multiguna dan tunjangan hari tua itu memunculkan spekulasi Bank Indonesia memanfaatkan isu kepegawaian untuk menekan OJK. Tudingan itu dilontarkan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Hendrawan Supratikno. "Pertarungan BI versus OJK terkait dengan pengawasan bank masih berlanjut," kata Hendrawan.
Menurut dia, sejumlah pihak pernah mengajukan uji materi undang-undang OJK ke Mahkamah Konstitusi tahun lalu. Uji materi yang "menguntungkan BI" itu ditolak Mahkamah Konstitusi. Hendrawan memperkirakan upaya tarik-menarik kewenangan pengawasan microprudential masih berlanjut di pembahasan rancangan undang-undang amendemen Bank Indonesia.
Direktur Sumber Daya Manusia Bank Indonesia Damayanti Johan mengatakan persoalan tunjangan hari tua dan kredit multiguna telah diselesaikan dua lembaga setelah berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan. "Kepastian tentang dua item tersebut diharapkan menjadi faktor pendorong pengawas bank tetap di OJK," ujar Damayanti. Rachmat Waluyanto menambahkan, OJK juga telah mendirikan Yayasan Kesejahteraan Karyawan dan Dana Pensiun OJK guna memfasilitasi tunjangan hari tua dan kredit multiguna.
Rachmat mengakui, sebagai organisasi baru, banyak hal yang masih harus dibenahi di OJK. Ia memastikan semua hak pegawai pasti terpenuhi. Apalagi undang-undang OJK menyebutkan tingkat kesejahteraan pegawai tidak boleh lebih rendah dari tempat sebelumnya.
Peluang karier di OJK juga terbuka sangat lebar. Tidak hanya di subsektor pengawasan perbankan, pegawai eks BI juga harus tahu pasar modal, dana pensiun, asuransi, lembaga keuangan mikro, pembiayaan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, dan multifinance. Menurut Rachmat, mereka juga suatu saat bisa masuk ke bidang edukasi dan perlindungan konsumen keuangan serta penyidikan sektor jasa keuangan. Juga keahlian menjaga stabilitas sistem keuangan.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mendukung OJK mencari solusi terbaik atas penyelesaian hak dan kewajiban pegawai. "Termasuk bila penyelesaian itu memerlukan keterlibatan negara," kata Agus. Menurut catatan bank sentral, jumlah tunjangan kesehatan hari tua mencapai Rp 265 miliar. Dana itu sudah masuk rancangan Anggaran Tahunan BI untuk dicairkan. Adapun jumlah kredit multiguna mencapai Rp 391 miliar.
Agus menambahkan, dalam pertemuan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia yang difasilitasi Badan Pemeriksa Keuangan pada awal Desember, OJK sepakat menyiapkan anggaran untuk menyelesaikan pinjaman pegawai bank sentral yang pindah ke OJK. Kredit itu selanjutnya menjadi pinjaman pegawai ke OJK. Kedua pihak juga menyepakati bank sentral menyiapkan anggaran untuk mengganti iuran tunjangan hari tua pegawai yang pindah ke OJK. "BI dan OJK lantas meminta persetujuan ke DPR," ujarnya. Agus memahami fungsi pengawasan di OJK akan terganggu bila para pegawai di bidang pengaturan dan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia.
Meski tak ingin OJK lemah, bank sentral siap menampung mereka yang ingin pulang kandang. Hal itu sudah diantisipasi dengan rencana pemetaan kompetensi dan skenario penempatan. Menurut Agus, masih banyak area tugas yang bisa diisi para pegawai yang ingin kembali ke BI. Di antaranya fungsi pengawasan sistem pembayaran, moneter, dan stabilisasi sektor keuangan.
Pengamat ekonomi dan perbankan Tony Prasetyantono menilai seharusnya tidak semua karyawan diberi pilihan. Menurut dia, pilihan itu cukup diberikan kepada pegawai yang spesifikasinya bukan pengawas, misalnya di bidang hukum, hubungan masyarakat, atau sumber daya manusia. "Spesifikasi pengawas bank harus berada di OJK," ucap Tony. Sebab, kalau mereka kembali ke bank sentral, fungsi pengawasan perbankan sudah tidak ada di sana.
Kalau mereka tetap kembali ke bank sentral, pemerintah dan masyarakat akan rugi. "Pengawasan industri perbankan bisa bolong. Hal ini berbahaya saat mengantisipasi krisis ekonomi," katanya.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo