Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bocor, tak bocor, icor

Icor (perbandingan tambahan modal terhadap pertambahan produksi) sangat tinggi yakni 4,9. idealnya 2-3. tingginya angka itu karena Indonesia menekankan pada pembangunan tahap tinggal landas

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI begawan ekonomi, ketokohan Sumitro Djojohadikusumo selalu ampuh dan sakti. Hampir setiap pernyataannya langsung memantulkan gema yang panjang. Apalagi ketika beliau menyatakan bahwa ICOR Indonesia sangat tinggi, yaitu 4,9, masyarakat pun bertanya-tanya. Beberapa waktu lalu, Ali Wardhana, empu ekonomi yang tak kalah disegani, bahkan melontarkan angka ICOR 5. Saat itu pun Ali juga melontarkan peringatan bahwa ICOR kita terlalu tinggi, pertanda ekonomi Indonesia tidak efisien. ICOR (incremental capital output ratio atau perbandingan tambahan modal terhadap pertambahan produksi) yang ideal memang berkisar antara 2 dan 3. Tapi angka ini sebenarnya bergantung pada tahap apa pembangunan suatu negara sedang berlangsung. Jika negara itu baru sampai pada tahap berkembang, maka adalah wajar bila ICOR-nya menjadi agak tinggi -- biasanya mendekati angka 4. Ini karena pembangunan pada tahap awal biasanya menekankan pada pembangunan infrastruktur yang menghabiskan dana sangat besar, dan makan waktu lama. Misalnya saja, pembangunan jalan tol atau pelabuhan laut yang besar. Megaproyek seperti pabrik olefin Chandra Asri pun bisa berpengaruh pada ICOR. Itu sebabnya cara terbaik menghitung ICOR adalah dalam kurun waktu yang cukup lama. Maksudnya adalah agar investasi besar yang perlu waktu penyelesaian yang panjang -- istilah gagahnya long gestation project -- bisa tercakup dalam perhitungan output- nya. "Kalau pakai ICOR tahunan, gambarannya bisa lain," tutur Prof. Mohammad Arsyad Anwar, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Prof. Anwar sendiri sempat mengutak-atik angka investasi dan mendapatkan bahwa ICOR Indonesia ternyata cuma sekitar 3, jauh lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan Sumitro. Perbedaan angka ini memang tak terelakkan. Karena, untuk penghitungan investasi, ada banyak asumsi yang bisa digunakan sebagai dasar perhitungan. ICOR yang cukup rendah juga diprediksi oleh Bank Dunia. Dalam laporan tahunannya, yang digunakan untuk sidang Consultative Group for Indonesia (CGI), Bank Dunia memperkirakan ICOR Indonesia sebesar 3,5. Angka yang cukup rendah ini diikuti dengan asumsi bahwa efisiensi investasi di Indonesia mengalami perbaikan yang cukup signifikan. Untuk ukuran signifikansi ini, Bank Dunia mematok perbaikan efisiensi antara 15 dan 20 persen. Jika tidak, demikian laporan itu menyebutkan, investasi yang diperlukan bakal melonjak menjadi sekitar 28 persen dari Produk Domestik Bruto. Kalau itu terjadi, berarti ICOR akan melonjak menjadi 4 karena Bank Dunia meproyeksikan pertumbuhan rata-rata tujuh persen setahun dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Sebagai alat untuk melakukan analisa yang menggambarkan efisiensi sebuah ekonomi, ICOR memang cukup ampuh. Tapi masih banyak faktor lain yang juga mempengaruhi ICOR. Karena ukuran yang dipakai adalah total Produk Domestik Bruto, yang biasa dipakai sebagai pita pengukur pertumbuhan ekonomi, maka laju pertumbuhan ekonomi bisa juga mempengaruhi besar-kecilnya ICOR. Jika ekonomi sedang tumbuh dengan cepat, tentu ICOR juga akan menjadi semakin kecil. Sedangkan tingginya pertumbuhan ekonomi tentu tidak semata-mata disebabkan oleh investasi yang efisien, bisa juga karena faktor lain. Rezeki minyak, misalnya, bisa saja menggenjot pertumbuhan ekonomi sebuah negara yang kaya minyak sekalipun investasinya bocor di sana-sini dan salah arah. Dalam skenario seperti ini, analisa tentang efisiensi investasi dengan menggunakan angka ICOR bisa membuat orang terkecoh. Ada baiknya bila silang pendapat tentang bocor dan tidak bocor berdasarkan ICOR ini dihadapi dengan kepala dingin. ICOR memang alat bantu yang baik, tapi bukanlah segala-galanya. Memang akan bagus sekali bila ICOR Indonesia bisa lebih rendah, hingga mampu bersaing lawan negara-negara tetangga di lingkungan ASEAN, misalnya. Bahkan boleh saja memasang ambisi lebih berani, katakanlah dengan angka ICOR Singapura yang kalau tak salah sekitar 2. Tapi diam-diam kita pun menyadari bahwa angka ICOR serendah itu entah kapan bisa kita capai. Malah belakangan ini ICOR sudah bagaikan simalakama dalam ekonomi Indonesia. ICOR tinggi sulit diterima, tapi ICOR rendah juga sulit dipercaya.Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum