Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menghitung kebocoran

Akhirnya Prof. Sumitro Djojohadikusumo angkat suara perkara icor. katanya, kebocoran pelita v 30%, tapi ketua BPKP bilang hanya 1%.

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISU kebocoran tak henti-hentinya digaungkan, tak lama setelah Prof. Sumitro Djojohadikusumo menegaskan kembali soal itu di depan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomui Indonesia (ISEI) di Surabaya, November tahun lalu. Begawan ekonomi itu menyebutkan, dana pembangunan bocor sekitar 30% atau hampir Rp 8 triliun. Mungkin karena menyentuh bagian yang peka yaitu anggaran pembangunan sinyalemen itu sempat dikomentari berbagai kalangan. Sebagian berpendapat bahwa angka yang disodorkan Sumitro memang benar adanya. Tapi tak sedikit yang meragukan, antara lain Menko Eku Wasbang Saleh Afiff dan Mensesneg Moerdiono. Ada pula yang mengaitkannya dengan masalah korupsi di jajaran aparat pemerintah. Malah pengamat ekonomi Rizal Ramli menganjurkan untuk memeriksa kelayakan pelaksanaan anggaran pembangunan. Sebegitu jauh, isu kebocoran yang diangkat tak juga terungkap tuntas. Soalnya, tak banyak yang tahu, apa yang dimaksud Sumitro dengan kebocoran. Sementara Sumitro sendiri, yang sebenarnya bisa menjelaskan persoalan, sejak kongres ISEI di Surabaya mendadak jatuh sakit, bahkan hingga perlu dirawat di rumah sakit. Maka, selama hampir tiga bulan, isu kebocoran terus saja diperdebatkan. Pihak DPR RI sempat pula mengundang Prof. Sumitro untuk langsung memberikan penjelasan ke lembaga perwakilan itu. Sedangkan komentar, tanggapan, bahkan kecaman bermunculan. Mungkin karena itu pula, kendati belum pulih benar, sang begawan akhirnya memberikan penjelasan secara panjang lebar. "Untuk menjernihkan suasana yang kini menjurus jadi heboh," katanya. Melalui tulisan yang dikirim ke berbagai media cetak, pekan lalu Sumitro mengatakan, kebocoran yang dimaksud adalah pemborosan sumber daya ekonomi. Termasuk penggunaan sumber daya ekonomi secara tidak efisien dan efektif. Dasar yang dipakai Sumitro dalam menghitung ketidakefisienan tadi adalah dengan melihat besaran ICOR (incremental capital output ratio). Besaran ICOR ini memang merupakan salah satu parameter untuk mengukur tingkat efisiensi penggunaan dana pembangunan, termasuk hasil produksi dari investasi yang ditanamkan. Semakin tinggi ICOR berarti tingkat efisiensi semakin rendah, dan sebaliknya. Saat ini, menurut Sumitro, ICOR Indonesia ada pada angka 4,9. Angka itu diperoleh dari hasil pembagian antara nisbah tambahan investasi modal dan tambahan hasil produksi. Selama Pelita V, misalnya, investasi kita mencapai Rp 41 triliun lebih atau 33,4% dari produk nasional (Rp 123 triliun). Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat rata-rata 6,8% setahun. Dari dua besaran ini bisa dihitung, ICOR Indonesia terletak pada angka 4,9. Padahal, ICOR di negara ASEAN, kecuali Filipina, adalah 3 sampai 3,5. Dengan struktur ekonomi yang hampir sama, menurut Sumitro, ICOR Indonesia juga selayaknya sekitar 3,5. "ICOR yang tinggi menandai bahwa ekonomi biaya tinggi masih dialami negara kita. Karena itu, kita harus menurunkannya," kata Sumitro. Lalu, dari mana angka kebocoran 30%? Angka itu rupanya selisih antara ICOR empiris (4,9) dan yang sewajarnya (3,5). Selisih inilah yang oleh Sumitro dikatakan sebagai pemborosan (inefisiensi ekonomi) dalam penggunaan dana pembangunan. "Jadi, secara kasar, pemborosan dan kehangusan selama Pelita V diperkirakan sekitar 30% dari total investasi," kata Sumitro. Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Soedarjono, agaknya tak sependapat dengan Prof. Sumitro. Katanya, tak semua investasi akan berpengaruh langsung terhadap produk domestik bruto (PDB). Ia mengambil contoh pembangunan jalan Jayapura Papua Nugini, yang nilai ekonomisnya kecil. "Jadi, kita tidak bisa menyimpulkan kebocoran terjadi karena ada investasi yang tidak menghasilkan," kata Ketua BKPK itu. Berdasarkan perhitungan BPKP, kebocoran yang terjadi tak sampai 1%. Soedarjono mengambil contoh Pelita V, dalam periode saat terjadi 303 kasus senilai Rp 205 miliar atau hanya seperenam puluh perkiraan Sumitro. Tapi jumlah ini memang meningkat ketimbang Pelita IV, saat ada 312 kasus dengan nilai Rp 103,5 miliar. Katakanlah, perhitungan Sumitro benar. Artinya, selama 1989-1993, sedikitnya terjadi pemborosan sekitar Rp 12 triliun dari total investasi (swasta dan pemerintah). Hanya, tak seorang pun, juga Sumitro, bisa menunjuk apa saja sumber pemborosan itu. Sekalipun demikian, Prof. Sumitro bisa mengajukan beberapa penyebab kebocoran. Pertama, karena investasi yang ditanamkan dalam infrastruktur dengan masa pengembalian cukup lama. Sebab lain terletak pada lemahnya penggarapan dan perawatan proyek investasi. Dan yang ketiga, memang terjadi karena adanya penyimpangan dan penyelewengan. Tapi, jika melihat komposisi investasi, boleh jadi inefisiensi ekonomi itu juga terjadi di sektor swasta. Seperti dikatakan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, hampir 70% investasi nasional kini dilakukan pihak swasta. Dan sektor swasta, menurut Ramli, kadang-kadang melakukan mark-up (peningkatan perkiraan biaya) agar memperoleh kredit yang lebih besar dari bank. "Kebiasaan itu merupakan cara pengusaha untuk menikmati untung sebelum proyek dilaksanakan," kata Ramli. Akibatnya, pengembalian investasi menjadi lebih lama dan membuat produk hanya kompetitif jika diproteksi. Kebiasaan ini, menurut Ramli, juga merugikan negara karena hilangnya potensi pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Kendati swasta juga ikut "menyumbang" bagi kebocoran, tak berarti kalangan aparat pemerintah bersih. Menurut seorang bekas pegawai negeri, jika ada proyek pengadaan barang, harga yang dibayarkan bendaharawan instansi pemerintah bisa mencapai 200% dari harga pasar. "Itu sudah lazim," kata sumber ini. Yang juga lazim adalah bila seorang pemimpin proyek atau bendaharawan proyek mempunyai kelompok rekanan tetap. Memang tak tertutup kemungkinan kebocoran terjadi karena ada unsur kolusi. Hal itu juga dikemukakan oleh Kwik Kian Gie. Orang yang paling mungkin membocorkan, menurut Kwik, adalah orang yang berwenang mengambil keputusan. "Kalau di bank, ya, bankirnya. Kalau di BUMN, ya, direkturnya," kata Kwik. Apa yang dikemukakan Kwik itu dibenarkan sebuah sumber yang enggan disebut namanya. Sumber ini menyatakan, kolusi bisa dimulai sejak pembahasan pengajuan daftar isian proyek (DIP), pencairan dana di KPKN, pengeluaran dan pemakaian dana oleh pemimpin proyek kepada pihak ketiga (kontraktor atau pemasok). Agar sumber kobocoran dapat dihambat, Ketua Komisi APBN DPR dari FPP, Hamzah Haz, menyarankan supaya DPR menggunakan hak interpelasi dan hak angket. Namun, ia menganggap, belum saatnya dibentuk komisi pencari fakta kebocoran dana pembangunan seperti yang diusulkan Rizal Ramli. "Kita masih punya BPKP yang mempunyai wewenang mengawasi penggunaan dana pembangunan," kata Hamzah. Pihak BPKP sendiri kini terus berusaha menekan penyelewengan dana milik negara. Lembaga ini juga tengah membenahi sistem pengendalian manajemen. "Penyelewengan dana milik negara dapat dihindari bila manajemen di semua instansi berjalan baik," kata Soedarjono. Ia mungkin benar. Tapi soal kebocoran yang berdampak ke ICOR ini sudah lama disinyalir, baik oleh para pengamat ekonomi maupun Bank Dunia (lihat: Bocor, Tak Bocor, ICOR). Cuma, hingga kini, tak ada tindakan nyata dari Pemerintah. Mungkin karena kebocoran itu ibarat lingkaran setan, hingga untuk memberantasnya, Pemerintah tak tahu harus memulai dari mana.Bambang Aji, Sri Wahyuni, A. Kukuh Karsadi, dan G. Sugrahetty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum