Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Anatomi Kebijakan Hilirisasi Pertambangan di Era Pemerintahan Jokowi

Salah satu kebijakan paling fundamental terhadap perkembangan hilirisasi adalah pelarangan ekspor bahan tambang mentah

2 Agustus 2023 | 18.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara smelter milik PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Jumat 28 Juli 2023. Smelter PT VALE Indonesia Tbk di Kabupaten Luwu Timur mampu memproduksi kurang lebih 240 ton nikel per hari dan saat ini sedang menggarap tiga proyek besar smelter di tiga lokasi yaitu Sorowako, Bahodopi dan Pomalaa dengan total investasi sekitar Rp134,3 triliun. ANTARA FOTO/jojon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah saat ini memiliki komitmen dalam melakukan hilirisasi. Hal ini beberapa kali disampaikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Terbaru, Jokowi mengatakan bahwa Papua Nugini tertarik untuk mempelajari hilirisasi di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal itu disampaikan Jokowi saat bertemu dengan Menteri Papua Nugini, James Marape pada Rabu, 5 Juli 2023 lalu. Jokowi sendiri menanggapi hal tersebut dengan antusias. Jokowi mempersilakan perwakilan dari Papua Nugini untuk melihat proses hilirisasi secara langsung. “Ini tentu akan menjadi bentuk kerjasama sekaligus mempererat hubungan antar negara,” ujar Jokowi sebagaimana dilansir dari Tempo. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, hilirisasi memang menjadi perhatian yang penting. Pada 2020 lalu, secara bertahap pemerintah telah menghentikan ekspor bahan tambang mentah dari mulai nikel, bauksit, timah, hingga alumina. 

Perhentian ekspor nikel ini kemudian sempat digugat oleh World Trade Organization (WTO) yang dianggap mengganggu pasokan nikel global serta dapat memicu konflik dagang. Padahal tujuan utama pemerintah adalah untuk meningkatkan nilai tambah domestik melalui hilirisasi produk pertambangan.

Diberitakan sebelumnya, hilirisasi nikel sendiri merupakan proses pengolahan nikel mentah menjadi produk akhir yang memiliki nilai tambah tinggi dan dapat dijual belikan. Produk yang bisa dihasilkan dari hilirisasi nikel di antaranya adalah logam nikel murni yang dapat menjadi bahan untuk pembuatan kawat listrik, tabung vakum, peralatan kimia, dan industri lainnya.

Gugatan tersebut juga sempat dipersoalkan oleh International Monetery Fund atau IMF melalui dokumen “IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia” yang menyatakan keberatan dan memberikan catatan mengenai rencana hilirisasi nikel di Indonesia. 

IMF menilai bahwa kebiakan tersebut perlu analisis biaya dan manfaat lanjut dan harus harus dirancang untuk meminimalkan limpahan lintas batas. Akibatnya, IMF meminta Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap terhadap pembatasan ekspor nikel. 

Menurut Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa rekomendasi IMF berstandar ganda.

Selain itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan bahwa hilirisasi justru dapat berdampak positif terhadap industri di Indonesia yang akan menaikkan nilai tambah serta menciptakan ekosistem industri yang baik.

Indonesia sendiri telah mengatur pelarangan ekspor melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan tersebut kurang lebih mengamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah. 

Hal ini menurut Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjadi kunci untuk mengoptimalkan produk-produk pertambangan minerba. 

Kebijakan hilirisasi ini harus direspon dengan industri-industri hilirnya, karena menurut Arifin, industri pendukung inilah yang akan menampung hasil dari produk yang sudah di hilirisasi.

Meskipun hilirisasi erat kaitannya dengan hilirisasi nikel, Jokowi sempat menegaskan bahwa hilirisasi yang menjadi perhatian pemerintah saat ini bukan hanya terpaku pada pertambangan mineral atau batubara, melainkan pada sektor pertanian, perkebunan, sampai perikanan. 

Di sektor perkebunan, kelapa muda biasanya dijual per butir Rp 10.000 Rp 15.000, dengan hilirisasi dapat ditingkatkan nilai tambahnya menjadi Rp 45.000 sampai Rp 50.000 dengan menjadikannya sebagai coco thumb layaknya yang banyak dijual di Thailand.  

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus