Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Nasdem, Irma Suryani, mempertanyakan asas keadilan dalam rencana implementasi sistem Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Irma, sistem KRIS ini makin menyusahkan rakyat dan merupakan akal-akalan pemerintah untuk mengakomodir asuransi swasta. Sistem ini, kata Irma, akan memaksa masyarakat untuk mengeluarkan lebih banyak uang atau out of pocket. Dia menuding sistem ini hanya akal-akalan untuk mengakomodir asuransi swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi kalau mau bilang mau mengakomodir asuransi swasta, bilang terus terang, jangan ngakal-ngakalin kayak gini. Rakyat sekarang bertanya-tanya ke Komisi IX, kelas standar yang seperti apa."
Irma menekankan konstitusi telah mengamanatkan bahwa iuran BPJS harus berlandaskan asas keadilan.
"KRIS ini tidak punya itu. Berarti, KRIS tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Mesti dilihat dulu, jangan cuma Peraturan Presiden dan lain-lainnya. Jangan main-main dengan amanat konstitusi. Ubah dulu konstitusinya kalau Bapak mau menggunakan undang-undang yang lain, karena undang-undang yang lain itu di bawah amanat konstitusi," kata Irma kepada Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI di Senayan pada Kamis, 6 Juni 2024.
Iram juga menyoroti perihal iuran di dalam sistem KRIS. Kesamaan besaran iuran untuk semua kelas, kata Irma, akan berimbas pada naiknya iuran bagi peserta BPJS Kesehatan kelas III. Dia mengingatkan, mayoritas rakyat Indonesia menggunakan BPJS kelas III, jauh lebih besar dari yang kelas I dan II.
"Kemudian yang juga harus diperhatikan, peserta BPJS yang aktif itu paling besar 70 persen, 30 persen ke atasnya masih nonaktif. Bagaimana bisa BPJS menangani masalah-masalah yang timbul akibat KRIS ini?" tutur Irma.
Selanjutnya: Selain itu, Irma juga mengeluhkan nihilnya kajian akademis sistem KRIS....
Selain itu, Irma juga mengeluhkan nihilnya kajian akademis sistem KRIS yang diserahkan BPJS Kesehatan kepada Komisi IX DPR. Namun, tiba-tiba rencana implementasinya sudah disebarluaskan ke publik.
"Kajiannya tidak pernah kami terima, sehingga kami bisa menelaah lebih jauh, persetujuannya akan kami berikan atau tidak. Ini menurut saya akal-akalan. Jangan kebiasaan ngakal-ngakalin peraturan, pak," ujarnya.
Anggota DPR Dapil Sumatera Selatan II ini juga mempertanyakan kesiapan rumah sakit. Di dapilnya sendiri, belum ada rumah sakit yang siap untuk menjalankan sistem KRIS.
"Wong rumah sakit juga belum siap. Kami ini di daerah, punya Dapil dan kami tahu persis apa yang terjadi di Dapil kami. Dengan 12 kamar saja tidak tertampung, banyak sekali masyarakat yang tidak bisa masuk rumah sakit, rawat inap. Mikir gak, sih? 12 aja gak tertampung, gimana 4. Jadi, jangan gampang-gampangin."
Menurut dia, dari segi alat kesehatan (alkes) hingga sumber daya manusia (SDM) juga belum siap. "Jangan dikira kami setuju-setuju saja dengan ini. Orang rumah sakitnya belum diberesin kok, alkesnya juga belum cukup, SDM-nya juga belum ada. Emangnya spesialis kita sudah cukup? Kita saja masih kekurangan spesialis."
Harusnya, kata Irma, yang dipikirkan pertama kali oleh pemerintah adalah bagaimana BPJS Kesehatan tidak rugi, tapi pelayanannya prima. "Saya yakin ini nanti kelas III pasti naik. Di mana asas keadilannya? Ini nyusahin rakyat, lho Pak. Kalau mau kongkalikong dengan asuransi swasta, ya jangan pakai banyak program-program seperti inilah."
Irma melanjutkan, perekonomian rakyat saat ini sulit, angka pengangguran juga tinggi. Kemudian, masyarakat dibebani pula dengan sistem KRIS dengan rencana rawat inap satu iuran, sehingga berpotensi naiknya iuran kelas III.
Selanjutnya: Irma menekankan, pemerintah jangan terlalu membebani masyarakat....
Irma menekankan, pemerintah jangan terlalu membebani masyarakat, karena sudah banyak beban yang mesti ditanggung. "Masyarakat sudah terlalu sakit. Belum Tapera lagi sekarang. Iuran BPJS Kesehatan 1 persen, iuran BPJS Ketenagakerjaan 2 persen, Tapera 3 persen. Sudah 6 persen, lho, beban masyarakat, ditambah lagi dengan out of pocket melalui program KRIS ini. Mbok mikir, gitu, lho," tutur Irma.
Irma mewanti-wanti agar berhati-hati untuk memberikan persetujuan terhadap sistem KRIS.
Presiden Joko Widodo satau Jokowi sebelumnya resmi menghapus sistem kelas 1, 2, 3 dalam layanan BPJS Kesehatan dan beralih ke sistem KRIS paling lambat 30 Juni 2025. Kebijakan ini dilaksanakan secara menyeluruh untuk rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Keputusan ini ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 1 ayat 4B dalam Perpres tersebut menegaskan, KRIS adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh peserta.
Dalam jangka waktu sebelum tanggal 30 Juni 2025, rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
"Saya kira kita harus benar-benar hati-hati ya untuk bisa memberikan persetujuan terhadap KRIS ini. Kalau belum siap, lebih baik jangan dilaksanakan," kata Irma.
ANNISA FEBIOLA | DANIEL A. FAJRI