Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Risiko Ambrolnya Harga Nikel

Harga nikel diperkirakan ambrol tahun ini akibat pasokan berlebih. Berimbas pada kinerja perusahaan tambang dan minat investasi.

23 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Harga nikel dunia ambrol sepanjang 2023 dan diperkirakan berlanjut tahun ini. Stok yang melimpah memicu anjloknya nilai komoditas unggulan Indonesia ini. 

  • Anjloknya harga nikel mempengaruhi kinerja perusahaan tambang dan membuat investor asing membatalkan investasinya.

  • Di luar negeri, merosotnya harga nikel menyebabkan sejumlah tambang nikel tutup.

JAKARTA — Harga nikel dunia ambrol sepanjang 2023 dan diperkirakan berlanjut pada tahun ini. Stok yang berlimpah memicu anjloknya nilai komoditas unggulan Indonesia ini. 

Merujuk pada data harga mineral acuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), nilai nikel turun dari US$ 27.482,62 per dry metric ton (mdt) pada Januari 2023 menjadi US$ 17.653,33 per mdt. Harga acuan teranyar pada Januari 2024 pun menunjukkan penurunan berlanjut hingga ke level US$ 16.368,86 per mdt.

 
Data serupa tampak dari dokumen harga komoditas milik Bank Dunia. Sepanjang periode 2023 ada penurunan harga lebih dari 40 persen dari US$ 28.194,61 per metrik ton pada awal tahun menjadi US$ 16.460,84 per metrik ton pada Desember 2023. 

Bank Dunia memperkirakan tren tersebut berlanjut pada tahun ini. Penurunan diprediksi mencapai 10,51 persen dengan rata-rata harga berada di kisaran US$ 20 ribu per ton. Nilainya lebih rendah dari rata-rata 2022 dan 2023 yang masing-masing mencapai US$ 25.834 per ton serta US$ 21.521 per ton. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nikel menjadi topik hangat dalam debat kedua calon wakil presiden pada Ahad lalu. Ketiga calon wakil presiden, Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud Md., saling adu argumen soal nikel ataupun penghiliran. Salah satu masalah yang saat ini mengemuka adalah merosotnya harga nikel.

Research Analyst PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan menuturkan penurunan harga nikel dipicu oleh pasokan yang melimpah. "Sementara itu, ekonomi Cina sebagai konsumen terbesar nikel kita masih cenderung melambat," katanya kepada Tempo, kemarin, 22 Januari 2024.

Hal ini, antara lain, ditandai dengan Purchasing Managers Index Cina yang terkontraksi. November lalu, indeksnya turun ke level 49,5. Badan Pusat Statistik pun mencatat penurunan volume ekspor produk nikel sebesar 14,06 persen pada Desember 2023. "Ada indikasi ini disebabkan oleh penurunan permintaan dari negara tujuan ekspor," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini.

Kementerian ESDM mencatat produksi nikel tahun lalu mencapai  1,9 juta ton. Angkanya melonjak dalam dua tahun terakhir. Pada 2021, jumlah produksinya hanya 1,04 juta ton. Indonesia, sebagai produsen terbesar bijih nikel, berkontribusi meningkatkan stok global. Menurut International Nickel Study Group, terdapat surplus 104 ribu metrik ton pada 2022 dan angkanya bisa menyentuh 223 ribu metrik ton pada 2023.

Pernyataan Kementerian ESDM pekan lalu membuka potensi bahwa surplus masih akan terjadi. Direktur Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno menyatakan rencana produksi sepanjang 2024 tak bakal jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. "Untuk 2024, karena ada penambahan satu smelter baru berkapasitas 1 juta ton, kira-kira tambahan produksinya sekitar segitu," tuturnya. Hingga saat ini pemerintah masih menyelesaikan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya untuk nikel sehingga belum ada angka total volume produksi untuk tahun ini.

Produksi nikel di Indonesia meningkat setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel mulai 2020. Pemerintah ingin menciptakan nilai tambah dengan menciptakan fasilitas pengolahan komoditas tersebut menjadi baja nirkarat hingga komponen baterai kendaraan listrik. Istilah yang sering kita dengar sekarang adalah penghiliran.

Pengamat komoditas dan founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono mengatakan tren produksi global juga belum menunjukkan penurunan. "Khususnya di Kanada, yang terus melakukan investasi baru," katanya. Minimnya tanda pelambatan produksi berarti surplus stok masih akan terjadi dan harga tetap turun. Kondisi tersebut bakal memperpanjang tren penurunan harga.

Produsen mobil listrik asal Tiongkok, Build Your Dreams (BYD), di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, 18 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Kalah Pamor oleh LFP

Untuk jangka panjang, Rizkia Darmawan menyebutkan faktor lain yang bisa mempengaruhi permintaan adalah perkembangan teknologi baterai. Pemerintah sibuk mempersiapkan diri terjun dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik dengan besarnya cadangan nikel. Namun sejumlah pelaku industri lebih tertarik pada baterai berbasis litium atau lithium ferro phospate (LFP).

Menurut Rizkia, LFP punya beberapa keunggulan ketimbang baterai berbasis nikel yang lebih dikenal dengan nickel, manganese, cobalt (NMC). Salah satu yang krusial adalah harganya yang lebih murah dibanding nikel. Kebijakan penutupan ekspor bijih nikel pada 2020 diikuti dengan kenaikan harga nikel dan terbatasnya stok. Kedua hal itu memicu produsen mencari alternatif, baik dari sisi harga maupun pasokan.

Itu sebabnya saat ini beragam perusahaan baterai dunia berfokus pada LFP, termasuk pabrikan Cina. Perusahaan seperti Contemporary Amperex Technology Co Limited atau CATL, BYD, hingga Wuling merupakan pengguna baterai LFP. Ketiga merek ini akan meramaikan industri kendaraan listrik ke depan di Indonesia.

Rizkia mengatakan kondisi ini bakal memicu permintaan yang cenderung stagnan ke depan. Dia memperkirakan dominasi serapan nikel masih untuk produksi baja nirkarat. "Sehingga untuk harga nikel kita anggap masih akan relatif flat sepanjang tahun ini, di kisaran US$ 13.500 per ton."

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan teknologi kedua baterai, baik NMC maupun LFP, tak terpaut jauh, dengan NMC lebih unggul. Baterai berbasis nikel mampu menghasilkan energi lebih baik. Namun seiring dengan kenaikan harga selepas larangan ekspor, perkembangan LFP melesat sebagai alternatif nikel. Kini produsen sudah bisa mengimbangi dari sisi energi, ditambah lagi LFP diklaim lebih aman.

Menurut Andry, peluang NMC untuk menyalip LFP masih terbuka. Pemerintah kini perlu memastikan agar segera ada industri baterai sampai hilir. Pengusaha bisa didorong untuk membayarkan bea keluar lebih besar terhadap produk olahan nikel tahap awal yang diekspor. "Jadi tidak ada alasan untuk tidak membangun fasilitas pengolahan turunan nikelnya," katanya.

Anjloknya harga nikel juga berimbas pada kinerja perusahaan di dalam negeri. Pada triwulan ketiga 2023, laba PT Vale Indonesia Tbk turun menjadi US$ 52,6 juta. Padahal, pada triwulan sebelumnya, laba emiten berkode INCO ini mencapai US$ 70,4 juta. Turunnya laba Vale disebabkan oleh anjloknya harga nikel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Vale Indonesia Bernardus Irmanto memperkirakan harga nikel terus merosot pada 2024. Untuk mengatasi hal tersebut, Vale Indonesia mengantisipasinya dengan menurunkan biaya produksi.

Anjloknya harga nikel juga mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya. Pada 20 Desember 2023, Nanjing Hanrui Cobalt memutuskan membatalkan rencana proyek smelter high pressure acid leach (HPAL) yang diproyeksikan berkapasitas 60 ribu ton. Alasan pembatalan tersebut adalah kondisi pasar yang tidak menguntungkan. Awalnya, smelter HPAL tersebut rencananya dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah, bekerja sama dengan Huaxin Investment Co.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykal Hubeis mendapati tak sedikit investor asing yang batal menggarap proyek smelter nikel. Padahal mereka sudah menghabiskan banyak waktu, dana, dan kajian riset.

Pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Tambang Nikel di Luar Negeri Berguguran

Di luar negeri, anjloknya harga nikel juga ikut memakan korban. Satu per satu tambang nikel rontok. Perusahaan milik miliarder Australia Andrew Forrest, Wyloo Metals, kemarin mengumumkan penutupan tambang nikel di Australia Barat lantaran harga nikel yang ambrol. Akibatnya, sekitar 1.000 pekerjanya dirumahkan.

Sebelumnya, perusahaan tambang Negeri Kanguru lainnya, Panoramic Resources, menghentikan sementara proyek nikel di Savannah, Australia barat, pada 8 Januari lalu akibat iklim industri nikel yang memburuk. Panoramic Resources gagal mendapat suntikan dana segar ataupun mitra untuk melanjutkan operasinya. PHK pun tak terhindarkan.

Adapun perusahaan tambang asal Kanada, Fist Quatum Ltd, pekan lalu mengungkapkan rencana pemangkasan produksi dan tenaga kerja di tambang Ravensthorpe, Australia, karena harga nikel yang turun drastis dan diperkirakan terus berlanjut dalam tiga tahun terakhir.

Bahkan pemain besar seperti BHP Groups Limited ikut terkena imbas merosotnya harga nikel. "Kami berjuang keras untuk bisa tetap kompetitif secara global di tengah kondisi operasi yang sangat berat," kata Jessica Farrell, Presiden BHP Nickel West Asset.  

VINDRY FLORENTIN | ANTARA | REUTERS
Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus