Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan kereta cepat kerap kali menimbulkan berbagai permasalahan di banyak negara, tak terkecuali bagi negara maju, seperti Amerika Serikat. Selain besar dan mahalnya biaya investasi yang dibutuhkan, lamanya waktu pengembalian modal juga menjadi alasan mengapa proyek kereta cepat seringkali berpolemik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, proyek kereta cepat berhasil diselesaikan dengan rute Halim – Tegalluar yang menghubungkan Jakarta dan Bandung. Proyek ini juga menghabiskan dana sangat besar, yakni lebih dari US$ 7 miliar dari hasil perusahaan patungan Cina-Indonesia. Angka ini belum ditambah dengan bunga utang Cina sebesar 3,4 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, belakangan diketahui pembengkakan biaya pembangunan kereta cepat menjadi di atas Rp 100 triliun. Alhasil, Indonesia membutuhkan suntikan dana tambahan yang dipinjam dari China Development Bank dengan bunga yang cukup tinggi per tahunnya.
Bahkan, usai peresmian KCJB, pemerintah berencana melanjutkan proyek Kereta Cepat untuk rute Jakarta - Surabaya atau KCJS. Rencananya proyek KCJS akan diluncurkan pemerintah mulai 2024 mendatang.
Tanpa perhitungan yang matang, proyek kereta cepat dapat menimbulkan kerugian jika biaya operasionalnya tidak dapat ditutup dari penjualan tiket. Oleh karena itu, tak heran apabila sejumlah negara maju belum menjadikan kereta cepat sebagai prioritas pengembangan transportasinya. Berikut pengalaman negara-negara yang akhirnya menghentikan proyek kereta cepatnya.
Amerika Serikat
Salah satu negara yang menghentikan proyek kereta cepat adalah Amerika Serikat. Bahkan, proyek kereta cepat di Negeri Abang Sam tersebut mangkrak karena sebagian infrastrukturnya sudah terlanjur dibangun.
Proyek ketera cepat California’s Bullet Train. .sfchronicle.com
Melansir dari laman kcra.com, proyek bernama California’s bullet train yang akan menghubungkan Los Angeles ke San Francisco itu menghadapi kendala lonjakan biaya dan potensi penundaan. Hal tersebut berdasarkan pembaruan informasi dari situs resmi proyek yang dirilis pada Maret 2023 lalu.
Para pejabat Otoritas Kereta Berkecepatan Tinggi (High Speed Rail Authority) menyatakan tidak dapat memberikan perkiraan tanggal selesainya proyek ini. Namun, mereka mengatakan bahwa biaya seluruh proyeknya kini telah mencapai US$ 128 miliar, meningkat 13 persen dari proyeksi tahun lalu.
Selanjutnya: Untuk membangun jalur kereta cepat,...
Untuk membangun jalur kereta cepat, Pemerintah Negara Bagian California menyetujui penerbitan surat utang senilai US$ 9 miliar pada 2008 silam. Sayangnya, bahkan setelah 15 tahun berlalu, proyek kereta cepat tersebut belum juga selesai.
Dalam pembaruan yang dirilis pada Maret lalu, anggota parlemen mengkritik proyek tersebut karena membuat negara bagian California menghadapi potensi kekurangan anggaran sebesar US$ 22,5 miliar pada tahun ini. beberapa anggota Partai Republik juga menyebut proyek kereta cepat sebagai “Hot Mess Express”.
“Warga California telah kehilangan kepercayaan terhadap proyek ini, dan Badan Legislatif juga telah kehilangan kepercayaan; ini sangat membuat frustasi,” kata Anggota Dewan Vince Fong, R-Bakersfield dikutip dari laman kcra.com. “Kita perlu mengakhiri proyek ini, mengambil sumber daya dan menginvestasikannya untuk hal-hal baik.”
Inggris
Pada awal bulan ini, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengumumkan pembatalan pembangunan jalur kereta cepat di wilayah utara, High Speed 2 (HS2). Dia mengumumkan hal tersebut saat berpidato di konferensi Partai Konservatif pada Rabu, 4 Oktober 2023. Adapun alasan pembatalannya adalah meroketnya biaya kereta cepat hingga berlipat ganda.
Untuk mengatasi dampak negatif dari pembatalan ini, Sunak memperkenalkan solusi alternatif dengan meluncurkan Network North. Pemerintah juga akan mengalokasikan dana sebesar US$ 43,6 miliar ke infrastruktur transportasi yang sudah ada, seperti jalan raya, sistem kereta api, dan bus.
Pada awalnya proyek HS2 diperkirakan akan menelan anggaran sekitar US$ 45,5 miliar dengan waktu penyelesaian pada 2016 silam. Namun ternyata, biayanya melambung hingga melebihi US$ 120 miliar dengan tenggat waktu penyelesaian yang ditunda menjadi 2040.
Sunak menyatakan bahwa peningkatan biaya ini terjadi karena masalah manajemen proyek yang buruk dan permasalahan dalam pelaksanaan konstruksi. Lonjakan biaya ini berujung pada penundaan proyek tersebut. Oleh karena itu, Sunak mengumumkan pembatalan proyek kereta cepat HS2 di Manchester karena berdampak pada ekonomi negara.
Selanjutnya: Malaysia-Singapura...
Malaysia - Singapura
Malaysia juga memutuskan untuk membatalkan proyek kereta cepat yang menghubungkan antara dua negara, Malaysia dan Singapura. Proyek bernama High Speed Rail ini awalnya direncanakan akan dibangun sepanjang 350 kilometer dengan titik utama Kuala Lumpur dan Singapura. Adapun perkiraan biaya pembangunannya adalah sekitar Rp 237 triliun.
Pada 2018, proyek ini ditangguhkan sementara waktu. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, sempat meninjau kesepakatan perdana menteri terdahulu dan memutuskan memperketat keuangan. Akhirnya, proyek ini ditangguhkan kembali.
Kereta Cepat Malaysia. shutterstock.com
Mei 2020 menjadi tenggat penangguhan proyek kereta cepat Malaysia-Singapura. Saat itu, Pemerintah Malaysia memutuskan untuk memperpanjang masa penangguhan kembali. Waktu penangguhan ini digunakan Pemerintah Malaysia dan Singapura untuk berdiskusi lebih dalam mengenai proyek ini.
Setelah diskusi yang panjang dan alot selama enam bulan, serta sudah mencapai tenggat penangguhan, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk membatalkan proyek kereta cepat itu. Kedua pihak mengumumkan pernyataan bersama tersebut pada 1 Januari 2020. Pemerintah Malaysia diwakili oleh Perdana Menteri Muhyiddin Yassin dan Pemerintah Singapura diwakili Perdana Menteri Lee Hsien Loong.
Dalam diskusi yang alot selama Mei-Desember 2020, kedua pihak berupaya untuk mengubah proyek kereta cepat setelah menghitung dampak ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19.
Menteri Ekonomi Malaysia, Mustapa Mohamed, menjelaskan bahwa kesepakatan pada 2016 tidak lagi fisibel jika diterapkan pada 2020, terlebih dengan pertimbangan kondisi fiskal yang terdampak pandemi Covid-19.
RADEN PUTRI | RYZAL CATUR ANANDA | SHARISYA KUSUMA RAHMANDA