PARA pengusaha karet di Sumatera Utara pekan lalu menundukkan
kepala. Bukan saja karena Dir-Ut PTP, O.B. Siahaan dinyatakan
hilang bersama empatorang lain dalam suatu kecelakaan pesawat
terbang Piper Aztec di jurusan Aek Nabara, Kamis pekan lalu.
Tapi provinsi yang mengekspor 90% karet Indonesia belakangan ini
makin meringkas produksinya. "Dalam sehari rata-rata hanya 15
truk yang masuk ke pabrik saya, dulu masih 25 truk," kata Soo
Yen, Dir-Ut PT Hock Lie.
Dir-Ut Soo, 73 tahun, cukup dikenal di kalangan karet Singapura
dan Malaysia. Memiliki dua remiling besar, kegiatan kerja di
pabriknya tak lagi sampai larut malam. Toh laki-laki tua yang
punya sembilan anak itu belum sampai mengeluarkan buruhnya.
"Mereka sebisa mungkin masih saya pertahankan, meskipun
pekerjaan berkurang."
Tapi yang berteriak lebih keras dari Dir-Ut PT Hock Lie adalah
M. Nuh Rangkuti, makelar dan pensuplai karet di Sum-Ut.
"Sekarang, mengumpulkan satu truk karet basah berkadar 40% saja
dalam seminggu sulitnya bukan main," kata Rangkuti. "Para petani
sudah makin malas menderes kebunnya." Menurut laki-laki setengah
baya itu, harga jual yang sekarang antara Rp 100 sampai Rp 200
per kilo, jelas tak memancing mereka lagi untuk memeluk pohon
karetnya setiap lepas subuh.
Dengan harga Rp 500 sekilo, dua tahun lalu Rangkuti merasa mudah
mengumpulkan dua truk (9 ton) karet basah dalam sehari. Kalau
tadinya karet kering yang dilever Rangkuti ke PT Hock Lie masih
Rp 750 sekilo, kini sudah dibanting menjadi hanya Rp 390. Ada
juga yang merasa dikejar-kejar bank, karena cicilan kreditnya
sudah jatuh waktu. Kalau terbayar bunganyasaja sudah syukur,"
kata Haji Siin Irawadi, Ketua Ikatan Perkebunan Swasta Nasional
di Medan.
Untung suara ketua IPSN itu tak sampai mewakili selur pengusaha
karet di sana. Fauzi Hasballah, 35 tahun, manajer PT Gotong
Royong di Medan merasa berterimakasih karena pemerintah telah
meluluskan permintaan kredit dengan bunga cukup rendah.
Berdasarkan paket ekspor Januari 1982, pemerintah memahg
menyediakan macam-macam fasiitas kredit, agar ekspor nonminyak
bisa lebih bersaing.
Tapi di pasaran Eropa dan AS, masih belum hilang kesan jelek
terhadap karet alam eks Indonesia, terutama dalam kualitas.
"Kita masih ketinggalan dengan Malaysia dan Muangthai, yang
sudah mampu memproduksi karet bermutu tinggi," kata kalangan
eksportir karet di Medan. Harga ekspor karet di Malaysia sendiri
amat terpukul selama tahun ini juga di Muangthai. Kalau dalam
tahun lalu harga ekspor rata-rata masih berkisar antara
229,50-230,50 sen $M per kg, sampai November ini sudah jatuh
antara 204,50-205,50 sen $M per kg --turun sebanyak 11 %.
Tak heran kalau PTP 111 -- yang memproduksi karet dan kelapa
sawit-sudah pasang kuda-kuda sejak awal 1982. Di PTP yang
dikepalai oleh O.B. Siahaan, memang belum terdengar ada buruh
yang kehilangan pekerjaan, dan produksi masih menggelinding dari
pabriknya di Aek Nabara, di Kabupaten Labuhan Batu. Ekspor ke AS
dan Eropa masih mampu dilayani sebanyak 1.500 ton sebulan untuk
jenis SIR-20, SIR-10 dan SIR-50 (di samping ekspor minyak sawit
dua ribu ton sebulan). "Tapi biaya produksi karet kita sudah
termakan pokok yang Rp 600 per kg. sedan harga jual
sekarang cuma Rp 450 per kg , kata humas PTP III, Banggas
Hutapea.
"Kalau kami mengerling ke harga jualnya, wah, memang tidak
enak," kat Dir-Ut Siahaan kepada TEMPO, beberapa hari sebelum
penerbangan yane naas itu. Dan Siahaan, mertua penyanyi Nur
Afni Octavia itu, memperkirakan, "kalau saja kita mampu bertahan
seperti sekarang dalam tahun 1983, maka selamatlah kegiatan
produksi perkebunan." Dia memang sudah berusaha mencari pembeli
baru di Korea Selatan, Jepang sampai pun ke Argentina.
Lain lagi dengan PT Paya Pinang. Per kebunan swasta yang
memiliki kebun 2.300 ha itu kini mengurungkan niat meremajakan
pohon karetnya. "Ditunda dulu, dan biayanya kami alihkan ke
sektor yang lebih penting," kata Dir-Ut Ma naf Nasution, 55
tahun, tanpa menjelaskan lebih jauh.
Yang agaknya sudah berantakan ad lah kebun milik petani peserta
P3RSU (Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sum-Ut), di
Kabupaten Labuhan Batu, sekitar 400 km dari Medan. Proyek Rp 13
milyar yang dibuka 6 tahun lalu dengan biaya pemerintah dan Bank
Dunia, sudah banyak ditinggalkan petani. Setiap petani peserta
mendapat dua hektar tanah dengan memilih tanaman keras sawit
atau karet dalam proyek seluas 7.300 hektar itu. Dikabarkan ada
177 KK yang menyingkir, akibal anjloknya harga karet dan
kurangnya penyuluhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini