Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memburu pembeli ke argentina

Produksi getah karet di sumatra utara turun, akibat anjloknya harga karet karena resesi dunia. para pengusaha karet/eksportir terpukul. (eb)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pengusaha karet di Sumatera Utara pekan lalu menundukkan kepala. Bukan saja karena Dir-Ut PTP, O.B. Siahaan dinyatakan hilang bersama empatorang lain dalam suatu kecelakaan pesawat terbang Piper Aztec di jurusan Aek Nabara, Kamis pekan lalu. Tapi provinsi yang mengekspor 90% karet Indonesia belakangan ini makin meringkas produksinya. "Dalam sehari rata-rata hanya 15 truk yang masuk ke pabrik saya, dulu masih 25 truk," kata Soo Yen, Dir-Ut PT Hock Lie. Dir-Ut Soo, 73 tahun, cukup dikenal di kalangan karet Singapura dan Malaysia. Memiliki dua remiling besar, kegiatan kerja di pabriknya tak lagi sampai larut malam. Toh laki-laki tua yang punya sembilan anak itu belum sampai mengeluarkan buruhnya. "Mereka sebisa mungkin masih saya pertahankan, meskipun pekerjaan berkurang." Tapi yang berteriak lebih keras dari Dir-Ut PT Hock Lie adalah M. Nuh Rangkuti, makelar dan pensuplai karet di Sum-Ut. "Sekarang, mengumpulkan satu truk karet basah berkadar 40% saja dalam seminggu sulitnya bukan main," kata Rangkuti. "Para petani sudah makin malas menderes kebunnya." Menurut laki-laki setengah baya itu, harga jual yang sekarang antara Rp 100 sampai Rp 200 per kilo, jelas tak memancing mereka lagi untuk memeluk pohon karetnya setiap lepas subuh. Dengan harga Rp 500 sekilo, dua tahun lalu Rangkuti merasa mudah mengumpulkan dua truk (9 ton) karet basah dalam sehari. Kalau tadinya karet kering yang dilever Rangkuti ke PT Hock Lie masih Rp 750 sekilo, kini sudah dibanting menjadi hanya Rp 390. Ada juga yang merasa dikejar-kejar bank, karena cicilan kreditnya sudah jatuh waktu. Kalau terbayar bunganyasaja sudah syukur," kata Haji Siin Irawadi, Ketua Ikatan Perkebunan Swasta Nasional di Medan. Untung suara ketua IPSN itu tak sampai mewakili selur pengusaha karet di sana. Fauzi Hasballah, 35 tahun, manajer PT Gotong Royong di Medan merasa berterimakasih karena pemerintah telah meluluskan permintaan kredit dengan bunga cukup rendah. Berdasarkan paket ekspor Januari 1982, pemerintah memahg menyediakan macam-macam fasiitas kredit, agar ekspor nonminyak bisa lebih bersaing. Tapi di pasaran Eropa dan AS, masih belum hilang kesan jelek terhadap karet alam eks Indonesia, terutama dalam kualitas. "Kita masih ketinggalan dengan Malaysia dan Muangthai, yang sudah mampu memproduksi karet bermutu tinggi," kata kalangan eksportir karet di Medan. Harga ekspor karet di Malaysia sendiri amat terpukul selama tahun ini juga di Muangthai. Kalau dalam tahun lalu harga ekspor rata-rata masih berkisar antara 229,50-230,50 sen $M per kg, sampai November ini sudah jatuh antara 204,50-205,50 sen $M per kg --turun sebanyak 11 %. Tak heran kalau PTP 111 -- yang memproduksi karet dan kelapa sawit-sudah pasang kuda-kuda sejak awal 1982. Di PTP yang dikepalai oleh O.B. Siahaan, memang belum terdengar ada buruh yang kehilangan pekerjaan, dan produksi masih menggelinding dari pabriknya di Aek Nabara, di Kabupaten Labuhan Batu. Ekspor ke AS dan Eropa masih mampu dilayani sebanyak 1.500 ton sebulan untuk jenis SIR-20, SIR-10 dan SIR-50 (di samping ekspor minyak sawit dua ribu ton sebulan). "Tapi biaya produksi karet kita sudah termakan pokok yang Rp 600 per kg. sedan harga jual sekarang cuma Rp 450 per kg , kata humas PTP III, Banggas Hutapea. "Kalau kami mengerling ke harga jualnya, wah, memang tidak enak," kat Dir-Ut Siahaan kepada TEMPO, beberapa hari sebelum penerbangan yane naas itu. Dan Siahaan, mertua penyanyi Nur Afni Octavia itu, memperkirakan, "kalau saja kita mampu bertahan seperti sekarang dalam tahun 1983, maka selamatlah kegiatan produksi perkebunan." Dia memang sudah berusaha mencari pembeli baru di Korea Selatan, Jepang sampai pun ke Argentina. Lain lagi dengan PT Paya Pinang. Per kebunan swasta yang memiliki kebun 2.300 ha itu kini mengurungkan niat meremajakan pohon karetnya. "Ditunda dulu, dan biayanya kami alihkan ke sektor yang lebih penting," kata Dir-Ut Ma naf Nasution, 55 tahun, tanpa menjelaskan lebih jauh. Yang agaknya sudah berantakan ad lah kebun milik petani peserta P3RSU (Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sum-Ut), di Kabupaten Labuhan Batu, sekitar 400 km dari Medan. Proyek Rp 13 milyar yang dibuka 6 tahun lalu dengan biaya pemerintah dan Bank Dunia, sudah banyak ditinggalkan petani. Setiap petani peserta mendapat dua hektar tanah dengan memilih tanaman keras sawit atau karet dalam proyek seluas 7.300 hektar itu. Dikabarkan ada 177 KK yang menyingkir, akibal anjloknya harga karet dan kurangnya penyuluhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus