Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia menyatakan belum menerima data pelanggaran penyelenggara fintech pendanaan online atau pinjaman online dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Sehingga, ujar Ketua Harian AFPI Kuseryansyah, pengaduan yang masuk melalui LBH Jakarta hingga kini masih belum bisa dituntaskan.
BACA: Bos OJK Larang Fintech Pinjaman Online Ambil Untung Terlalu Besar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"AFPI sudah beberapa kali berkomunikasi untuk menyelesaikan pengaduan nasabah ini, tapi pihak LBH Jakarta belum juga memberikan data dari pengaduan yang dimaksud," ujar Kuseryansyah di Kantor AFPI, Jakarta, Senin, 4 Februari 2019. Menurut dia, Otoritas Jasa keuangan juga telah meminta detail pengaduan konsumen tersebut namun hingga kini LBH Jakarta belum memberikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuseryansyah menyayangkan itikad baik dari asosiasi dan OJK untuk menyelesaikan persoalan itu masih tidak direspon dengan baik oleh LBH Jakarta. Ia berharap ke depannya, LBH Jakarta sebagai sebagai pihak penerima laporan bisa kooperatif guna menyelesaikan perkara itu.
Menurut Kuseryansyah, LBH seharusnya berlaku adil di dalam setiap tindakannya dan tidak boleh berat sebelah. "Begitu juga terkait laporan dari pelanggan yang masuk ke LBH terkait fintech pendanaan pendanaan online, sebaiknya LBH kooperatif kepada pihak yang dilaporkan dan berorientasi kepada penyelesaian masalah."
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, menyebut sejumlah pelanggaran baru yang dilakukan oleh penyedia jasa financial technology (fintech) pinjaman online atau peer to peer lending. Pelanggaran tersebut bukan hanya dilakukan oleh perusahaan yang tidak terdaftar, bahkan perusahaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melakukan itu.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jeanny Silvia Sari menyebutkan salah satu persoalan yang diadukan adalah penagihan dilakukan bukan hanya ke peminjam, namun ke kontak milik peminjam. Penyebaran data pribadi juga dilakukan, yang mengakibatkan peminjam mengalami ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual. Penyebaran foto dan informasi pinjaman disebar oleh penagih ke seluruh kontak milik peminjam.
Selain itu, kata Jeanny, kontak dan lokasi kantor penyelenggara pinjaman online tidak jelas. "Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang," ujar dia.
Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menyebut perlindungan konsumen fintech pinjaman online adalah hal yang serius. Sehingga, ia berharap semua pihak memberikan informasi yang lugas dan transparan untuk menyelesaikan perkara itu. Dengan demikian, asosiasi dapat mengambil tindakan administratif yang tegas apabila ada pelanggaran.
"Jika memang ada pengaduan yang melibatkan anggota asosiasi, akan kami selesaikan," ujar Sunu. Hanya saja, untuk pengaduan terkait perusahaan di luar anggota asosiasi, alias fintech yang tidak terdaftar di OJK, akan diteruskan ke pihak kepolisian.
Sebagai tindakan preventif, Sunu mengatakan AFPI sudah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct fintech peer to peer lending. Di dalam aturan itu, ada larangan bagi platform untuk mengakses kontak dan memberlakukan penetapan total biaya pinjaman online tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari dengan maksimal 90 hari.