Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat orang sakit, perbankan Indonesia sudah tahap koma. Itu kalau main pukul rata. Memang ada satu-dua yang lumayan, tapi jumlahnya tak sampai belasan. Jauh lebih banyak lagi, bisa ratusan, bank yang mestinya sudah mati, sudah kukut.
Lihat saja. Menurut standar internasional, jumlah kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) yang bisa ditolerir cuma lima persen dari total kredit. Jika NPL sudah 10 persen itu lampu kuning. Bank masuk kategori bangkrut jika kredit bermasalahnya di atas 20 persen.
Bank-bank di Indonesia? "Rata-rata NPL-nya sudah 50 persen," kata Menteri Keuangan Bambang Soebianto suatu kali. Lin Che Wei, Direktur Riset SocGen Global Equity, sebuah lembaga investasi ternama di Jakarta, malah menaksir kredit bermasalah di perbankan sudah mencapai 75 persen.
Borok kredit macet ini memang bukan semata karena kebobrokan para bankir. Krisis moneter punya andil amat besar. Untuk meredam inflasi, bank sentral mencekik likuiditas. Bunga naik gila-gilaan, roda bisnis seret. Ini memompa jumlah kredit macet. Bagaimana mungkin penerima utang mampu membayar cicilan bank yang naik dua atau tiga kali lipat, sedangkan pendapatan cenderung menurun?
Bank yang memberikan kredit dalam dolar lebih celaka lagi. Setahun terakhir, harga dolar berlipat empat kali. Begitupun nilai pinjaman dolar. Akibatnya, jumlah kredit melampaui nilai agunan. Peminjam mana yang masih mau repot-repot membayar utang yang sudah lebih besar daripada jaminannya?
Bukan cuma itu. Selain mengerek kredit macet, lonjakan harga dolar juga menggenjot nilai aset. Akibatnya, tingkat kecukupan modal alias CAR, yang dihitung berdasarkan rasio modal terhadap aset berisiko, merosot drastis. Kalau perbankan internasional menetapkan standar CAR delapan persen, Menteri Bambang sudah gembira jika CAR bank kita empat persen saja.
Nah, bagaimana mengobati kedua bengek perbankan itu? Cuma ada satu tonikum: injeksi modal. Kredit macet akan dihapus dari pembukuan bank, dengan dana cadangan penghapusan kredit macet (provisi). Besarnya dana provisi ini harus sejumlah kredit macet yang digusur. Jika total kredit perbankan Indonesia Rp 600 triliun, untuk menggasak 50 persen kredit macet tadi dibutuhkan dana provisi Rp 300 triliun.
Cuma, soalnya, siapa yang punya duit segede itu? Di sinilah program rekapitalisasi tadi akan ambil kendali. Jika memenuhi syarat, bank-bank akan disuntik modal baru. Pemerintah akan menambah injeksi modal maksimum Rp 4 untuk tiap rupiah yang disuntikkan pemegang saham atau investor. Dengan komposisi itu, paling banter pemerintah akan menanggung Rp 240 triliun (80 persen dari Rp 300 triliun) untuk penyehatan perbankan.
Ini bukan beban yang ringan, tentu saja. Jumlah itu hampir dua kali APBN atau separuh produk domestik bruto tahun ini. Hanya, pemerintah agaknya tak punya pilihan. Bank-bank bobrok itu bisa saja diberangus izinnya atau dibiarkan mati sekarat. Tapi, selain tak menyelesaikan masalah, jurus itu juga tetap menghabiskan biaya. Pemerintah sudah kadung menjamin seluruh kewajiban bank. Kalau banknya ditutup, dana masyarakat yang mondok di bank-bank itu mesti dibayar.
Tentu saja ini tanggungan yang tak kalah berat. Kalau simpanan rupiah, mungkin bisa diatasi dengan cetak duit, tapi kalau dolar? Ferry Hartoyo, analis perbankan dari Vickers Ballas Tamara, sebuah perusahaan sekuritas di Jakarta, menaksir ada sekitar US$ 14 miliar dana publik yang mangkal dalam nominal dolar di perbankan nasional. Jika jumlah itu harus ditebus, bisa-bisa cadangan devisa kita akan terkuras habis.
Pertanyaannya, dengan pengorbanan sebesar itu, apakah program rekapitalisasi ini akan membugarkan perbankan kita. Banyak yang tak yakin. Ferry melihat bahwa syarat untuk menggaet bantuan modal itu amat sulit. Pemilik bank harus membayar pelanggaran batas maksmium kredit ke kelompok sendiri lebih dulu.
Ini tak mudah. Ferry menaksir bahwa kredit ke kelompok sendiri amat besar. Patokannya, bank raksasa seperti BCA dan Danamon saja pinjaman ke grupnya sudah mencapai 70 persen. Menurut Ferry, "Bank yang lebih kecil pasti lebih dahsyat." Padahal, menurut peraturan pemerintah, kredit ke grup sendiri yang diizinkan cuma sepertiga dari modal bank.
Karena jumlah kredit rata-rata 14 kali modal, itu berarti pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) perbankan kita mencapai 30 kali lipat dari yang diizinkan. Dengan tingkat pelanggaran sedahsyat itu, pemilik bank mesti jungkir balik untuk melunasinya. Pukul rata, untuk membayar BMPK, para pemilik harus menyetor duit sekitar 10 kali lipat modal bank. Siapa yang mampu?
Sebenarnya, jika pelanggaran BMPK bisa diatasi, bank bisa dibilang siuman. Agar lebih mudah memahaminya, kita bisa lihat model umum neraca perbankan. Dengan pelunasan kredit ke grup sendiri, bank-bank bisa menutup pos pinjaman (kolom kanan) dan menambah aset lancar (kolom kiri). Dengan cara ini, bank bisa menggembosi asetnya sekaligus mengurangi kredit macet. Kalau ini dilakukan, program rekapitalisasi bisa dilakukan tanpa berdarah-darah.
Selain soal kesulitan dalam pelunasan BMPK (sekaligus kredit macet), Lin Che Wei melihat program injeksi modal kali ini berlawanan dengan ide "bank pilar" beberapa waktu lalu. Pada konsep bank pilar, pemerintah mendorong bank-bank yang sehat untuk menjadi sokoguru perbankan. Tapi, dengan rekapitalisasi ini, pemerintah cuma menolong bank-bank kelas dua, yang kecukupan modalnya sudah begitu payah. Bank-bank yang modalnya masih oke malah tak digubris. Bagi Che Wei, yang namanya penyehatan itu untuk yang sakit. "Kalau sudah mati, bagaimana mengobatinya?" katanya.
DSI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo