Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boleh jadi para pemain saham itu bercanda. Tapi memang keberanian menempuh risiko itulah yang tampak ketika perusahaan asal Meksiko, Cementos Mexico SA alias Cemex, akhirnya memenangi tender penjualan saham Semen Gresik milik pemerintah RI. Penawaran Cemex, sebesar US$ 1,38 untuk tiap saham Semen Gresik, ternyata tak ada yang menyaingi. Dengan kemenangan ini, Cemex akan mengantongi 14 persen (sekitar 83 juta unit) saham Semen Gresik dengan bayaran US$ 115 juta.
Jika dibandingkan dengan harga di bursa Jakarta, tawaran Cemex memang luar biasa. Sebulan terakhir harga Semen Gresik cuma berkisar antara Rp 6.000 dan Rp 8.000 per saham (lihat grafik). Jika dirupiahkan, dengan kurs Rp 10 ribu per dolar saja, tawaran Cemex mencapai Rp 13.800, hampir dua kali lipat harga di pasar.
Padahal, semen bukan bisnis yang menggiurkan. Setidaknya dalam lima tahun ke depan, pasar semen domestik tetap melempem. Pasokan melimpah, tingkat konsumsinya loyo. Dengan kondisi perekonomian yang carut-marut, bisnis properti dan konstruksi (konsumen utama semen) baru menggeliat tujuh sampai sepuluh tahun mendatang.
Lalu mengapa Cemex seberani itu? Ada banyak jawaban. Ada yang bilang, pengusaha Meksiko sudah terbiasa menghadapi perekonomian yang lumpuh. Krisis dan resesi di Indonesia tak lagi membuat mereka kaget atau gentar. Tapi, ada juga yang yakin, Cemex punya agenda tersembunyi. Salah satunya, dengan pembelian ini, Cemex punya kesempatan mendikte Semen Gresik.
Caranya? Tak banyak yang tahu, pembelian saham ini diikuti embel-embel. Cemex punya opsi (pilihan) untuk membeli minimal 4 juta ton, sekitar 30 persen dari total produksi Semen Gresik, setiap tahun. Dengan opsi ini, Cemex bisa mengontrol pasokan semen di wilayah pasar yang dikuasainya.
Karena dolar terus melambung, ongkos produksi semen di Indonesia tergolong paling murah di dunia. Harga semen dari pabrik di Gresik, misalnya, cuma sekitar Rp 200 ribu per ton. Ini setara dengan US$ 20 (pada kurs Rp 10 ribu per dolar). Padahal, di belahan Benua Amerika bagian utara (Kanada dan Amerika Serikat) harga bubuk abu-abu itu sudah US$ 60 per ton. Untuk membawa semen sampai ke AS, misalnya, cuma perlu ongkos transpor US$ 20 per ton.
Jadi, andai saja bisa mengekspor, pabrik semen di Indonesia akan untung besar. Di atas kertas, masih ada untung bersih US$ 20 per ton atau sekitar 33 persen dari nilai penjualan. Sayangnya, industri semen lokal, seperti Semen Gresik, belum punya jaringan pemasaran untuk ekspor yang andal.
Namun, potensi ini tetap mengancam industri semen di luar negeri. Perusahaan semen raksasa seperti Cemex (terbesar ketiga dunia) gentar. Karena itulah para raksasa itu kini sibuk melahap perusahaan semen di Asia Tenggara. Menurut perhitungan Arief Kuswanto, analis industri semen dari HSBC Securities, gelombang akuisisi itu bisa mengontrol potensi pabrik semen Asia melakukan ekspor.
Dalam hal Semen Gresik, kontrol itu memang belum bisa dilakukan Cemex sepenuhnya saat ini. Dengan cuma 14 persen saham di kantong, Cemex memang tak bisa berbuat banyak. Manajemen Semen Gresik masih dikuasai pemerintah.Tapi Cemex sedikitnya bisa "mencegah" Gresik mengekspor lebih dari 4 juta ton--batas minimal semen yang harus mereka beli.
Dan jangan lupa, Cemex tak akan berhenti sampai di situ. Mereka akan membeli 6 persen lagi dari bursa. Selain itu, sebagai mitra tunggal pemerintah di Semen Gresik, Cemex punya kesempatan pertama untuk membeli saham yang, siapa tahu, akan dilepas pemerintah, kelak.
Jadi, jangan kaget kalau suatu kali nanti para senor Meksiko sudah menjadi bos besar di Semen Gresik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo