Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Jebol Setelah 32 Tahun

Indonesia mendapat status bebas wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada 1990. Pemerintah saat itu menjalankan crash program dengan biaya besar.

14 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah menggelontorkan dana US$ 1,66 miliar untuk memberantas PMK pada 1983-1988.

  • Indonesia mendapat status bebas PMK dari OIE pada 1990.

  • Pemerintah menduga virus PMK berasal dari hewan selundupan, tapi ada dugaan virus ini muncul selepas pelonggaran aturan impor.

SOFJAN Sudardjat Djaja Logawa masygul begitu mendengar kabar wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) muncul lagi di Indonesia sejak April lalu. Padahal, kata dia, wabah PMK tak pernah terdengar sejak 1986. Bahkan empat tahun kemudian Indonesia dinyatakan bebas PMK oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE). "Saya sangat miris dan sedih,” ucap mantan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian tersebut kepada Tempo, Jumat, 13 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1983-1988, Sofjan tergabung dalam Tim Pemberantasan PMK Nasional. Sofjan, yang saat itu berusia 37 tahun, menjabat Kepala Subdirektorat Wabah Direktorat Kesehatan Hewan Departemen Pertanian. Selama lima tahun Sofjan dan timnya menjalankan metode yang ia sebut crash program.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam program itu ada beberapa agenda utama, antara lain vaksinasi massal ternak di semua daerah tertular, pemusnahan atau stamping out ternak yang sakit, pengawasan lalu lintas ternak, isolasi ternak, dan penutupan sementara pasar ternak. Pemerintah juga menjalankan evaluasi dengan tindak pengawasan secara klinis, laboratoris, dan epidemiologis setelah ternak divaksin selama dua tahun berturut-turut.

Menurut Sofjan, program lima tahun itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran semua pihak yang terlibat. Selain tim pemerintah, ada ratusan mahasiswa kedokteran hewan dari berbagai kampus, seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga, yang turut serta. “Ada 500 mahasiswa," tuturnya. Pemerintah daerah, petani, dan peternak juga terlibat.

Ongkos program pun tak sedikit. Seingat Sofjan, pemerintah membelanjakan anggaran dana hingga Rp 55 miliar atau senilai Rp 4 triliun jika memakai hitungan saat ini. Usaha susah payah tersebut, menurut dia, menjadi sia-sia setelah wabah PMK merebak lagi. "Dana dan tenaga yang besar jadi mubazir.”

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan, dana yang digelontorkan dalam program pemberantasan wabah PMK pada 1983-1988 mencapai US$ 1,66 miliar. Bantuan juga datang dari luar negeri, seperti kendaraan operasional dan vaksin. Setelah crash program berjalan, dua tahun berikutnya atau pada 1988-1990 pemerintah menjalankan pengawasan dan pemantauan.

Pensiunan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Bachtiar Moerad, menyebutkan ledakan kasus PMK pada 1980-an terjadi di kawasan kantong ternak, seperti Pulau Jawa. Sedangkan di Provinsi Riau, tempat Bachtiar berdinas kala itu, tak ada kasus PMK. Tapi, karena program pemberantasan wabah bersifat massal, kerja keras banyak pihak itu, Bachtiar menambahkan, terjadi di semua wilayah. "Ini sejarah panjang. Ternyata menjaga status bebas PMK itu berat," katanya, Jumat, 13 Mei lalu.

Pengakuan status bebas PMK oleh OIE pada 1990 menjadi puncak upaya untuk lepas dari wabah yang ada sejak 100 tahun lalu tersebut. Kasus PMK pertama kali ditemukan pada 1887 di Malang, Jawa Timur, diduga berasal dari sapi perah asal Belanda. Penyakit ini dengan cepat menyebar ke daerah lain. Sempat mereda pada 1980-1982, kasus baru kembali muncul di Blitar, Jawa Timur, pada 1983.

Kini, 32 tahun kemudian, kasus PMK kembali terjadi, ditandai dengan surat dari Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Indyah Aryani kepada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Dalam surat bertanggal 5 Mei 2022 itu, Indyah membeberkan temuan kasus PMK di Gresik pada Kamis, 28 April lalu. Saat itu ada 402 sapi potong di 22 desa di lima kecamatan yang mengalami gejala klinis PMK.

Pada Ahad, 1 Mei lalu, PMK berjangkit di beberapa kecamatan dan desa di Lamongan dan Mojokerto. Dua hari kemudian, penyakit itu terdeteksi di 19 desa di sembilan kecamatan di Mojokerto. Beragam spekulasi lantas muncul mengenai sumber penyakit yang berasal dari virus tipe A keluarga Picornaviridae genus Aphthovirus itu.

Dalam paparannya, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah menduga virus PMK menular dari domba atau kambing selundupan dari Malaysia atau Thailand. Hewan-hewan itu masuk dari Kepulauan Riau, kemudian dibawa ke Lampung dan menyeberang ke Jakarta. Dari Jakarta, domba dan kambing itu dikirim ke Kebumen dan Wonosobo, Jawa Tengah.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menduga penyakit mulut dan kuku ternak ini bisa masuk ke Indonesia lantaran meningkatnya impor daging dan ternak dari negara-negara yang belum sepenuhnya bersih dari PMK. Peningkatan ini terjadi setelah pemerintah melonggarkan aturan impor ternak lewat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 yang mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-undang baru ini diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.

Aturan ini memungkinkan importir mendatangkan daging atau ternak dari negara yang belum bebas dari PMK tapi berada di zona atau kawasan yang dinyatakan tidak terjangkit PMK. Sebelumnya, pemerintah menerapkan ketentuan country-based atau mewajibkan importir mendatangkan daging hanya dari negara yang sudah dinyatakan bebas PMK. "Diduga karena impor daging, sapi, dan ternak lain yang terus meningkat dari negara-negara yang masih terkena wabah PMK," ucap Henry.

Mantan penyidik penyakit ternak, Soeharsono, juga menduga aphthovirus yang menyebabkan PMK kali ini berasal dari daging kerbau yang diimpor dari India. Indonesia sempat mengimpor daging kerbau beku dari India sebanyak 36 ribu ton saat harga daging sapi melonjak menjelang Idul Fitri lalu. "Bisa saja ketika diperiksa kerbaunya sudah sembuh, tidak ada gejala, tapi menjadi carrier. Virus di daging kerbau bisa bertahan lama," tuturnya.

Soeharsono adalah penyidik penyakit hewan dari Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar pada 1980-an. Dia terlibat dalam tim pemberantasan PMK 1982-1983 yang saat itu dipimpin Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian I G.N. Teken Temadja. "Ini timnya memang besar, saya sempat terlibat dalam rapat-rapat koordinasi di Jakarta setiap dua dan tiga bulan sekali," katanya.

Selama masa penyidikan, Soeharsono berkeliling ke berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Luar biasa capeknya berada di lapangan setiap hari. Mengetahui setelah lebih dari 30 tahun muncul kasus lagi, pekerjaan saat itu seperti sia-sia," ujarnya.

Longgarnya aturan impor daging dan ternak menuai reaksi keras. Pada 2009, Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) yang saat itu dipimpin Teguh Boediyana mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi, mempersoalkan aturan impor daging berdasarkan zona. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan itu pada Agustus 2010. "Kami minta jangan sampai ada pasal yang mengizinkan impor berbasis zona," ucap Teguh, Rabu, 11 Mei lalu.

Kemenangan PPSKI saat itu rupanya hanya bertahan sementara. Pemerintah menilai impor dengan basis negara membatasi sumber pasokan. Aturan tentang country-based pun kembali diubah sehingga impor memakai basis kawasan atau zone-based pada 2014. Ini yang kemudian memicu masuknya daging dari India dan Brasil yang belum dinyatakan bebas PMK.

Masuknya impor daging dari India turut didorong keinginan Presiden Joko Widodo menyediakan daging murah. Jokowi memerintahkan sejumlah menterinya berupaya agar harga daging sapi bisa di bawah Rp 80 ribu.

Pemerintah kemudian membuka keran impor daging kerbau dari India sebanyak 70 ribu ton sampai akhir 2016 dan tambahan 30 ribu ton pada semester pertama 2017. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik menjadi importirnya. Tahun ini, Bulog memiliki kuota impor 100 ribu ton, naik 20 ribu ton dari tahun lalu. "Sudah hampir separuh yang datang atau sekitar 36 ribu ton," tutur Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal. Dia menjamin daging impor sudah melewati proses verifikasi. "Sudah mendapat standar penentu kualitas daging," kata Iqbal.

Iqbal tak banyak berkomentar tentang kasus PMK dan kelanjutan impor daging. "Kami hanya melakukan atas dasar penugasan. Yang sudah diizinkan ekspor ke Indonesia adalah perusahaan yang sudah diverifikasi," ujarnya.

Sedangkan PT Berdikari menerima penugasan impor daging sapi asal Brasil sebanyak 20 ribu ton. Direktur Utama Berdikari Harry Warganegara mengatakan sudah memesan 6.500 ton daging yang akan masuk pada akhir bulan ini.

Harry juga menjamin keamanan daging yang diimpor dari Brasil. Alasannya, dia menjelaskan, sudah 15 tahun tidak ada wabah PMK di negara tersebut meski masih ada vaksinasi. "Pemotongan sapi dan pengiriman daging didahului pemeriksaan laboratorium," ucapnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi, Berdikari berencana mengimpor sapi bakalan dari Australia yang sudah terdaftar sebagai negara bebas PMK.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus