SOAL larangan impor ramai lagi. Ketika memberi ceramah di depan
peseta Seminar KADIN, di hotel Sheraton Indonesia, Jumat, 11
Juli 1980, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro
memang menyebut: Larangan impor beberapa barang tertentu akan
diabut. Reaksi keras dikeluarkan Hasyim Ning, Ketua Umum
KADIN Pusat menentang rencana pencabutan larangan Impor
tersebut. Dari Rachmat Mulyomiseno dari Komisi VII juga
menentangnya.
Tapi sebelum komentar menentang kebijaksanaan itu mcluas, pihak
Departemen Perdagangan dan Koperasi mengeluarkan penjelasan.
Isinya pencabutan larangan itu, ternyata ditujukan hanya buat
sarung plekat.
Ekspor ke Arab
Sebelumnya, di depan peserta Seminar KADIN, di Ramayana Room
hotel Sheraton Indonesia, Menteri Perdagangan Radius memberikan
ceramah panjang lebar. Kebijaksanaan yang semula dimaksudkan
untuk melindungi industri dalam negeri itu, menurut Menteri,
tidak bisa dilakukan terus menerus. Maka bersama Menteri
Perindustrian, demikian Radius, telah dispakati untuk
membolehkan masuk bebrapa barang-barang tertentu yang dikenakan
bea masuk tinggi. "Proteksi sebenarnya merupakan obat yang baik
untuk melindungi ekonomi nasional. Tapi untuk Jangka panjang,
justru akan memukul diri sendiri," kata Radius.
Benarkah hanya sarung plekat? Kepala Humas Deperdagkop jukri
Alimudin mengakui secara bertahap larangan impor itu akan
dicabut satu persatu. Sjukri mengatakan plekat didahulukan,
karena memang barang itu toh terus masuk. "Terutama dari
Pelabuhan Sabang. dibawa oleh inang-inang," katanya.
Beberapa pedagang dan grosir eceran sarung plekat di Pasar
Tanah Abang Jakarta, rata-rata terkejut. "Plekat dalam negeri,
mulai digemari. Jika plekat impor masuk, bisa-bisa plekat dalam
negeri tak laku," kata pedagang sarung Zain Al hadi.
Katanya, ada tiga sarung plekat impor (dari India) yang terkenal
dan memang pernah digemari masyarakat Indonesia: Moulana, Gajah
dan cap Kursi. "Memang Moulana itu, sarung plekat yang laku,
tetapi jika dia tak ada, mau tak mau masyarakat akan membeli
buatan dalam negeri," katanya.
"Dibandingkan dengan Moulana buatan India, sarung plekat kita
sekarang sudah dapat bersaing. Hanya sedikit kalah halus dalam
benang tenunnya," kata Adhyatma, pedagang plekat di Pasar Tanah
Abang. Tapi kelebihan halus itu sebenarnya telah dapat ditutupi
karena, "sarung plekat buatan dalam negeri ukurannya lebih besar
daripada sarung impor," katanya. "Bahkan sejak 1972 Indonesia
sebenarnya sudah mulai ekspor sarung plekat ke Arab Saudi dan
Afrika."
Pedagang plekat yang biasa dikenal sebagai "tuan Ong" itu
mengakui, meskipun dilarang impor di pasaran ternyata masih
dapat juga dibeli sarung Moulana buatan Madras, India itu.
Perbedaan harga memang ada, antara Rp 500-Rp 750 per lembar.
Rata-rata sarung plekat buatan dalam negeri, seperti cap Bintang
Gajah, cap Manggis dan Tempat Sirih dijual di pasaran antara Rp
3000 sampai Rp 4000 per lembar. Cap Manggis, menurut Adhyatma,
sejak 1952 telah diekspor ke Singapura. Baru belakangan ini cap
Bintang Gajah menyusul diekspor ke Arab Saudi dan Afrika.
Keduanya keluaran pabrik di Bandung.
Tapi ada juga pedagang sarung di Tanah Abang beranggapan tak
banyak pengaruhnya, jika pun Moulana masuk ke pasaran. "Kan
pasti, harga sarung impor itu lebih mahal dari buatan dalam
negeri," katanya. Dia mengakui masyarakat di sini belum mantap
mencintai produk sendiri. "Bisa jadi banyak yang memaksakan diri
membelinya, karena prestise," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini