Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bali menggugat sukreni

Sinetron sukreni gadis bali yang disiarkan rcti di kritik. dinilai tak sesuai dengan adat dan budaya bali serta gagal menggambarkan potret masyarakat bali

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU sekali RCTI menayangkan sinetron berdasarkan karya sastra dengan latar belakang budaya daerah, eh, dikritik. Sinetron itu tiada lain Sukreni Gadis Bali, produksi Esa Production, diangkat dari novel dengan judul sama karya Anak Agung Panji Tisna. Sejak pertama kali sinetron yang enam episode itu disiarkan setiap Minggu malam pada pertengahan November sampai Desember lalu, surat kabar Bali Post berturut-turut menyiarkan kritik yang dilontarkan masyarakat Bali. Tak kurang dari Bupati Buleleng, Ketut Ginantra, menganggap sinetron itu tak sesuai dengan ''napas'' pengarang novel di zaman Pujangga Baru tahun 1940-an itu. Kritik juga dilontarkan Anak Agung Made Udayana, salah seorang anak almarhum Panji Tisna. Ia melihat sinetron itu gagal menggambarkan potret masyarakat Bali. Misalnya, adanya babi yang lazim di masyarakat Bali, dalam sinetron itu diganti dengan kambing. Lalu ada orang Bali yang ke mana-mana selalu mengenakan destar, termasuk ketika memanjat pohon. Ini tidak lazim. Ikat kepala itu hanya dipakai dalam upacara keagamaan atau oleh orangtua dalam keadaan ''suci''. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus tak ketinggalan. Menurut kepala Pusat Pengkajian Budaya Universitas Udayana ini, adegan pemerkosaan terhadap Sukreni terlalu kasar. Padahal, katanya, pengarangnya sangat halus menggambarkan pemerkosaan itu. Penggambaran warung kopi yang menjajakan seks, menurut Ngurah Bagus, sangat menyesatkan. ''Dulu warung seperti itu merupakan tempat ngobrol para petani. Kalau yang menunggu warung berwajah cantik, itu biasa. Tapi tidak menjajakan seks,'' tambahnya. Kritik lebih mendetail datang dari Sunaryono Basuki Ks., M.A., dosen IKIP Negeri Singaraja. Misalnya ketika Mantri Polisi berdialog dengan bawahannya tak mungkin menyebut dirinya tiyang (saya), mestinya icang (artinya sama: saya). Adegan Pak Mantri yang duduk sama rendah dengan bawahannya juga janggal. ''Zaman dulu, pemandangan seperti itu tidak mungkin terjadi,'' kata Sunaryono yang juga sastrawan itu. Dialog antara Sukreni dan suaminya juga dikritiknya. Dalam sinetron ini, Sukreni menyapa suaminya dengan sebutan beli, mestinya ratu. ''Ini fatal. Di sini jelas sutradara tidak mengarahkan secara benar,'' katanya. Pengambilan gambar di tempat-tempat terkenal sebagai tujuan wisata, seperti Tanah Lot, dinilainya seperti promosi pariwisata. Dalam cerita asli, ada tempat yang disebut nyegara gunung, yaitu daerah perbukitan dan pantai laut yang tampak dalam satu pemandangan, yang tidak tergambarkan dalam sinetron. Munculnya tari kecak juga dikritik. Tari itu tidak ada di Singaraja, tempat cerita berlangsung. ''Dan dalam cerita asli memang tidak ada tari kecak,'' ujar Sunaryono tertawa. Menghadapi berbagai kritik itu, Maman Firmansyah, sutradaranya, mengaku memang kurang menguasai adat dan budaya Bali. Apalagi waktu untuk riset tidak cukup, sementara shooting-nya pun hanya selama 40 hari. Ia hanya menyutradarai episode 4 dan 5, sedangkan episode 1 sampai 3 ditangani Tatang Supria. Untunglah ada petugas Pemerintah Daerah Bali yang menjadi penasihat bidang agama dan budaya tempat ia berkonsultasi. Mengenai skenario yang dituduh tak sesuai dengan naskah asli, Maman menyarankan agar orang membaca dulu roman itu dan mengetahui proses penulisannya. Katanya, roman tersebut ditulis tidak tuntas, pengarangnya pernah istirahat selama dua atau tiga tahun. Banyak tokoh yang tiba-tiba muncul, misalnya Mantri Polisi. ''Karena itu, dalam setiap episode ada tokoh baru yang tak ketahuan latar belakanganya,'' kata Maman. Katanya pula, Sukreni sebenarnya bukan tokoh utama, ia hanya tokoh yang dibicarakan. Tokoh utamanya ialah Ni Negara. Ia juga punya kesan bahwa novel tersebut belum selesai. Itu sebabya ia memberanikan diri mengubah cerita penutupnya. Tapi mengenai skenario yang dinilai tidak pas dengan cerita asli, siapa yang berhak menilai? Itulah tawaran pemikiran yang dilontarkan oleh Eduard Depari, Humas RCTI. Benar juga, sebab penulis skenario kadang kala melakukan penafsiran kembali. Apalagi bila cerita aslinya memang kurang layak untuk ditampilkan secara visual. Tapi bahwa ciri khas Bali, termasuk dialek para pemainnya, kurang pas, hal ini diakui sebagai kelemahan. Menghadapi kritik-kritik itu, RCTI mengambil hikmahnya. ''Selama ini yang diperiksa hanya skenarionya, sedangkan penggarapan di lapangan dianggap merupakan tanggung jawab produser. Tahun depan orang RCTI akan turun ke lapangan untuk memberikan supervisi,'' kata Eduard Depari. Di balik kritik tadi, ternyata ada persaingan antara TVRI dan RCTI. Sukreni semula proyek TVRI Pusat. Lewat TVRI Denpasar, Sunaryono Basuki diminta menyusun skenarionya. Izin dari Balai Pustaka dan ahli waris pengarangnya juga sudah dimiliki TVRI. Proyek itu mandek karena, menurut Kepala Stasiun Pusat TVRI Halim Nasir, ''terbentur dana''. Uniknya, Esa Production juga mengaku mengantongi izin dari penerbit dan ahli waris A.A. Panji Tisna, dan lebih dulu memproduksinya. Budiman S. Hartoyo, Diah Purnomowati, Dwi S. Irawanto, Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus