Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hilmi Panigoro tak mau berlama-lama menunggu respons pemerintah soal rencananya mengelola PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Hanya selang beberapa hari setelah mengirimkan surat kepada Kementerian Keuangan pada akhir Juni lalu, Presiden Direktur Medco Group ini mencari jawaban ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Kepada Sudirman, ia menanyakan peluang swasta menguasai aset pengolahan minyak di Tuban, Jawa Timur, yang kini tak lagi beroperasi itu. Menurut Hilmi, mantan Direktur Utama PT Pindad itu patut ditanya karena kementeriannya memegang ranah teknis. "Jawaban Pak Sudirman: opsi pengelolaan swasta sudah pernah dibahas pemerintah," kata Hilmi saat ditemui pada Selasa dua pekan lalu.
Adik pengusaha Arifin Panigoro ini tak lantas jemawa mendengar jawaban Sudirman. Gara-garanya, masih ada lanjutan penjelasan dari Menteri Energi: pemerintah tetap memberikan prioritas kepada PT Pertamina. Jika Pertamina tidak mau mengambil TPPI, barulah akan diputuskan untuk dilepas ke swasta. "Jadi saya tanya lagi, kami mesti bagaimana? Katanya, tunggu saja dulu karena Pertamina sedang due diligence," Hilmi menceritakan isi pertemuannya dengan Sudirman.
Niat Medco mengakuisisi TPPI bermula sejak setahun lalu. Hilmi melirik potensi besar dari kilang Tuban ini sejalan dengan rencananya mewujudkan perusahaan energi yang ideal. Ia ingin mengintegrasikan bisnis dari hulu ke hilir. "Dengan kondisi harga minyak menurun, kebutuhan untuk integrasi menjadi semakin besar. Jadi kami coba," ucapnya.
Medco bukannya tak punya pengalaman dalam kegiatan pengolahan. Sejak April 1997, perusahaan milik keluarga Panigoro ini sudah menjalin kontrak kerja sama operasi dengan Pertamina di kilang Methanol Bunyu. Sayangnya, proyek yang dikelola lewat anak perusahaannya, PT Medco Methanol Bunyu, ini kandas pada Februari 2009 akibat semakin rendahnya pasokan gas.
Meski TPPI bisa membawa angin segar bagi bisnis perusahaannya, Hilmi tak mau gegabah. Ia mengawali rencananya dengan membentuk tim khusus untuk mengevaluasi aset tersebut, mengingat rekam jejaknya yang cukup kompleks. Ada urusan hukum membelit di satu sisi dan di sisi lain ada persoalan utang superjumbo yang belum tuntas dibereskan.
Perusahaan yang dulu dimiliki Honggo Wendratno ini memiliki utang berupa multi-year bond (MYB) yang diterbitkan Menteri Keuangan senilai Rp 2,8 triliun. Ada pula utang berjaminan sebesar US$ 375 juta kepada Pertamina dan US$ 160 juta kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Juga utang tidak berjaminan kepada Pertamina sebesar US$ 230 juta dan masih ada lagi kepada sejumlah pihak lain.
Melihat kondisi yang rumit tersebut, Hilmi tetap mantap. Menurut dia, jika ingin mengelola TPPI, satu-satunya cara yang mesti dilakukan adalah meminta izin pemerintah. "Itulah sebabnya saya tulis surat ke Kementerian Keuangan," ujarnya. Ia mengirim surat tembusan ke Kementerian Energi untuk memastikan kemungkinan swasta bergabung. Tembusan satu lagi ditujukan kepada Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI sebagai pemberitahuan. Sebab, saat ini TPPI sedang terbelit kasus hukum menyangkut pembelian kondensat jatah pemerintah melalui SKK Migas.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro membenarkan kabar kedatangan surat tersebut. "Juni lalu proposalnya masuk dan saya teruskan ke Dirjen Kekayaan Negara, waktu itu masih Pak Hadiyanto, untuk diteliti," katanya saat ditemui di kantor Direktorat Jenderal Pajak seusai rapat maraton di Senayan pada Rabu, 19 Agustus lalu.
Dalam surat tersebut, Bambang bilang Medco menyampaikan keinginannya untuk mengambil alih TPPI dengan cara membayar sejumlah utang pemilik lama. Yang pertama kepada SKK Migas sebesar US$ 140 juta atas pembelian kondensat. Kemudian utang Tuban Petro, induk TPPI, berupa MYB kepada Kementerian Keuangan sebesar Rp 3 triliun.
Di surat itu, Medco juga menyatakan telah meneken kesepakatan jual-beli atas seluruh kepemilikan PT Silakencana Tirtalestari, perusahaan Honggo. Tapi utang TPPI kepada Pertamina senilai US$ 372 juta tidak termasuk usul penyelesaian utang yang disampaikan Medco.
Bagi Kementerian Keuangan, penyelesaian TPPI sebenarnya cukup dengan melunasi utang MYB secara tunai. Dengan begitu, kepemilikan pemerintah atas fasilitas ini menjadi hak pembeli tersebut. Meski begitu, Bambang tak mau buru-buru memproses permintaan tersebut. Sebab, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, opsi pengelolaan oleh perusahaan negara harus didahulukan.
Sesuai dengan penjelasan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, opsi itu akan segera ditindaklanjuti. PT Perusahaan Pengelolaan Aset bersama Pertamina akan menuntaskan masalah TPPI, lalu masuk untuk mengelolanya. "Kalau PPA bayar MYB dan Pertamina membeli saham Argo BV, TPPI bisa jalan," ujarnya. "Yang bahaya kalau TPPI ini dibuat tidak beroperasi."
Kilang Tuban beroperasi terakhir kali pada akhir Mei 2014. Sebelumnya, Pertamina dan TPPI menjalin kerja sama pengolahan (tolling agreement) sejak November 2013. Pengoperasian kilang mandek setelah Pertamina menghentikan kontrak karena harga produk petrokimia yang dihasilkan jeblok.
Mangkraknya kilang tentu sangat merugikan, mengingat konsumsi yang terus meningkat di dalam negeri mengharuskan Pertamina mengimpor produk bahan bakar minyak dalam jumlah besar. Padahal kapasitas pengolahan di Tuban mampu menghasilkan hingga 100 ribu barel bensin per hari. Kilang ini juga dapat menghasilkan produk aromatik 927 ribu ton per tahun dan light naphtha hingga 1,06 juta per tahun. Akibat lebih dari enam bulan kilang Tuban stop berproduksi, penerimaan kas negara ikut seret.
Berbeda dengan Kementerian Keuangan yang mengkonfirmasi masuknya proposal Medco, Bareskrim Polri tak serta-merta membenarkan. "Saya belum melihat. Sampai saat ini saya belum baca," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso—yang Kamis pekan lalu digeser dari posisinya—kepada Moyang Kasih Dewimerdeka dari Tempo. Meski demikian, menurut Budi, rencana investor untuk mengelola TPPI ini tak bakal mengganggu proses hukum yang tengah berjalan.
Niat Medco tak main-main. Hilmi mengaku telah menyediakan dana US$ 1,5 miliar untuk menguasai TPPI. Dana tersebut akan digunakan untuk membayar seluruh utang pemilik lama sebesar US$ 900 juta ke seluruh kreditor. "Untuk membayar seluruh utang, membeli ekuitas dari kreditor-kreditor yang sudah dikonversi, kredit-kredit jangka panjang yang sudah dikonversi, plus working capital," ujarnya.
Meski demikian, sempat beredar kabar rencana Medco ini tak hanya membawa nama keluarga Panigoro. Penyebabnya, ada tangan pengusaha Kiki Barki, pemilik PT Harum Energy, yang turut mendorong Medco mengambil alih TPPI. "Pak Kiki ini teman baik Pak Arifin sejak di Bandung. Mereka sering ngobrol kemungkinan kerja sama. Ide itu banyak, tapi belum ada yang firm," kata Hilmi.
Hilmi pun menolak dianggap nekat karena memutuskan untuk membereskan urusan TPPI, yang dikenal penuh sengkarut dan bertahun-tahun tak pernah beres. Menurut dia, pengelolaan kilang Tuban ini merupakan kans bagi perusahaan. Ia menghitung, untuk membangun pabrik aromatik setara milik Tuban Petro dibutuhkan investasi sebesar US$ 3 miliar. Waktunya pun tak singkat, maksimal konstruksi baru rampung dalam waktu lima tahun.
"Tapi, sekali lagi, ngapain kita berandai-andai? Green light dari pemerintah sudah tidak ada." Itu sebabnya, untuk sementara, Hilmi memilih balik kanan. Ia menghentikan semua proses dan upaya akuisisi itu.
Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie, Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo