Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA petinggi Pertamina akhirnya tiba di kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Kamis dua pekan lalu. Mereka adalah Direktur Pengolahan Rachmad Hardadi, Direktur Keuangan Arief Budiman, dan Komisaris Widhyawan Prawiraatmadja, yang datang bersama tim berisi 28 orang untuk mengecek kondisi seluruh peralatan pabrik petrokimia tersebut. Kunjungan ini merupakan bagian dari rencana pengambilalihan perusahaan.
"Kami mengecek semua dari sisi operasional, due diligence-lah," kata juru bicara PT Pertamina (Persero), Wianda Pusponegoro, Selasa pekan lalu. Ia menjelaskan, tim menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk pengoperasian kembali, termasuk kebutuhan biaya untuk itu.
Kelaikan mesin dan peralatan pabrik memang harus diperiksa kembali. Sebab, TPPI telah lama mati suri. Pabrik petrokimia dan aromatik itu terakhir berproduksi pada November 2013-21 Mei 2014. Pada periode itu, Pertamina dan TPPI menjalin kerja sama pengolahan (tolling agreement). Tapi Pertamina menyetop kongsi yang berujung pada kerugian itu, karena harga produk petrokimia dunia sedang jeblok. Sejak itu, pabrik tak beroperasi sama sekali.
Dengan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat, kilang Tuban sangat diperlukan untuk menambah pasokan bahan bakar minyak, seperti bensin. Fasilitas ini bisa menghasilkan sekitar 100 ribu barel minyak per hari dan produk aromatik 927 ribu ton per tahun. Jika bisa diaktifkan, ada harapan jumlah impor akan berkurang dan jutaan dolar devisa bisa dihemat saban hari.
Kini Pertamina bersiap menjalankannya kembali. Perusahaan minyak dan gas negara itu, bersama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), mendapat penugasan dari pemerintah untuk mengambil alih PT Tuban Petrochemical Industries—induk dari TPPI. Penugasan itu disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno melalui surat kepada PPA, pertengahan Juni lalu. Sekretaris Perusahaan PPA Rizal Ariansyah mengkonfirmasi. Sebelum mengambil alih, ia menjelaskan, PPA diminta mempelajari aspek hukum, komersial, dan pajak. Perusahaan berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara.
Menurut Rini, Pertamina juga sedang memproses pengambilalihan. Untuk itu, perusahaan membuat kajian hukum, struktur akuisisi, termasuk menilai aset. "Jadi sekarang posisinya di Pertamina," kata Rini di Istana Kepresidenan, Selasa pekan lalu.
Surat Rini merupakan tindak lanjut atas hasil rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, 24 Juni lalu. Selain dihadiri Menteri Rini, pertemuan yang dipimpin Presiden Joko Widodo itu dihadiri Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, serta Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti. Intinya, menurut Bambang Brodjo, pemerintah berupaya mencari solusi. "Presiden ingin mengetahui, TPPI ini ke mana arahnya. Polri menyampaikan perkembangan kasus, dan Bu Rini memaparkan rencananya."
Dalam rapat, Bambang menceritakan, ada semangat untuk mendorong perusahaan negara mengambil alih. "Kalau BUMN sanggup, kenapa enggak?" ujarnya. Menurut Bambang, skenario paling logis untuk menghidupkan kembali TPPI adalah dengan melibatkan Pertamina. Sebab, Pertamina bisa berperan di hulu—memasok kondensat—hingga ke hilir sebagai pembeli produk bahan bakar minyak ataupun petrokimia. Adapun PPA, mewakili Menteri Keuangan yang memiliki 25 persen saham, harus ikut serta sebagai konsekuensi atas piutang pemerintah di perusahaan itu.
Artinya, kata Bambang, siapa pun yang mengambil alih, Pertamina harus ikut. Saat ini Pertamina memegang 26 persen saham TPPI. Perusahaan pelat merah ini bisa menambah porsi supaya menjadi mayoritas dengan membeli saham pemilik lain. "Itu keputusan korporat. Pemerintah meng-endorse supaya Pertamina aktif."
Menteri Rini meyakinkan proses pengambilalihan akan dilakukan secara hati-hati dengan melibatkan penilai independen dan berkomunikasi dengan BPK. Sebab, ada masalah hukum yang rumit terkait dengan aset TPPI. Perusahaan yang dulu dimiliki Honggo Wendratno melalui PT Silakencana Tirtalestari ini memikul utang yang superjumbo.
Yang utama ialah pinjaman dalam bentuk multi-year bond kepada Menteri Keuangan senilai Rp 2,8 triliun lebih. Ada pula utang berjaminan sebesar US$ 375 juta kepada Pertamina dan US$ 160 juta kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Juga utang tidak berjaminan kepada Pertamina sebesar US$ 230 juta dan sejumlah pihak lain.
Karena Honggo tak sanggup membayar, utang-utang tersebut dikonversi menjadi saham. Berdasarkan sidang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), kepemilikan PT Pertamina (Persero) menjadi 26,61 persen, Agro Capital BV dan Agro Global Holdings BV 22 persen, Nippon Catalyst 4 persen, Vitol 12 persen, dan lain-lain (Siam Cement, Sojitz Corporation, Itochu) 10,39 persen.
Sudah lama Pertamina ingin mengambil alih TPPI. Semasa dipimpin Karen Agustiawan, beberapa langkah dijalankan, tapi selalu mentok atau terganjal oleh bayang-bayang pemilik lama yang rupanya masih berkuasa melalui kaki tangannya di perusahaan. Para petinggi Kementerian Keuangan mengakui, meski banyak haknya sudah dipreteli, Honggo masih mempunyai kendali atas fasilitas LPG yang berada di tengah kompleks TPPI.
Karena itu, manajemen baru Pertamina melangkah masuk dengan ekstrahati-hati. Dwi Soetjipto menyebutkan, selain melibatkan lembaga independen untuk melaksanakan uji tuntas, perusahaan berkonsultasi dengan BPK dan Kepolisian. Bahkan ada rencana meminta pendapat hukum Kejaksaan Agung. Ia menjelaskan, Pertamina merancang opsi-opsi penyelesaian masalah. "Kalau memang bisa diselesaikan, nanti dilaporkan kepada pemegang saham. Selanjutnya, pemegang saham yang akan menyampaikan keputusan."
Seorang pejabat bercerita, direksi Pertamina sempat mendapat tekanan dan ditakut-takuti. Misalnya dengan dikatakan bahwa rencana pengambilalihan TPPI sebagai bentuk bailout BUMN atau negara terhadap swasta. Ada pula yang mengancam, jika akuisisi diteruskan, akan ada implikasi tindak pidana di dalamnya. Menteri Keuangan mengakui mendengar hal semacam itu dari para pejabat di bawahnya.
Namun anggota BPK, Achsanul Qosasi, menegaskan Pertamina telah berkonsultasi ke BPK. Auditor negara itu berpendapat pengambilalihan ini bukan bentuk bailout. Justru, ia menilai, ini merupakan penyelamatan aset negara. "Memang kewajiban negara untuk menyelamatkan asetnya," ujarnya.
Achsanul menjelaskan tiga poin yang membuat keputusan Pertamina mengambil alih TPPI akan aman. Pertama, karena Pertamina adalah instrumen negara. Kedua, Pertamina memahami bisnis TPPI. Dan, ketiga, Pertamina mampu terlibat atau menggarap mulai hulu hingga hilir karena memiliki bahan baku dan bisa menyerap produk yang dihasilkan. Ketiga unsur tersebut semestinya menjadi penguat untuk mengambil kebijakan. "Ini ada aset negara yang nganggur, bisa mengolah bahan baku dan menghasilkan produk yang diperlukan Pertamina. Tidak ada alasan Pertamina untuk tidak masuk. Di mana tidak amannya?"
Achsanul malah curiga ada pihak yang sengaja mengembuskan isu miring untuk menjatuhkan nilai aset TPPI, sehingga ujungnya swasta bisa membeli murah. Ia mendengar ada beberapa perusahaan swasta melirik TPPI dan berniat mengakuisisi, antara lain investor dari Cina. Kebetulan pengusaha swasta nasional—Hilmi Panigoro melalui Medco—juga mengajukan diri untuk mengambil alih. Ditemui Selasa dua pekan lalu, Hilmi mengakui punya rencana itu. Tapi niatnya mengendur setelah mendengar pemerintah memprioritaskan perusahaan negara untuk masuk.
Achsanul menambahkan, justru yang berbahaya bila perusahaan swasta mengambil alih, lantas tidak mengoptimalkan operasi kilang. "Mungkin ada yang bersemangat agar kilang tidak optimal, agar bisa impor terus."
Dwi Soetjipto sepakat kilang TPPI harus dijalankan kembali sepenuhnya. Dia meyakinkan Pertamina bisa melakukannya. Saat ini perusahaan sedang menunggu hasil kajian atas aspek legal dan komersial, termasuk soal harga. "Tentu saja kami akan masuk apabila itu kredibel. Ini yang sedang kami clear-kan. Jangan sampai ada risiko yang muncul di belakang hari," ia menjelaskan kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Targetnya, semua proses rampung tahun ini.
PPA juga percaya diri. Menurut Sekretaris Korporat Rizal Ariansyah, perusahaannya didampingi Kejaksaan dalam proses akuisisi ini, dari penunjukan konsultan independen. "Untuk memitigasi risiko, kami berkonsultasi dengan Kejaksaan. Sedangkan mitigasi aspek bisnis komersial bersama BPKP," ujarnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Bambang Brodjo juga tak ragu bahwa persoalan hukum atas utang-utang TPPI sudah diselesaikan melalui PKPU. Sedangkan pengusutan kasus di Kepolisian dianggapnya lebih terkait dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu, sebelum PKPU. Bagi pemerintah, kata dia, dengan adanya hasil PKPU, posisinya sudah jelas. "Saya bergerak berdasarkan PKPU. Siapa yang tertarik, ya, harus membeli multi-year bond pemerintah di TPPI," ujarnya.
Tapi, Bambang melanjutkan, arahan Presiden dalam urusan TPPI sudah cukup terang, yakni mengutamakan perusahaan negara. Alasan utamanya adalah soal kesiapan memutar kembali mesin-mesin kilang agar beroperasi maksimal. "Yang bahaya kalau TPPI ini dibuat tidak jalan. Meskipun dibeli orang, kalau dibuat tidak jalan, kilang tidak menghasilkan mogas sama sekali alias cuma produk petrokimia. Kita rugi juga."
Retno Sulistyowati, Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo